Aku tau tubuhku sudah tidak bisa seperti dulu. Untuk begadang malam saja sudah sangat membuatku lelah. Jika aku sudah lelah sudah dipastikan aku akan mendapatkan infus untuk menormalkan cairan dan keadaan asam basa dalam tubuhku. Maka dari itu meski sudah dirumah rasanya aku masih seperti mendekam di rumah sakit.
Aku tidak mau ikut Ibu untuk berobat diluar negeri. Aku tidak ingin jauh dari Ayah. Lagipula aku disana hanya akan bersama Ibu dan Ayah tiriku. Mereka ada urusan pekerjaan disana sedangkan aku hanya akan ditinggalkan di rumah sakit dan belum tentu juga ayah tiriku itu mau menerimaku.
Setiap malam aku masih mendengar ayah yang berteriak dari ruang kerja saat menelfon ibuku. Ibu masih sangat ingin membawaku ke luar negeri padahal aku sudah menolak itu sedari dulu.
Aku melangkah dari meja belajar menuju kasurku. Tapi sepertinya aku memang sudah lemas dan akhirnya aku harus terjatuh. Sekedar kembali ke tempat tidur saja aku membutuhkan waktu.
Karena Leukimiaku ini aku sungguh kesulitan.
Setelah berhasil untuk menggapai tempat tidur, aku baringkan tubuhku dan langsung memejamkan mata. Lelah sekali. Aku sangat lelah....
***
Aku mengerjabkan kedua kelopak mataku saat aku merasakan ada semacam handuk dengan suhu yang hangat berada diatas dahiku. Entah ini keringat kesakitan atau yang lainnya.
Saat aku membuka kedua mataku lemah aku melihat mama yang terkejut dan juga menurunkan wajah beserta tangan yang sebelumnya ada didahiku.
Kulihat dengan samar-samar mama yang merapikan sesuatu dimeja dan mempercepat langkah untuk pergi.
"Ma.."
Ini, adalah untuk pertama kalinya aku memanggilnya dengan panggilan yang pantas, Mama.
Saat aku merasa tidak ada jawaban atas panggilanku. Aku mencoba menegakkan badanku yang lemas dengan usaha yang teramat berat. Tuhan, penyakitku sudah separah ini.
Mama hanya berjarak tiga langkah dariku sehingga aku bisa dengan mudah menggapainya. Saat akan mengambil bahunya aku terjatuh keras dilantai karena tungkaiku yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan.
Aku tidak meringis kesakitan ataupun teekejut. Karena aku yakin untuk hari-hari kedepan aku akan mengalami yang lebih sakit dari pada ini.
Mama segera membantuku berdiri dan melihat lututku yang sedikit tergores akibat ulahku sendiri.
Mama kemudian berlari keluar, aku sudah tau ia akan mengambil kotak obat lalu kembali untuk merawat luka yang kecil namun bisa menjadi parah karena kankerku.
Saat Mama mengobati lukaku, ia menangis terdiam dan aku juga ikut menangis terdiam karenanya. Hanya butuh waktu beberapa detik untuk Mama mengobati lukaku dan kami yang masih menangis diposisi yang sama. Dari sini aku dapat melihat kedua bahu Mama yang gemetar hebat dengan punggung yang naik turun karena terisak.
Ibuku sendiri, tidak seperti itu. Ia justru sangat memaksa ingin membawaku pergi jauh untuk berobat. Padahal yang aku butuhkan adalah perhatian kecil semacam ini.
"Mungkin ini adalah hukuman untukku karena aku sangat kasar pada Mama dan Abang"
"Tidak, Nak. Zahra anak yang baik. Zahra tidak seperti itu". Mama membelai kedua sisi wajahku. Sungguh aku benar-benar merindukam usapan sayang seperti ini dari kedua orang tuaku.
Saat ini mereka masih berdebat soal pengobatan yang akan aku jalani. Mereka tidak memperdulikan apa yang aku butuhkan atau bagaimana kondisiku sekarang. Mereka justru sibuk berdebat. Justru Mama dan Abang yang sudah jelas bukan keluarga kandungku, mereka yang merawatku dan memberikan perhatian seperti ini.
"Ma-af. Aku tau sudah sangat terlambat, tapi..tapi, aku minta maaf untuk semuanya, Ma.."
Mama Listya kemudian memelukku erat dan membelai kepalaku yang saat ini juga dilanda ngilu dengan sangat lembut.
"Zahra tidak boleh berfikir yang macam-macam. Zahra tidak boleh terlalu stress, ya sayang?"
"Ara, tidak akan sembuh, Ma"
"Sssttt... Tidak". Mama Listya melepaskan pelukannya dan kembali menangkup wajahku. Membuat aku fokus menatap raut Mama Listya dari jarak yang teramat dekat yang sebelumnya tidak pernah kami lakukan.
"Bungsu kebanggan keluarga Mahendra yang Mama kenal tidak pernah menyerah. Ia selalu bekerja keras. Bahkan begadang sehari semalam ia jalani demi pendidikannya. Zahranya Mama sama Abang tidak lemah, dia bungsu yang sangat kuat dan selalu berani. Ara bukan anak yang mudah berputus asa"
Mama Listya makin mendekatkan wajahku padanya. Aku sangat bisa melihat sorot mata yang tulus dan teduh, sama seperti milik Abang.
"Kita semua bersama Ara. Ayah sedang mencari pengobatan yang terbaik. Ibu Susi selalu menanyakan kabar Ara pada Ayah. Mama Listya dan Abang Reno juga akan selalu ada disisi Ara, kapanpun Ara memerlukan kami"
Mama Listya memelukku lagi.
"Kami semua sangat menyayangi Ara, jangan berfikir untuk meninggalkan kami, Nak. Karena kami semua pastinya akan hancur. Ara tidak berjuang sendiri. Ada kami yang akan selalu menggenggam tangan Ara"
Kedua tanganku perlahan terangkat untuk membalas pelukan Mama yang sama hangatnya dengan pelukan Ibu. "Terima kasih, Mama"
Akhirnya, sekarang aku bisa memanggil istri kedua ayahku dengan panggilan yang pantas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Ficção GeralRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...