Aku sudah membaik, kurasa begitu. Hanya tinggal sisa-sisa sakitnya saja. Taulah, demam dan semacamnya akan sembuh dengan cepat. Aku juga bukan tipe orang yang bisa istirahat lama-lama. Aku harus bergerak. Saat ini aku sedang memakai seragam sekolahku dan bersiap menuju sekolah. Aku berniat untuk memasukan buku dalam tasku. Sesibuk itu, sampai aku tak sadar...
Mama masuk dan menyisir rambut sebahuku. Kami bertatapan melalui kaca lemari yang berada didepan kami. Aku tidak mengerti, aku justru termenung saja dan membiarkan Mama merapikan rambutku. Bukan hanya itu saja, Mama juga memasukan sekotak bekal makan siang dan minumannya dalam tasku. Sedikit merapikan dasiku yang miring lalu melemparkan senyuman khas seorang ibu padaku.
"Ayah sudah menunggu Ara dibawah. Abang juga.. Ara segera turun ya. Kita sarapan"
Tak membiarkan aku merespon atau memberikan jawaban. Mama pergi begitu saja. Meninggalkan aku yang masih terkejut dan bingung.
Aku selesai dengan mempersiapkan diri dan juga kebingungan akan sikap mama yang begitu manis padaku. Lalu saat aku sampai dimeja makan, kebingunganku bertambah. Ibu ada disana. Ibuku ada disana!
"Ibu.."
Kenapa aku jadi canggung begini terhadap ibu kandungku sendiri? Otakku justru teringat pada ibu yang akan menikah lagi dan juga ketidakpedulian ibu saat ayah dan aku sakit. Sedetik pun ibu tak pernah berada disisi kami. Justru mama dan abang yang merawat kami sampai kami sembuh.
Ibuku berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekat padaku yang tiba-tiba membatu karena terkejut.
Aku pun heran. Ini dia, sosok yang sangat aku rindukan sejak kemarin-kemarin. Ibu sudah ada didepanku tapi kenapa sesenti pun aku tak bisa mendekat padanya. Setidaknya menatapnya dengan biasa dan memeluknya aku tak bisa. Ada apa?
Tidak boleh kan seorang anak melupakan ibunya hanya karena dia punya ibu baru?
"Ara, nanti berangkat sekolah sama ibu ya Nak?"
Aku tidak bisa menjawab meski hanya satu huruf. Aku justru menoleh pada ayah dan seketika ayah langsung mengangguk saat kami bertatapan.
"Iya, I-bu.."
Kenapa jadi canggung begini?
***
Bukan hanya aku saja yang diantar oleh ibu, ternyata abang juga. Abang kini duduk dibelakang sementara aku duduk disamping ibu.
"Kemana calon suami ibu?" pertanyaanku mengacaukan suasana sunyi didalam mobil ibu.
"Kau ingin bertemu dengannya?"
Aku hanya mengangkat bahuku saja untuk menjawab dan kembali mengalihkan fokus pada pemandangan diluar jendela mobil. Sebenarnya aku malas membahasnya tapi kekesalanku yang memuncak membuatku merasa perlu menanyakan kabar ibu dan calon suaminya.
Unik sekali, aku bukan hanya akan punya dua ibu. Tapi aku juga akan punya dua ayah. Luar biasa.
"Apa Ara juga akan punya saudara lain selain Abang?"
Nama abang sudah aku sebut. Mungkin dia sedang terkejut atau merasa tidak enak dibelakang sana. Aku tak peduli. Barangkali juga ibu sudah harus mencari stok kesabaran dengan memperbanyak doa pada Tuhan untuk menghadapi setiap ucapan pedasku. Sebagai anak, aku juga merasa tidak enak dan hatiku jujur saja sangat gemetar saat melempar pertanyaan-pertanyaan pedas itu.
"Ibu akan memperkenalkan Ara dengannya. Ara akan tau saat nanti berkenalan dengannya, Nak"
"Baiklah aku tunggu kedatangan ayah baruku!" jawabku ketus. Ketus dan dingin.
Sesampainya kami disekolah aku memberikan salam pada ibu tapi aku tau wajahku sangat dingin dan masih datar. Durhakanya aku hari ini.Aku melangkah pergi meninggalkan abang dan ibu tanpa sepatah kata, dalam bentuk apapun itu.
***
Reno menyodorkan tangan kanannya berniat untuk menyalami ibu tirinya yang sudah mengantar sampai sekolah bersama adiknya. Dengan canggung akhirnya Susi membalas salam dari putra tirinya Reno.
"Ara hanya sedang kesal, ibu"
Susi merasa ada sudut hati yang dongkol disana. Didepannya kini adalah anak dari wanita yang sudah merebut suaminya. Susi memang sabar dan juga ibu yang baik tapi untuk menerima anak dari istri kedua suaminya rasanya dia butuh membeli kesabaran entah dari mana.
"Jaga Ara.." singkat Susi. Lalu tanpa menunggu Reno menjawab dia sudah masuk mobil dan meninggalkan Reno yang masih dipintu gerbang sekolah.
Reno tentulah hanya mengiyakan janji itu dalam hati. Dia mengerti bahwa ibu tirinya itu tidak akan pernah kuat untuk bicara dengannya lebih dari lima menit. Wajahnya pasti membuat Ibu Susi muak melihatnya.
Reno berjalan menuju ruang kelasnya. Tapi langkahnya itu terhenti saat kedua irisnya tak sengaja melihat Ara yang bersembunyi dibalik tembok didekat gerbang sekolah. Adiknya menunduk dalam dengan kedua tangan yang mengepal erat.
Reno berjalan tergesa-gesa menuju Zahra. Dia meneliti setiap jengkal tubuh adiknya. Meraba kening Zahra yang saat ini sedang panas-panasnya. Apa Ara demam lagi?
"Ara.."
Reno terkejut saat panggilannya tak dijawab oleh adiknya dan justru tubuh yang sedari tadi Reno usap itu limbung menimpanya.
"Ara, Ara, Dek.. Bangun! Ara! Tolong! Tolong adik saya!.."
Kepanikan Reno makin tidak karuan saat melihat adiknya mimisan dan wajahnya yang makin memucat serta dingin.
"Tuhan, Dek kamu kenapa?"
Tangan kanan Reno hampir saja menjatuhkan ponsel saking gemetar ketakutan. Reno tidak bodoh untuk langsung menelfon ke rumah. Dia menelfon rumah sakit untuk segera menuju sekolah dan menolong adiknya. Gerombolan siswa dan guru sudah mengitari Reno yang masih memeluk Zahra.
Guru-guru juga ikut membantu Reno menghentikan darah yang keluar dari hidung Zahra.
Tuhan, adikku kenapa?
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Fiksi UmumRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...