Lima hari ayah harus menghabiskan waktunya untuk istirahat dirumah sakit, sampai pada hari keenam ini ayah baru bisa diperbolehkan pulang kerumah. Aku, ayah, abang dan mama kini sedang mengemasi semua barang-barang milik ayah dan memasukannya dalam tas.
Aku dan Abang baru sampai rumah sakit saat malam hari sebab aku terlalu lama menangis di halte dan membuat kami tertinggal bus selama beberapa kali.
Dari awal Ayah dirawat sampai mau pulang, Ibu belum menjenguknya, menanyakan kabarku juga belum. Kedua mataku sebenarnya sudah panas sekali, aku menangis cukup lama dan aku tidak mau menangis karena rindu pada Ibuku.
"Ara sini dekat, Ayah. Bereskan itu semua nanti saja"
Aku berhenti untuk memasukan baju Ayah dan langsung mendekat padanya. Aku mengambil punggung tangan Ayah yang tidak ada infus dan mengusapnya sembari mendudukan diriku dikursi yang sudah disediakan disana.
Beberapa detik berlalu dan Ayah masih belum bersuara apa-apa. Ayah hanya menatapku lama dan mengusap sebelah sisi wajahku dengan wajah yang terlihat bangga atau menurutku lebih kepada bahagia. Ayah menghela nafasnya perlahan dan itu tidak luput dari pandanganku. "Ada apa, Ayah?"
Ayahku mengulum senyum tipisnya, "Bungsu Ayah sudah semakin dewasa dan manis. Ara sudah besar sekarang"
"Ayolah, Ayah. Aku ini baru akan masuk SMA"
Aku dan Ayah terkekeh geli dengan apa yang baru saja Aku katakan, lalu Aku jadi teringat sesuatu yang membuat kepalaku menunduk kembali, "Seharusnya Kak Laras yang sudah dewasa sekarang, Ayah. Kalau Kak Laras masih bersama kita, Kakak pasti sudah kuliah dan juga mungkin akan lebih cantik"
Ayah kemudian merengkuhku dan mengusap punggungku lembut. Hal yang sering Ayah lakukan ketika aku sedang gelisah atau takut pada beberapa hal. Aku tau, Ayah memang selalu sekeren ini. Ayah memang yang terbaik.
"Tidak apa. Ayah disini bersama Ara"
"Bohong! Kemarin Ayah mencoba menyakiti diri Ayah sendiri. Kenapa Ayah begitu?. Katanya sayang Aku", wajahku semakin aku sembunyikan dalam dekapan Ayah. Sebenarnya aku bisa merasakan air mataku yang mulai memenuhi kelopak lagi. Hari ini aku menangis berkali-kali.
"Ayah tidak bohong. Ayah sangat sayang pada Ara, kok. Kemarin itu Ayah hanya sedang lupa diri"
Kedua tanganku aku lingkarkan erat pada kedua sisi tubuh Ayah, "Ara takut", Aku menggumam pelan dan mungkin saja Ayah masih bisa mendengarnya. Lalu kami hanya saling membagi sayang antara ayah dan anak melalui pelukan tersebut.
"Ayah, Aku merindukan Ibu"
Ayah memberikan tepukan pelan pada punggungku. "Ayah juga, kita akan mengunjungi Ibu saat Kau libur nanti"
Aku mengangguk pelan. Kedua kelopak mataku ini makin berat saja untuk Aku angkat. "Anak Ayah mengantuk?"
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain mengangguk kembali lalu berjalan pelan menuju sofa berwarna hijau tua itu lalu membaringkan tubuhku. Aku ngantuk sekali.
***
Reno mengetuk pelan pintu kamar rawat ayahnya dan pemandangan manis langsung masuk dalam kedua netranya. Ayahnya telah tertidur begitu pulas adik kecilnya. Reno meletakan makanan yang dia beli sebelumnya untuk diletakan dimeja. Adiknya itu belum makan apa-apa. Seharusnya dia kelaparan bukan, tapi malah sudah tertidur begitu nyenyak sampai tidak akan ada yang tega membangunkannya.
