Berbulan-bulan Zahra melawan leukemia yang bersinggah dalam tubuhnya. Segala usaha dan upaya untuk menyembuhkan Zahra sudah dilakukan. Tapi lagi-lagi jika berurusan dengan kanker, tidak ada yang bisa memprediksi.
Kemoterapi yang Zahra lakukan tidak berefek sama sekali. Ia justru semakin memburuk dan kanker itu semakin tidak dapat dikendalikan. Zahra sudah mendapat banyak sekali transfusi darah. Tapi itu hanya sementara membuat kondisinya membaik, Zahra akan tetap memuntahkan darahnya sendiri, mimisan, terkadang mengeluarkan darah dari telinga karena sakit kepala setelah kemoterapi.
Zahra kehilangan setiap helai rambutnya, dia juga mengalami penurunan berat badan yang drastis. Semua alat rumah sakit yang menempel ditubuhnya terlihat mengerikan. Zahra terlihat sangat tersiksa.
Pagi tadi, adalah kemoterapi ke 25 dan Zahra jatuh koma karenanya. Tubuh Zahra sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Ia butuh istirahat, Zahra butuh tenang.
"Adek, ini Abang..." Reno selalu menjenguk adiknya setiap ia pulang sekolah. Ia bisa sampai malam duduk dan bercerita banyak hal pada adiknya yang sedang terbaring. Hari ini, ada bedanya. Reno bicara sendiri. Zahra tidak bisa membalas karena kondisinya dan alat pernafasan yang memaksa masuk dalam tenggorokannya.
"Zahra, hari ini Abang ketemu sama Saras sahabat kamu. Abang tadi ketemunya di jalan. Zahra ngga kangen, Dek, sama Saras? Dia katanya udah kangen berat sama Zahra. Kangan sama cueknya Zahra"
Reno mengambil tisu basah yang ada disakunya dan mengusap setiap jengkal wajah Zahra dengan lembut. Setelah itu selesai, ia tersenyum tipis dan kembali mendongeng untuk adik tercintanya.
"Ibu Susi sangat sedih melihatmu, Dek. Mama Listya juga selalu merasa bersalah. Ayah sangat kewalahan untuk memikirkan semuanya. Dan, Abang hanya bisa memintamu untuk bangun setiap hari dan berharap itu akan terjadi"
Reno meraih salah satu tangan Zahra untuk ia dekatkan pada pipi dan sesekali ia cium dengan dalam.
"Ara, Adek. Ibu Susi sekarang sudah sangat sayang sekali sama Abang. Ibu Susi menerima kehadiran Abang dan itu semua karena Zahra. Kami semua janji akan membahagiakan kamu, Ara. Ara mau apa, Dek? Bilang sama Abang?"
Dalam kesedihannya, Reno tidak menyadari kehadiran Alex ayahnya serta Listya dan Susi yang wajahnya sudah basah dengan air matanya. Karena mereka berdua tidak sanggup, Alex sebagai ayah harus mendekat pada Reno dan memberikan penjelasan.
"Reno. Sudah, Nak" ucap Alex sambil meraih kedua bahu Reno yang begitu kaku. Putranya hanya bisa menggeleng keras. Bukannya membaik, tangisan Reno justru semakin deras.
"Ara, Adek. Kamu inget janjinya sama Abang. Kamu pengen main basket sama Abang. Iya, kan? Makanya sembuh, ya. Abang ngga minta cepet-cepet. Abang cuma pengen Zahra berjuang sekali lagi. Zahra bisa kok, Abang percaya!"
Suara Reno meninggi di dua kata terakhir yang ia ucapkan. Alex yang bisa merasakan emosi yang memuncak dalam diri Reno langsung mencoba meremat sedikit kedua bahunya.
"Reno.." ucap Alex dengan penuh penekanan.
Tanpa diduga oleh Alex, Reno bangkit dari duduknya dan mendekatkan wajah pada Zahra yang masih terpejam.
"Zahra kuat, kok. Abang tau itu"
Reno seakan tidak menganggap kehadiran orang tuanya disana. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin adiknya sembuh dan menyapa dia setiap pagi.
Lalu seseorang yang sedari tadi Reno tidak inginkan akhirnya datang. Dokter dengan Perawat kini bergabung dengan mereka semua.
Alex menatap para petugas medis itu dengan tatapan penuh kehancurannya sedangkan Ibu Susi sudah melemas dengan tangis dalam pelukan Mama Listya. Dalam benaknya berteriak haruskah ia kehilangan putrinya lagi? Inikah karma karena pilihannya yang salah? Apakah seharusnya Ia dan Alex tidak harus bercerai?
"Reno sudah, Nak" kali ini Alex bukan hanya bersuara dengan bisikan saja. Ia sedikit menjauhkan tubuh Reno dari tubuh Zahra yang terlihat sekarat.
"Tidak, tidak. Adek! Zahraa!!"
Reno semakin memberontak saat dirinya makin jauh dari adiknya. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan ayahnya. Tapi Alex juga secepat mungkin membawa Reno untuk ia dekap erat dan tidak membiarkan ia melihat Zahra yang sedang dilepas semua alat bantu penunjangnya.
Zahra sudah tidak bisa tertolong. Tidak ada lagi kemungkinan ia sembuh dari leukimianya. Tidak ada. Maka, jalan terbaik adalah melepasnya pergi.
"Zahra! Jangan tinggalin Abang, Dek!!" teriak Reno dalam dekapan ayahnya.
Setiap bunyi tidak beraturan yang memekikkan telinga sangat mengganggunya. Reno tidak bisa melepaskan Zahra begitu saja. Tidak! Reno tidak bisa kehilangan Zahra.
"Zahra!!"
Tiiiiii........
Tanpa ada kata terakhir atau senyuman Zahra untuk keluarga yang teramat ia cintai. Zahra memilih untuk pergi dan membiarkan mereka semua hidup dalam penyesalan.
Reno segera membalik tubuhnya dan menghempaskan kedua tangan ayahnya kasar. Ia memeluk erat Zahra yang begitu ringan terasa. Adiknya begitu kecil. Reno bahkan bisa merasakan setiap tulang yang menonjol dalam tubuh Zahra saking kurusnya ia.
"Nggak! Nggak! Ara udah janji mau main basket sama Abang! Abang juga udah janji sama Ara, kan?"
Reno tidak mempedulikan suara melengking yang begitu penjang tepat di depan telinganya. Dia hanya terus memeluk Zahra seakan dengan itu adiknya bisa kembali padanya.
"Waktu kematian..."
Reno semakin memperdalam pelukannya.
"Zahra Mahendra, 23 Agustus 2019"
Semua orang tidak akan melupakan kalimat ini seumur hidup mereka.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...