Untuk pertama kalinya, suasana di rumah berubah. Ayah yang lebih banyak diam, Ibu yang tadi tadi menatap hal lain selain Ayah sambil memegang bahuku, dan Kakak yang dari tadi menangis tanpa isak, sementara Aku hanya dia. menatap dua orang itu. Orang Asing.
Mama Listya dan Abang Reno. Dua orang itu hanya bisa diam. Dua orang itu tidak bisa balik menatapku yang sedari tadi hanya menatap nanar kehadiran mereka.
Aku memang masih SMP tapi Aku paham betul apa yang terjadi di ruangan ini. Bagaimana yang Ibu rasakan dan seperti apa ketidaksukaan kakak melihat kehadiran mereka. Kita sama kak.
"Ibu, Kakak, Adek, Ayah ngga bermaksud menyakiti Ibu, atau membuat Kakak sama Adek merasa tidak nyaman seperti ini, Ayah mau meluruskan semuanya, Ayah hanya berusaha jujur disini. Ibu, Kakak, dan Adek pasti mau mengerti Ayah kan?".
Ayah bermonolog. Idolaku, panutan keluarga ini, Ayah, apa yang kau bicarakan? Menerima mereka yang berada ditengah kebahagiaan ini. Ayah harus tau bahwa itu tidaklah mungkin.
"Ayah mau Reno, Laras, dan Zahra rukun selayaknya saudara kandung, dan Ayah juga berharap sebaliknya untukmu, Reno. Kalian anak-anak Ayah, dibalik semua yang terjadi pada Ayah, Ibu, dan Mama. Kalian tetap harus rukun dan saling melindungi ya. Anak-anak Ayah, anak yang hebat kan?"
Ayah meminta seakan-akan itu adalah hal sepele. Ayah tidak sadar saat itu semakin Ayah berbicara lebar semakin Ibu berusaha untuk menahan isakannya. Membuatku meremat pegangan sofa semakin erat, dan membuat Aku semakin memandang benci dua orang itu.
"Ayah juga mau kalau Mama Listya dan Abang Reno untuk tinggal serumah sama kita"
Brak!!. Kali ini Aku tidak bisa menahannya lagi.
"Aku ngga mau, Ayah!" kataku dengan suara keras. Aku tidak kuat lagi. Aku tidak bisa menerima mereka. Mereka melukai keluargaku.
"Zahra!". Suara Ayah juga ikut meninggi dan untuk pertama kalinya Aku bertengkar dengan Ayahku sampai seperti ini.
"Ayah ngga mikirin perasaan kami Kakak sama Adek ngga akan pernah bisa menerima mereka dan kenapa dari tadi Ibu cuma diem aja?!" suara lirih Kak Laras yang masih menangis itu semakin membuatku membenci momen ini.
"Kakak, dengerin Ibu, ini permintaan Ibu..". Penjelasan Ibu kali ini cukup untuk membungkam mulut kami beberapa saat.
"Laras, Ara, maafin Ayah sama Ibu sebelumnya karena sudah menyakiti hati kalian. Tapi tetap Abang Reno itu saudara kalian, anaknya Ayah sama kayak kalian dan Mama Listya itu mama kalian sama kayak Ibu. Ibu rasa Laras sama Ara udah paham maksud Ayah mengundang mereka kemari. Mereka keluarga kita, Nak". Ibu berbicara seakan-akan kami memiliki stok kesabaran yang tinggi sama sepertinya.
"Nggak, Ibu. Ini salah. Ibu, Aku sama Adek ngga mungkin bisa menerima mereka. Aku ngga punya Abang dan Aku ngga punya Mama lain! Yang Aku punya cuma Ayah, Ibu, sama Adek. Mereka bukan siapa-siapa!" suara kakak meninggi. Terlihat kemarahan juga diwajahnya kali ini.
Sedari tadi, Aku hanya diam dan menundukan kepalaku. Aku tak berani berbicara lagi setelah dibentak Ayah. Aku biarkan orang-orang dewasa ini berbicara dan Aku hanya mendengarkan, walau sebenarnya Aku muak.
"Laras, Ibu ngga pernah ngajarin kamu ngomong kayak gitu didepan saudara kamu. Ibu udah bilang kan, Ibu yang minta mereka untuk datang dan tinggal d sini".
Apa ini?Aku tidak terima!! Ibu, apa yang sebenarnya dalam pikiranmu? Kenapa?!! Ibu yang kelewat sabar atau Ayah yang keterlaluan. Aku tidak bisa membedakan. Aku tidak peduli Aku ingin mereka pergi!!
"Laras, Ara. Ayah tau semua salah Ayah. Tapi Ayah punya alasannya. Dulu setelah Ayah dan Ibu menikah, Ayah menikah juga dengan Mama Listya selang waktu satu tahun, makanya meskipun Ibu istri pertama Ayah tetep Reno itu Abang kalian karena dia lebih tua. Jadi Ayah minta kalian menerima mereka menjadi bagian keluarga ini?". Ayah meminta dengan suara bijaksananya terlihat mengakui kesalahannya tapi sekaligus membela diri. Ayah benar-benar makin membuatku mengidolakannya, dia bisa membuat kesalahannya terdengar seperti kebenaran yang pantas tanpa tau sakit hati yang anak-anaknya rasakan. "Karena sebenarnya juga, Nak. Ibu dan Ayah berniat untuk berpisah. Jadi, Ayah sama Ibu minta sama kalian untuk mengerti meski Ayah tau sebenarnya sulit untuk kalian" ucap Ayah yang makin tak menyadari ada luka dihati anaknya yang semakin sakit.
"Laras. Ngga. Akan. Sudi!" ucap Kak Laras penuh penekanan dengan emosi dan pergi meninggalkan kami yang masih betah dengan kehancuran ini.
"Ara, kamu kesayangan Ayah dan Ibu. Kamu ngga akan mengecewakan Ayah, kan?" tanya Ayah, seperti permohonan padaku.
"Kenapa Ibu meminta mereka datang kesini?" suaraku melunak, tercekat dan begitu lirih. Membuat mata Ibu berkaca-kaca dan langsung memelukku.
"Mereka keluarga kita, sayang. Mereka pasti akan menjaga dan merawat Ara dengan baik, maafin Ibu, Ibu sayang sama kakak dan adek, ibu pengen kalian ada yang jaga. Ayah dan Ibu udah ngga bersama lagi. Tapi kami berjanji untuk selalu ada dan sayang sama kakak dan adek" bisik Ibu di telingaku. Yang sebenarnya Aku tulikan.
"Kenapa bu? Mereka menghancurkan kita. Ayah sama Ibu ngga boleh pisah, Ara mohon, Ara takut". Rasanya Aku seperti radio rusak yang hanya bisa bertanya kenapa kenapa dan kenapa.
Orang-orang itu tak pantas menyakiti keluargaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Ficción GeneralRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...