Keluarga itu sudah kembali ke rumah setelah menginap di rumah sakit selama seminggu karena kebodohan Alex. Iya, memang Alex bodoh sekali mengambil keputusan segila itu tapi dia punya alasan. Anak laki-laki yang dia punya sekarang ikut membantu menuntunnya masuk dalam rumah sementara istri dan anak perempuannya masih dalam mobil. Zahra masih demam dan terlihat sekali kalau Zahra makin melemas setiap saat.
"Reno, jika sampai nanti sore Ara belum juga membaik telfon dokter untuknya, ya. Dia tidak akan mau kalau dibawa ke rumah sakit", Reno mengangguk saja membalas permintaan dari ayahnya yang baru sembuh. Setelah selesai menuntun ayahnya ke kamar dirinya kemudian mendekat pada ayahnya dan berkata, "Ayah maafkan aku dan Mama karena memutuskan pergi. Aku yang meminta Mama melakukan itu. Aku tidak bermaksud membuat semuanya sekacau ini"
Alex tersenyum lalu mencoba menggapai bahu putranya lalu menuntun anak itu untuk sedikit merendahkan tubuh dan menyamakan tingginya dengan Alex yang sudah duduk ditepi ranjang. "Reno, apapun yang terjadi di rumah, setidaksuka apapun Ara dengan keberadaan kamu dan Mama disini dia tetap akan menerimamu. Reno bersabar ya"
Reno sendiri membalasnya dengan anggukan kepala lalu mencium tangan ayahnya yang tadi mengelus perlahan rambutnya yang tidak panjang. "Zahra adik yang manis, Ayah. Tentu Aku akan melakukan apapun agar dia bahagia. Jadi kalau dengan pergi dari Ayah dan Ara adalah jalan terbaik. Kenapa Aku harus berkata tidak untuk itu?"
"Reno bukan itu jawaban yang Ayah mau. Sebagai suami Ayah sudah memikirkan dalam waktu yang panjang untuk berpisah dari Ibu. Ayah tau resikonya, tapi itu adalah yang terbaik. Kalian akan paham kalau kalian sudah dewasa dan lebih bisa mengerti kehidupan rumit milik orang yang sudah berkeluarga"
"Terimakasih sudah menerimaku menjadi anakmu, Ayah"
Senyuman teduh yang Alex berikan selanjutnya membuat Reno makin menyayangi keluarga ini. Keluarga yang dia impikan sejak dia kecil.
***
Aku merasa kalau badanku berada pada punggung seseorang. Ketika Aku memaksakan kelopak mataku untuk terbuka ternyata Aku kembali berada dalam gendongan Abang. Aku terlalu lemas untuk memulai pembicaraan atau sekedar mengucapkan terimakasih jadi Aku hanya mengeratkan peganganku.
Kurasa Abang tau Aku sudah bangun. Abang menghentikan langkahnya sejenak lalu berusaha menoleh kekanan. Tepat dimana kepalaku berandar pada bahunya.
"Ara butuh sesuatu? Ara periksa kedokter ya?
Aku menggeleng pelan. Abang kemudian menurunkan tubuhku pada kasur yang ada di kamarku.
"Ayah?"
"Ayah sudah di kamar, kata Ayah kalau sampai nanti sore kau belum membaik Ayah akan menghubungi dokter untuk datang ke rumah"
"Aku akan membaik sore ini" ucapku lalu Aku merapatkan selimutku dan beranjak untuk tidur. Namun selimut itu belum benar-benar terpasang dengan benar Abang sudah menariknya. Sedikit kesal karena waktu istirahatku jadi terganggu dengan kekonyolannya.
"Siapa yang menyuruhmu tidur? Ara belum makan apa-apa dan Mama sedang memasak untukmu"
"Jangan pernah sok peduli denganku!"
Satu tarikan kasar yang Aku lakukan berhasil merebut selimutku kembali. Kepalaku ini sudah sangat pusing dan lebih pusing lagi kalau aku melihat Abang berada disini.
***
Aku meraba meja dan kutemukan jam kecil yang meja belajar disamping kasurku lalu akhirnya Aku melihat jam kecil tersebut. Hari sudah akan sore, lama sekali Aku terlelap ketika sedang sakit begini. Aku tegakkan badanku lalu setelah nyawaku terkumpul Aku sudah melihat makanan lezat meja seberang didekat lemari bajuku. Makanan itu masih hangat, terlihat dari kepulan asap yang masih mengepul disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Algemene fictieRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...