Senja kini menyambutku. Berjalan menemaniku pulang dari les bimbel dan sedikit bermain basket. Dulu saat aku berjalan pulang aku selalu bersemangat. Pulang adalah saat dimana aku akan mendapatkan cinta kasih yang begitu banyak sampai aku tak bisa menceritakannya kembali.
Aku bangga pada kehangatan keluargaku, yang selalu aku ceritakan pada teman-temanku kala aku di masa kanak-kanak dulu. Aku akan berteriak kencang sekali ketika guru akan menanyakan apa pekerjaan orangtuanya, bagaimana kehidupan keluarganya, dan seberapa sayang saudara yang dimiliki.
Hmm.... Aku masih ingat ketika itu.Keluargaku adalah keluarga yang memiliki kasih sayang dan akan selalu bersama ibu guru.
Ya.. Seperti itulah teriakanku kala itu. Teman-temanku yang bermain ke rumahku bahkan mengatakan bahwa hidupku sudah sempurna dengan keluargaku yang saling menyayangi.
Saat aku pulang kerumah, aku akan disambut dengan senyuman teduh ibu, kecupan kening dan cubitan gemas di pipi kananku sebagai hadiah dari kerja kerasku dihari yang melelahkan. Kakak juga akan memelukku erat dan mengusak jahil rambut sebahuku. Ayah? Hal yang paling sering dia lakukan adalah menangkup wajahku dan menggesekkan hidung kami dengan gemasnya.
Dan sekarang ini ketika membuka pintu rumahku...
"Kamu keterlaluan mas! Ga seharusnya kamu kasar sama anakku!"
"Apa yang kamu bicarakan!? Kamu yang sudah berbohong sama Ara!"
"Aku ngelakuin semua ini ada alasannya, kamu pun paham itu!"
"Jangan bela diri kamu sendiri! Pikirkan perasaannya!
"Lantas kamu mau apa!? Kamu mau aku batalkan pernikahanku? Kalau begitu ceraikan dulu Listya!!"
"Sejak kapan kamu kurang ajar seperti ini!! Apa kamu tidak malu kalau sampai Ara mendengar ini!!"
"Kamu yang seharusnya malu!! Kamu yang menghianati keluargamu sendiri! Keluargamu hancur karena ulahmu sendiri!! Sekarang kamu bilang kalau aku yang kurang ajar!! Aku ga akan begini kalau kamu ga tergoda sama perempuan lain mas!!"
PLAKKK!!!
Ayah tidak pernah sekasar itu pada ibu. Ibu tidak pernah sebenci itu pada ayah. Keluargaku tidak pernah seperti ini. Sungguh. Telingaku panas dan hatiku menjerit sakit mendengar kedua orang tuaku saling menuding dan melempar kesalahan masing-masing.
Kufikir kedatangan ibu akan mengobati rinduku dengannya, terlepas dari kabar pernikahan kedua ibu. Aku fikir ibu akan mengusap kepalaku, mendekapku erat dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, kita akan baik-baik saja.
Tapi ternyata ibu semakin jauh dari jangkauanku. Ibu selalu marah-marah dan menuding ayah. Menyalahkan ayah atas kesalahan ayah apapun itu. Ayah juga akan sekasar dan main tangan dengan ibu. Ayah tidak seperti itu. Ayah tidak pernah main tangan dengan keluarganya.
Tapi kenapa jadi seperti ini? Keluargaku sungguh berantakan.
Aku melangkahkan kakiku, mendekat pada mereka dengan hati yang berkecamuk marah dan kecewa. "Ibu.." , panggilku lirih. Dan kedua pasang mata itu tertuju padaku. Aku tau mereka menjadi sangat canggung dan aku tidak boleh membuat suasananya menjadi kacau.
Kak laras sudah pergi dan hanya aku yang menjadi anak mereka. Hanya aku satu-satunya yang bisa menjadi alasan bagi mereka untuk bersatu kembali. Meski kutau itu sangat sulit.
Setelah posisiku sudah berada di dekat ibu dan ayah, aku mencetak senyuman senduku dan menggenggam tangan ibu, "Ibu, aku merindukanmu. Ibu juga merindukanku kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...