Yang sekarang Reno lihat bukan adik perempuannya yang dulu. Dia bukan Zahra, adik perempuannya yang selalu kuat dan bisa mengatakan hal-hal ketus padanya. Sekarang ini Zahra sedang menjelma menjadi sosok yang lemah dan bergantung pada obat kemo yang menggantung pada tiang infus didekatnya.
Reno tidak tega melihat sang adik yang terus memuntahkan semua isi lambungnya. Reno tidak kuat saat mendengar suara meluah Zahra yang teramat menyakitkan itu. Reno tidak ingin melihat Zahra tidak berdaya dan terkurung dalam kesakitan.
Reno memilih untuk melangkah menjauh dan duduk pada salah satu deret kursi yang ada pada koridor rumah sakit. Ini adalah kemoterapi pertama Zahra dan sudah seperti ini. Bagaimana jika itu terus terjadi pada waktu-waktu kedepan? Reno bisa gila.
Kedua tangan Reno yang masih gemetar kini dia gunakan sebagai tumpuan. Kepalanya pening karena membayangkan segala kemungkinan terburuk. Dulu, saat Zahra masih sehat, adiknya itu sangat membencinya. Kini, saat Zahra sakit, adiknya justru menerimanya dengan tangan terbuka dan hati yang lapang. Zahra bahkan sudah memanggilnya dengan sebutan 'abang'. Apabila Reno harus memilih, Reno ingin tetap dibenci Zahra karena pada saat itu Zahra benar-benar adik yang terlihat kuat dan tidak mudah menyerah. Sorot mata Zahra yang dulu begitu tajam menusuk tapi penuh kehangatan, kini berubah menjadi kosong penuh kesenduan.
"Kenapa? Kenapa seperti ini? Kenapa? Kenapa kau hukum adikku dengan cara seperti ini? Aku hanya ingin dia menerimaku, bukan berarti kau memberinya sakit dan membuatnya menderita!! Kenapa Tuhan? Kenapa Kau jahat pada adikku?" lirihan ini hanya Reno saja yang mampu mendengar. Semua orang yang melihat Reno saat ini hanya melewatinya begitu saja. Mereka tidak ingin ikut campur dan rumah sakit adalah tempat untuk seseorang berputus asa.
Rasanya Reno sangat ingin berteriak. Setidaknya dengan itu dia bisa melegakan sedikit hatinya dari kesesakan yang benar-benar menyiksa.
Waktu tidak pernah berpihak padanya. Reno tidak pernah bertemu ayah kandungnya, Reno yang kehadirannya ditolak oleh keluarga ayah tirinya termasuk Zahra, Reno yang harus kehilangan Laras; kakak Zahra sekaligus adik sulungnya, sekarang...dia terancam untuk kehilangam Zahra juga. Apa seperti ini hidup? Kehilangan dan terus kehilangan?
Ada sapuan dari telapak tangan yang lembut mendarat pada belakang kepalanya. Reno segera mendongak dan menatap wajah sang ayah dengan ekspresi sedih teramat dalam.
Tuan Alex duduk tepat disamping kanan Reno dan melanjutkan lagi kegiatannya untuk mengusap kepala Reno yang sedang pening serta isinya seperti benang kusut.
"Aku tidak ingin kehilangan adikku lagi, Ayah" kata Reno dengan suara parau.
"Ayah juga tidak ingin kehilangan putri Ayah untuk kedua kalinya" ujar Tuan Alex datar tanpa ekspresi. Seseorang yang teramat sedih akan terlihat baik-baik saja 'kan? Seperti itu Tuan Alex sekarang.
"Ayah berencana untuk merelakan Zahra dibawa oleh Ibu Susi. Zahra akan mendapatkan perawatan yang lebih baik karena suami Ibu Susi sekarang adalah seorang dokter yang pasti tau betul penanganan untuk Zahra. Nyatanya, Ayah tidak bisa berbuat apapun meski hak asuh Zahra dan Laras ada pada Ayah. Ayah justru kehilangan mereka.."
Reno spontan berdiri dan menatap remeh ayahnya. Reno bahkan tersenyum miring karena dia tidak pernah menyangka ayahnya akan menyerah dan bahkan berfikir menjauhkan Zahra dari keluarganya. "Apa Ayah tidak bisa memikirkan solusi lain? Apa yang Ayah akan dapatkan saat Zahra jauh dari jangkauan Ayah?" tanyanya.
Tuan Alex memejamkan kedua netranya yang terasa panas, "setidaknya Ayah dan dirimu bisa memastikan keberadaannya melalui Ibu Susi, Reno" jawab Tuan Alex tanpa ada keyakinan. Hal itu langsung disadari oleh Reno.
"Yang bersama Ibu Susi sekarang itu bukan Tuhan. Dokter di rumah sakit ini juga bukan Tuhan. Ayah tidak bisa memastikan kesembuhan Zahra saat Ayah sendiri juga tidak bisa yakin dengan keputusan Ayah!"
Reno menghela nafasnya sejenak, "aku tidak akan membiarkan adikku jauh dariku lagi. Tidak akan!" kemudian Reno memilih untuk meninggalkan ayahnya dalam kesedihan mendalam dan juga proses pengambilan keputusan yang rumit.
Reno membuka pintu kamar rawat Zahra dan seketika semua pandangan tertuju padanya termasuk Ibu Susi yang sudah datang entah dari kapan. Langkahnya cepat menghampiri Reno dan kemudian...PLAK!!
"Ibu!!" teriak Zahra. Dia berusaha untuk turun dari ranjang dengan dibantu Mama Lisya.
"Kau! Kau!!.. Apa yang sudah kau katakan pada Ara? Kau cuci otaknya? Kau pengaruhi dia dengan apa? Hah!!" teriakan Ibu Susi sampai membuat gema. Dia tidak peduli jika saat ini mereka sedang di rumah sakit dan pasien lain membutuhkan istirahat.
"Tolong hentikan Ibu.." Zahra tertatih. Dia menghampiri ibunya dan juga abangnya dengan susah payah.
PLAK!!
Kedua kalinya, Reno jatuh tersungkur.
"Abang!!" / "Reno!!"
Mama Listya membantu Reno untuk berdiri tapi Zahra lebih memilih untuk menekuk lutut dihadapan ibunya sambil menautkan kedua tangan. Memohon..hanya itu yang bisa Zahra lakukan.
"Ara mohon.. Ibunya Ara tidak sekasar ini.. Ara mohon jangan sakiti Abang.."
Jika Zahra melemas maka dia akan berakhir mencium kaki ibunya.
"Ara tidak ikut karena Ara ingin tetap bersama orang tua dan saudara Ara, cuma abang saudara Ara sekarang. Ibu.. Ibu aku mohon.. Ara sudah sakit. Maafkan Ara, Ara janji akan berusaha buat sembuh tapi Ara mohon jangan kasar lagi. Demi Ara, Ibu.."
Semuanya menangis. Ibu Susi langsung menurunkan tubuhnya dan memeluk sang putri. "Maafkan Ibu, maaf. Ibu hanya ingin kau sembuh. Ikut sama Ibu ya, Nak"
Nyatanya, Zahra menggeleng. "Ara ingin bersama keluarga, Ara. Ara capek lihat keluarga Ara bertengkar. Capek.."
Lalu Zahra kembali tidak sadar. Kondisinya masih sangat lemas dan kini infus yang masih terdapat obat kemo didalamnya harus terlepas. Salah siapa? Semua orang yang bertengkar dihadapannya, termasuk Reno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Fiksi UmumRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...