Reno mendekat perlahan pada Zahra untuk memberikan jaketnya sebagai selimut. Namun belum sempat itu terjadi, dilihatnya Zahra yang begitu banyak berkeringat padahal malam ini begitu dingin.
Reno berlutut untuk menyamakan tingginya pada adik yang tengah tertidur disofa dengan posisi menyamping padanya. Dia usap keringat sebesar biji jagung yang membasahi wajah Zahra, yang bahkan ketika Reno menepuk punggung sang adik, dia dapat merasakan suhu panas disana.
Zahra merintih seperti merasakan sakit. Reno ikut khawatir melihatnya. Tapi ini sudah sangat malam untuk memanggil dokter atau membangunkan ayahnya. Mamanya sedang ada dirumah untuk beristirahat juga.
Reno merutuki kebodohannya karena mau saja menuruti kemauan Zahra yang sudah jelas masih sakit hari ini untuk pergi ke rumah sakit dengan cuaca berangin.
"Ara, bangun dulu Dek", Reno mengusap dahi Zahra dan dapat dia rasakan telapak tangannya memanas. "Zahra, makan dulu dikit aja, Dek. Nanti kalo udah minum obat tidur lagi. Abang bantu, sini"
Zahra menegakkan badannya dengan tetap memejam sembari berpegangan pada lengan Reno yang tengah membantunya. Zahra tidak bisa bohong tubuhnya lemas tidak terkira, kepalanya pusing dan berputar. Untuk duduk seperti ini saja dia sudah merasakan mual karena rasa pusingnya itu.
Reno mengusap punggung tangan Zahra dan langsung mengambil sekotak nasi beserta lauk yang diberikan Mamanya sebelum dia pulang. Ketika Reno menyodorkan satu sendok nasi dan juga lauk untuk Zahra, gelengan kepala lemas yang enggan itu menjadi jawaban.
"Ara, Adek makan dulu, ya. Adek belum makan apa-apa"
"Mual", Zahra begitu lemas dan mengucapkannya dengan hanya membuka bibir.
Reno mengambil minyak angin yang sudah dibeli olehnya. Awalnya minyak angin itu untuk dirinya sendiri yang juga merasakan sedikit pusing karena kurang tidur. Tapi, adiknya ini sedang lebih membutuhkan itu. Reno mengusap pelan tengkuk Zahra dengan minyak angin itu dan dapat dia dengar Zahra yang kembali mendengkur halus.
"Adek tertidur?"
Hening, tidak ada jawaban.
Reno menghela nafas sebentar. Kemudian dengan gerakan lembut dia baringkan kembali Zahra yang sudah tertidur dengan kondisi yang masih membuat Reno cemas.
Reno kini hanya menghabiskan malamnya untuk merawat Zahra. Reno tau Zahra pusing sekali jadi kini dia hanya memijat kecil kepala sang adik dan mengusap punggungnya.
"Kata Ayah, kamu itu ga pernah sakit, Dek. Tapi kenapa sekalinya sakit kamu sampai kayak gini?"
Reno menepuk pelan punggung itu dan sedikit bersenandung agar Zahra bisa tetap nyaman dalam tidurnya. Namun setelah beberapa saat, Reno dibuat sendu dengan Zahra yang bergumam lirih memanggil ibunya.
"I-ibu... Ibu...", terus seperti itu. Zahra memang tidak bersuara tapi Reno mampu membaca gerak bibir dari adiknya. Air mata Zahra kini ikut menemani igaunya dalam tidur. Reno tidak tau adiknya itu bermimpi apa.
Tapi Reno tidak tega untuk membangunkan adiknya. Zahra pasti sangat merindukan ibunya sampai tertidur dengan menangis seperti ini. Pikir Reno.
Dia mengusap pelan airmata yang membasahi wajah sang adik, "Kakak janji akan mempertemukan Ara sama ibu. Ara jangan nangis"
Senyum Reno begitu sendu. Dalam hati dia bertekad untuk memenuhi janjinya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...