Basket. Satu-satunya hal yang aku suka tapi begitu dilarang untuk aku tekuni. Ayah dan ibu paham bagaimana aku menyukainya. Ayah tau aku begitu menginginkannya, tapi ayah selalu bilang ini hanya hobi untuk menjadi selingan saja.
Apa mama juga selingan saja bagi pernikahannya dengan ibu?
Lamunan ini semakin memuakan, aku tidak menghitung berapa banyak aku berhasil memasukan bola ke ring yang berjada jauh di atasku, aku juga tidak tau berapa jam aku berada di sini, meninggalkan les dan kegiatan ekskul ku di sekolah. Sejujurnya kepalaku pusing dengan segudang kegiatan dan materi yang harus aku terima. Tapi itu demi ayah.
Apa cambukan yang aku terima itu juga demi ayah?
Mulai lagi, pertanyaan konyol itu terlintas pada otakku yang mungkin sudah penuh. Kadang aku merasa masih terlalu kecil untuk memahami penghianatan, perceraian, perpisahan, mama, abang..
Jika aku meyibakkan rambutku lebih dalam mungkin aku sudah beruban...
Sedikit kekonyolan mungkin bisa menghiburku. Sepi rasanya, kakak sudah pergi, ibu bahkan sudah sangat sulit aku hubungi semenjak kepergian kakak. Aku akui kepergian kakak begitu memukul hati kami, kakak pergi disaat menerima kenyataan dirinya tengah hamil dari pelecehan yang dia terima.
Siapa yang berbuat sekeji itu Tuhan? Kenapa harus kakak?
Ibu mungkin tidak kuat, dan berusaha menenangkan diri. Sebelum aku lahir, kakak lebih dulu ada bersama ibu, aku paham rasa kehilangannya. Aku paham situasi sulit yang ibu alami saat ini.
Ibu, ayo kita hadapi bersama, jangan menghindar dariku, aku butuh pelukmu. Kakak sudah pergi, ayah berubah..
Aku sudah bilang kan? Aku memainkan bola basket dan memasukannya ke ring sambil melamun, dan dengan sedikit tersentak bola itu di ambil dari tanganku.
"Adek.. Abang ga tau kamu hobi basket?"
Untuk apa orang ini? Kusambut kedatangannya dengan wajah super datarku.
"Adek, kaki adek belum sembuh. Adek jangan olahraga dulu.."
"Berikan!" dengan satu tangan aku mencoba mengambil kembali bola orange itu tapi dia juga tidak kalah gesit untuk menghalangiku.
"Ayo kita bertaruh"
"...."
"Yang kalah harus mengabulkan permintaan yang menang" , tanpa menunggu jawabanku dia sudah memainkan bolanya dan memasukan bola itu dengan mudah ke ring.
Usahaku untuk merebut bola itu bahkan sia-sia. Apa dia juga suka basket? Atau jangan-jangan ayah mengizinkannya main basket? Dan melarangku?
Untuk kesekian kalinya dia berhasil memasukan bola itu kedalam ring. Emosiku tersulut, aku harus bisa merebut bola itu, karena kalau aku menang aku bisa menyuruh dia dan mama untuk pergi dari rumah.
"Cukup!!" aku memaksa untuk merebut bola itu meski ada sedikit rasa panas dan ngilu di kakiku karena terlalu banyak berlari. Ketika bola itu ada di tanganku, reflek aku menghentakan bola itu dan membuatnya menjauh dari kami.
"Abang ga suka kamu memaksakan diri kamu dek!"
Apa ini? Kenapa dia yang malah meninggikan suaranya padaku seharusnya aku kan yang marah disini, apa dia gila?!
"Kamu ga usah campurin urusanku!!"
"Kamu adek abang, Ara adek abang!"
"Ga akan pernah sudi aku jadi adek kamu.. Kakak aku cuma kak laras yang sudah kamu bunuh!"
"Abang ga bunuh kakak!"
"Lalu siapa? Ibu kamu? Hah? Wanita itu!"
"Dia mama kamu dek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...