Lima hari berlalu. Setiap pulang kampus mereka selalu pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaannya. Setelah dua hari tidak sadarkan diri, akhirnya Casya bisa dibawa pulang sekarang. Bukan pulang ke rumahnya, melainkan ke rumah Bryan. Karena Casya tidak mau membuat keluarganya khawatir jika pulang-pulang membawa perban di kepala. Bisa-bisa dirinya di tausiahi oleh keduanya selama 7 hari 7 malam. Lalu berakhir dengan gendang telinga rusak, siapa yang mau seperti itu. Lebih baik ia menginap sementara di rumah Bryan. Lagi pula lelaki itu tidak keberatan.
Dan jika Casya kembali ke kostnya. Teman kostnyalah yang akan menggantikan posisi kedua orangtuanya. Menjengkelkan bukan. Ah! Intinya ia tak mau kembali ke sana, menunggu ia sembuh baru kembali. Next, semua bajunya sudah diambil oleh pembatu rumah Bryan. Baik sekali bukan. Kurang apa lagi coba pria itu membantunya. Rasanya rasa terima kasih saja tak cukup ia berikan.
Setibanya di rumah Bryan, mereka berempat di sambut oleh para pembatu rumahnya. Memang holang kaya, apa-apa menyuruh orang. Casya langsung dibawa ke kamar tamu yang ada di bawah, sebelum ketiganya pergi. Mereka memperingati Casya agar tidak terlalu banyak gerak, harus istirahat, jika ada apa-apa panggil saja pelayannya. Wah! Berasa jadi majikan dadakan nih, batin Casya. Selepasnya mereka pergi, membiarkan Casya seorang diri. Di kamar gratis, plus AC, TV besar, rak buku dengan berbagai buku dan majalah. Aksen kamarnya juga mewah dengan warna gold dan putih, di sebelah kanan Casya ada jendela berkaca besar yang menghadap tempat tidurnya.
Ia merebahkan diri di ranjang king size, merasakan betapa enaknya menjadi orang kaya. Ternyata seperti inikah mempunyai teman yang dapat membantunya kapan saja. Mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, Casya mencoba untuk melupakannya. Kenapa benturan itu tidak menghilangkan sebagian ingatannya saja. Oh, salah. Seharusnya ia bersyukur karena ingatannya tidak hilang, kalau hilang kemungkinan ia tak dapat mengingat keluarganya, kakaknya, atau bahkan dirinya sendiri. Oh tidak, bisa jadi apa dirinya nanti.
"Daripada gue mikir itu, mending tidur. Meraih mimpi," ujar Casya menaikkan seluruh tubuhnya ke ranjang. Menyelimuti dirinya dengan selimut tebal, memposisikan badannya miring menghadap barat. Tak lama rohnya keluar menjelajahi alam mimpi.
Di lain sisi, kedua sahabat Bryan berada di kamarnya yang ada di lantai dua. Keduanya memainkan PS, sedangkan Bryan hanya menonton di atas ranjang seraya memakan keripik balado. Menuggu gilirannya main pastinya. Karena sifatnya yang selalu mengalah.
"Gue ke bawah dulu ya?" Bryan izin dan mereka membalasnya dengan deheman saking fokusnya pada game.
Bryan keluar, menuruni tangga, ketika berada di tangga nomor dua dari bawah dirinya berhenti. Menoleh ke arah pintu di mana di dalamnya ada seorang gadis. Sebelum ia menjemput Casya dari rumah sakit tadi, Mamanya menelepon bahwa mereka akan tiba di rumah sekitar waktu malam. Dan malam itu adalah malam ini, jika kedua orangtuanya mengetahui ia membawa seorang cewek masuk ke rumahnya dan membiarkannya menginap hingga sembuh total. Apakah mereka akan menyetujuinya? Atau ia akan membuat alasan dengan adiknya yang membutuhkan teman di rumah ini?
"Apa kata nanti dah." Bryan pasrah, apa pun resikonya nanti ia akan menghadapi semua. Mungkin adiknya ini bisa dijadikan pancing untuk membujuk kedua orangtuanya. Ya, semoga saja.
•••
Casya menggeliat kaku, entah sudah berapa lama dirinya tidur. Mau lihat jam saja dirinya tak sempat. Ia mendudukkan tubuh untuk mengumpulkan nyawanya. Casya menggaruk kepala belakang yang terasa gatal, matanya menyapu ruangan mencari benda bulat berangka dengan jarum bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hoodie (TAMAT)
Teen FictionCerita masih lengkap :' Semua orang pasti mempunyai rahasia. Tidak terkecuali gadis ini. Rela pindah ke kampus lain demi menyembunyikan identitasnya yang asli. Dibalik hoodie, kaca mata hitam dan rambut panjangnya ada rahasia. Hanya keluarga dan Tuh...