Reno mengusap perlahan kaca kecil yang terpasang bersama pintu yang membatasi dia dan Zahra. Kondisi anak itu makin jauh dari kata baik. Secara tiba-tiba Zahra mengalami sesak nafas dan tidak sadarkan diri kembali. Kelelahan atau demam tidak akan sampai seperti ini.
Sejak satu jam yang lalu semuanya tak pernah berhenti untuk memangisi keadaan bungsu dari keluarga Mahendra.
Vonis sudah dijatuhkan melalui pemeriksaan laboratorium dan juga pemeriksaan penunjang lainnya.
Acute Lymphocytic Leukemia
"Argh!" rasanya Reno ingin sekali mengumpat sebanyak mungkin dengan teriakan sekencang-kencangnya. Tuhan terlalu tidak adil padanya. Saat Zahra sudah mulai membuka hati menerimanya sebagai abang justru Tuhan berusaha mengambilnya. Apa masih kurang? Apa masih belum cukup Tuhan mengambil Laras dulu? Zahra? Tidak! Reno terlalu menyayangi adiknya.
Sejak vonis itu terucap dari Dokter Spesialis Medikal dan Bedah kini keluarga itu tak bisa menghentikan air mata dan hanya Ayah serta ibu kandung Zahra yang berada disampingnya. Reno dan Mama Listya cukup sadar diri untuk memberikan ruang pada mereka.
Reno membuka kembali kedua mata yang semula terpejam karena rasa perih dan panas akibat menangis hebat sedari tadi. Dia tak bisa melihat seluruh wajah Zahra karena anak itu sedang memakai masker oksigen tapi dari sudut itu, Reno bisa melihat pucat dan kedua tangan Zahra yang harus ditusuk jarum sana sini.
Padahal Reno niatnya ingin mengajak Zahra membeli bola basket dan memainkannya sore nanti. Tapi tak akan terwujud. Zahra tak boleh kelelahan atau beraktifitas berat. Kedua orang tuanya bahkan harus mempertimbangkan sekolah Zahra kedepannya.
Menurut Reno yang dia lihat dari sisi seorang abang, anak itu tidak akan mau dibatasi. Basket adalah hobinya meski ayah selalu melarang anak itu tetap bermain saat jam istirahat di sekolah. Meski Reno membujuk Zahra untuk beristirahat anak itu tak akan beranjak sebelum dia yang menginginkan sendiri. Reno yakin Zahra akan menolak saat dia harus berhenti sekolah demi kesehatannya.
Mama Listya mengusap wajah berair miliknya dengan perlahan lalu berusaha kuat untuk mendekat pada Reno. Putranya itu belum makan apapun sejak menghadapi waktu yang sulit ini.
"Reno. Biarkan ayah sama ibu disamping Zahra. Nanti kalau ada waktu pasti Reno juga bisa disamping Zahra. Sekarang Reno harus jaga kondisi Reno, Zahra juga tidak boleh banyak fikiran. Kamu tadi dengar kan penjelasan dari ayah soal itu?"
Reno sebenarnya tak akan punya selera meski untuk minum sesuatu tapi dia juga tak bisa membiarkan jika Zahra akan terlalu stress atau makin sakit saat dia sendiri juga tak bisa menjaga kondisinya. Segalanya sudah rumit, Reno tak ingin membuatnya semakin sulit.
***
Reno hanya menelan dua suapan setelah itu dia hanya mengaduk nasi hangat yang sudah berantakan akibat ulahnya. Tidak ada keinginan untuk lanjut menyantap makanan lagi. Dia benar-benar kehilangan selera makannya.
"Reno.." panggilan lembut dari Mama Listya membuat putranya mengangkat kepala dan berkata "Apa semua ini salah Reno, Ma? Salah kita karena hadir dikeluarga mereka? Tapi kenapa harus Zahra sama Laras yang harus menerima hukumannya, Ma? Kenapa?" akhirnya isak tangis Reno yang sudah mereka harus kembali datang menghampiri anak itu.
"Ini adalah hukuman untuk Mama, Ayah, dan juga Ibu. Kamu benar, Nak"
Reno menyangga kepala beratnya dengan kedua tangan yang sedari tadi gemetar karena keadaan.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Zahra nanti harus kemoterapi dan kesakitan setiap saat. Aku tidak bisa, Ma"
Kini Mama Listya ikut meyangga kepalanya. Dia menangkup kedua tangan putranya dengan kedua tangannya. Dia kuatkan Reno agar Zahra juga bisa melewati semuanya.
"Nak, tidak jangan ragukan adikmu. Dia bungsu keluarga yang kuat. Kau tau sendiri. Kau buktikan itu setiap saat. Saat ini bukan hanya kita yang sedih tapi juga Zahra yang pastinya akan membutuhkan kita untuk melawan penyakitnya. Reno paham maksud Mama?"
Reno mengangguk kuat tiga kali. Disisi lain dia juga masih ingin menyuarakan kesedihannya. Dia tak ingin menyimpan kesedihan saat menemui Zahra nanti. Dia tak akan membiarkan adiknya melihat air mata miliknya.
***
Reno kembali setengah jam setelah menyelesaikan makan siang yang penuh kesedihan di kantin rumah sakit. Reno tepat sampai disana saat ayahnya dan ibu tirinya keluar dari kamar rawat Zahra. Ibu tirinya tampak kacau dan berantakan. Sebagai seorang ibu Listya juga paham bagaimana sakitnya saat anak yang begitu dia cinta harus dibayang-bayangi kematian setiap saat.
Ibu Susi yang tidak lagi sanggup berdiri kini terduduk lemas pada kursi tunggu didekat kamar rawat Zahra. Dia hempaskan begitu saja tubuh lelahnya. Lalu kembali menangis tersedu disana. Sementara Mama Listya menenangkan Ibu Susi, Reno perlahan mendekat pada ayahnya. Lalu tanpa basa basi ayahnya menganggu dan mengijinkan Reno untuk menemui Zahra.
"Ara belum sadar Reno. Jika nanti dia membuka mata dan menanyakan kondisinya, jawablah dengan jujur. Zahra pasti bisa menerima"
Kenapa Reno justru takut? Anak itu menggeleng cepat beberapa kali saat mendengar permintaan ayahnya. "Aku tidak bisa ayah. Maafkan aku, aku tak mungkin jujur pada Zahra aku tidak bisa.." jawab Reno dengan diselingi isakan.
"Kalau begitu bantu lah ayah untuk membuat Zahra tetap kuat. Yakinkan padanya bahwa dia tidak sendirian untuk berjuang melawan sakitnya"
Reno mengangguk perlahan lalu menerima rengkuhan ayah tirinya. Mereka tak bisa apa-apa selain saling menguatkan satu sama lain.
Reno membuka pintu ruang rawat Zahra dan kini dia memaksakan diri untuk kuat melihat kondisi Zahra yang lemah. Reno bahkam tidak tau kalau Zahra yang dingin dan ketus bisa tak berdaya seperti sekarang.
"Apapun yang terjadi. Kami akan tetap bersamamu, Dek"
Reno mengangkat perlahan tangan kanan Zahra yang terbebas dari jarum apapun lalu dia kecup penuh kasih sayang dari seorang kakak.
"Kakak nunggu kamu buka mata. Kakak tidak akan pergi. Ayah, Ibu, Mama dan Abang selalu sama kamu"
Sadar atau tidak suara Reno sudah sangat bergetar. Karena tak sanggup lagi untuk kuat, akhirnya Reno putuskan untuk tertidur disamping Zahra dengan kedua tangan yang masih memeluk lengan lemah milik adiknya. *
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...