"Bukan aku ayah! Itu bukan diriku!"
Untuk kesekian kalinya aku berteriak. Bahkan ketika suaraku sudah serak dan hampir habis. Dengan tangis dan isakan yang masih berusaha aku sudahi aku membela diri di depan ayahku sendiri.
"Lalu bagaimana kamu menjelaskan tuduhan itu Ara?! Apa selama ini kamu berbuat curang?! Dan semua nilai sekolahmu itu bohong! Kau membuat ayah malu dengan panggilan murahan seperti ini Ara!!"
Air mata ini tidak bisa berhenti menetes.
Membuat ayah malu.. Aku..
"Selama ini ayah menyuruhmu belajar bukan?! Belajar belajar belajar!!!.. Bukan mencuri soal. Ingat namamu Ara. Kamu ini Zahra Mahendra!! Apa kamu memang mau menurunkan martabat ayah?! Apa kamu mau ibumu menertawakan ayah karena tidak becus menjagamu?!!"
Kenapa ini sakit sekali? Kenapa ayah harus menyebut ibu dengan kata-kata itu?
Aku semakin hanya bisa menundukan kepalaku saat ini. Kepalaku pening. Aku tidak bisa berfikir. Sungguh selama ini aku belajar, entah belajar itu sebagai hukuman bagiku karena hal yang aku tidak tau salahnya atau karena aku merasa itu adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Sungguh aku benar-benar belajar.
Siang dan malamku aku habiskan hanya dengan buku dan pelajaran di sekolah. Itu untuk ayah dan ibuku. Karena aku sadar kehangatan keluargaku tidak bisa diandalkan lagi. Dan karena hanya itu yang bisa aku lakukan.
Setelah kehilangan semua kehangatan dan keceriaan di rumahku sendiri. Apakah aku juga harus kehilangan kasih sayang ayah juga?
Tidak!! Tidak boleh!
"A-ayah.."
Akhirnya setelah muncul kekuatan dalam diriku aku beranikan diri angkat suara.
"Ayah.. Aku sungguh, aku tidak bermaksud membuat ayah malu, ayah tau itu. Ini, aku juga tidak paham ayah, kenapa bisa sekolah membuat tuduhan itu-
"Jangan membuat pembelaan di depan ayah!!" , seketika ucapanku terpotong kala mendengar suara tegas sarat kemarahan besar itu. "Sekarang kamu renungkan hukuman apa yang pantas untukmu sendiri!! Ayah pusing mengurusmu! Kau sukses membuat ayah malu!"
"Tidak! Ayah, aku tidak mencuri soal! Aku tidak curang! Selama ini aku belajar!"
Ayah pergi. Melenggang meninggalkan ku di dalam ruang kerjanya yang berada di dekat kamarku. Ruang kerja yang di dekat kamarku ini dimaksudkan agar ketika ayah lelah atau ketika aku merindukan ayah aku bisa menghampirinya dan kami bisa saling berbagi cerita di ruang kerja ayah.
Sekarang ruangan ini menjadi saksi hilangnya kepercayaan ayah padaku karena selembar hitam diatas putih. Belum ada bukti.
Lututku lemas. Aku tidak kuat. Aku tumpukan berat badanku pada ujung meja kantor ayah dan meremat dada kiriku. Sungguh ketika ayahmu tidak mempercayaimu, itu adalah saat dimana segala yang kau punya terenggut paksa, tiada yang bisa menggantinya lagi.
"I-ibu..K-kak Laras.."
Aku terisak keras, kedua nama yang ku panggil itu tidak disini. Disaat aku kehilangan semuanya. Disaat rindu yang memuncak ini butuh disembuhkan. Kedua nama yang meninggalkanku, hanya dengan kata semua akan baik-baik saja.
"A-ayah. Tidak, ini tidak benar. Aku tidak pernah melakukannya. Percaya ayah.. Ku mohon.."
Satu nama ini. Pahlawanku, anpamanku, idola terbaikku. Alasan apa yang membuatnya menjadi sering marah padaku seperti sekarang. Dan sekarang..
Tidak, tidak!
Aku tidak mau, aku tidak mau kehilangan kasih sayangnya. Cukup!
Butuh beberapa menit bagiku untuk bisa tenang, dari isakan dan sesak yang muncul setelah bertengkar hebat dengan ayah di hari yang seharusnya baik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...