Akan sangat merepotkan jika aku membangunkan ayah dan mama tengah malam begini. Aku juga tidak mungkin meninggalkan abang di depan kamarku dengan kondisi badanya yang panas dan mengigau tidak jelas. Badannya sudah seperti terbakar dan keringat juga sudah membanjiri tubuhnya.
Sudah seperti udang rebus..
Jadi kuputuskan untuk memapahnya saja ke kamarku dan merebahkannya di kasurku. Sedikit menyeka keringat di dahinya, aku memperhatikan wajahnya sejenak. Mirip dengan ayah.
Dia yang sedang tidur dihadapanku ini adalah anak dari pernikahan kedua ayahku, tentu saja mirip dengan ayah apalagi dia ini laki-laki. Semakin lama aku melihatnya aku semakin tidak tega tidurnya pun juga terlihat tidak nyaman. Jadi kuputuskan untuk kedapur membuat kompresan dan mengambil termometer. Aku tidak tau apa yang aku lakukan ini, aku malah merawatnya, orang yang sudah jelas membuat ayah dan ibuku berpisah.
Saat berkutat dengan kesibukanku mengurusnya, aku didatangi mama dengan wajah tenang namun juga masih sangat ketara ada kecemasan luar biasa disana.
"Ara, abang...kamu lihat ngga, Nak?"
Aku berusaha untuk tidak melihatnya saat aku tau mama menyadari ditanganku ada kompresan dan termometer. Lalu mama mengulum senyumannya dan menyapu pundakku, "Mama minta maaf ya, abang memang sering ke kamar kamu, saat sakit beginipun sama...
"Apa yang dia lakukan di kamarku?", aku memotong cepat dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Mama tidak langsung menjawabnya aku melihat dia menghela nafas sejenak lalu mengambil tempat kompresan yang ada di tanganku.
"Sudah tengah malam Nak, kamu bisa tidur di kamar Mama. Maafkan mama dan abang selalu merepotkanmu ya?", mama mengalihkan perhatian. Menepuk bahuku pelan sebanyak tiga kali, kemudian berujar, "Mama dan Abang sayang sama Ara", lalu pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.
Beberapa saat aku mematung disana dan merasa bahwa semangatku untuk tidur sudah tidak ada lagi. Aku lebih penasaran dengan kebiasaan abang yang selalu setiap malam menuju kamarku. Baiklah....aku harus tau.
Dengan langkah pelan aku mendekatkan diriku ke pintu kamarku yang sedikit terbuka itu. Hal pertama yang aku lihat adalah bagaimana mama mengusap kepala abang dengan lembut, mengecup keningnya, dan membisikan sesuatu di telinga abang yang tidak terlalu kudengar. Setelah itu mama menempelkan kompres di dahi dan di ketiak abang dan memijat kaki abang. Hatiku menghangat, aku jadi teringat ibu melihat itu semua.
"M-ma..", lenguhan lemas itu datang dari abang yang sudah membuka mata sayunya. Dari sudut ini aku bisa melihat abang meneteskan air matanya. "Ara ma...."
"Abang, Adek baik-baik aja, Nak. Abang jangan fikirin hal aneh-aneh dulu. Abang cepet sembuh, ya?"
"Tadi, Ara bangun ma. Dia kebangun..."
"Iya Nak, tapi sekarang adek udah istirahat lagi dia ada di kamar mama, sekarang abang lagi di kamar adek lho." mama tiada henti memberikan usapan agar abang tenang. Dari sudut ini abang perlahan merekahkan senyumnya.
"Abang di kamar adek? Adek ngga benci abang?"
"Abang aja yang mikir yang bukan-bukan. Sekarang abang sama adek sudah jadi keluarga nak. Bukankah keluarga itu saling menyayangi?"
Abang menganggukkan kepalanya dengan lemas dan tersenyum "Iya ma, abang sayang sama adek, sayang banget. Tapi kenapa Ma? Buat deket sama adek aja susah banget"
"Sstt...adek butuh waktu sayang, abang ga boleh maksain adek ya", mama kemudian mencium kening abang untuk beberapa saat. Di tengah kehangatan itu aku mendengar abang berucap kembali dengan samar dan lirih, "Apapun buat adek ma, apapun"
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Ficción GeneralRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...