Aku semakin benci dengan hidupku. Aku semakin ingin mengakhiri semua ini. Aku tidak tahan. Kematian kakak adalah luka yang menganga dan begitu sakit bagiku. Aku sejak bayi bersamanya, dia merawatku dengan baik. Setelah kepergian kakak satu minggu yang lalu aku tidak pernah lagi merasakan apa itu ketenangan.
Aku tutupi semua itu, walau sebenarnya aku kerap kali menangis dalam tidurku. Aku paksakan otakku untuk terus sibuk dan berfikir, agar aku melupakan semua yang terjadi dan agar aku bisa mewujudkan keinginan kakak untuk membahagiakan ayah dan ibu kami. Tapi ibu sekarang terpisah dan ayah hidup bersama mama, abang menggantikan posisimu. Aku tidak rela kak.
Semenjak kematian kakak aku semakin harus bersandiwara di depan ayah bahwa aku menerima mama dan abang sebagai bagian dari keluarga, selama satu minggu ini. Tapi memang aku tidak bisa.
Apakah ayah tidak memikirkan perasaanku, ayah selalu memaksaku untuk mengerti bahwa posisi ibu dan kakak sudah tergantikan oleh mama dan abang. Ini membuatku gila.
Sore ini begitu sepi. Ayah belum pulang bekerja dan jangan tanyakan mama dan abang kemana aku tidak perduli. Aku semakin irit bicara pada mereka dan semakin kurang ajar. Aku merasa seperti aku hidup sendiri.
"Adek, kok di luar, udah mau hujan. Kenapa tadi pulangnya ga minta jemput abang?" , sebenarnya abang adalah kakak yang baik namun disaat bersamaan dia juga membuatku muak. "Abang bawain adek sesuatu" , ia merogoh tas hitamnya dan memperlihatkan coklat serta jam tangan yang sepertinya baru.
"Abang tadi lihat jam ini dek di jalan, abang jadi inget kalo jam tangan kamu rusak karena kemaren kamu kehujanan lama jadi abang beliin ini buat adek, kalo coklat ini, abang tau kamu suka coklat jadi abang iseng aja..."
Drrrtttt drrrtttt
Bukan ponselku, ponsel abang yang berbunyi.
"Halo ma"
"...."
"Iya ma" , ia tutup telfon itu dan meletakan ponselnya di saku. "Mama sama Ayah hari ini pulang terlambat dek, jadi.."
Aku langkahkan kakiku untuk pergi dari sana. Aku sudah menduga ini. Mama dan ayah semakin sering menghabiskan waktu berdua. Tanpa memperdulikan keadaanku. Seenaknya saja ayah percaya pada abang untuk menjagaku dirumah. Kuharap ayah ingat mereka masihlah orang asing.
Kututup pintu kamarku dengan sedikit keras dan menghempaskan tubuhku di kasur. Kembali lagi airmataku keluar ketika melihat foto keluargaku yang terpasang di meja belajarku. Ayah ibu kakak. Perlahan mereka meninggalkanku. Ingatanku kembali berputar kala melihat wajah kakak yang jauh berbeda dari yang terakhir aku temui, aku bahkan lupa kapan terakhir kali ibu menelfonku, aku juga lupa kapan aku melihat ayah dan ngobrol sama ayah meskipun kami satu rumah.
Seketika rasa muakku semakin memuncak, aku dengan segera bangkit dan mengambil jaket serta tas kecilku untuk kubawa pergi. Kemanapun selain disini.
"Adek, kamu mau kemana?" tanya Abang yang baru saja dari dapur, kemudian dengan sedikit berlari dia berhasil menahan lenganku, "Adek mau kemana? Ini udah mau malem dek?" , aku hempaskan tanganku dan membuat tangannya terlepas, aku menatapnya tajam sesaat dan setelah itu aku melangkahkan kakiku.
Tap
Tap
Tap
"Kasih tau abang dek?" , seketika kakiku berhenti mendengar suaranya yang begitu bergetar. "Bagi rasa sakit kamu sama Abang.." kueratkan pegangan tanganku pada selempang tas yang aku pakai, "Abang lebih suka kamu mengumpat dan marah-marah sama abang dari pada kamu kayak gini dek"
Tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki mendekat, "Sekarang, Abang mau kamu pukul abang, bilang dan marahin abang sepuas hati kamu.. Abang ga akan melawan.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...