Tubuhku memang punya imunitas yang luar biasa sepertinya sudah terlatih saja untuk tahan banting meski tadi pagi terserang demam tinggi. Ah kecil saja kalau itu mah!.
Sisa sakit seperti itu sebenarnya masih aku rasakan yang lemasnya atau pucat diwajahku juga masih ketara, namun aku tidak akan menjadi Zahra Mahendra yang keras kepala dan ketus kalau aku terbaring dikasur seharian. Sekarang, aku tengah berkemas untuk kerumah sakit menjenguk ayah.
Aku...tidak sendiri.
Abang bersamaku.
Tanganku dengan cekatan meraih ponsel putih kepunyaanku dan langsung menenteng tas gendong hitam kesayangan lalu melangkah menghampiri Abang yang sudah menunggu dari tadi.
"Kalau Ara ngerasa capek atau apa kita langsung pulang, ya?"
Aku mengangguk kecil namun cepat selama beberapa kali tidak sampai menunduk dan tidak menunjukan senyuman untuk perhatian kecil semacam itu.
Kami kemudian melangkah beriringan menuju halte bus. Iya, kami naik bus. Abang Reno kan belum punya SIM.
"Dek, apa ga sebaiknya kamu makan sesuatu dulu? Kamu cuma makan tadi pagi doang"
Bubur satu sendok dan obat orang sakit
"Ya udah, nanti mampir aja ke tempat makan"
Ini...pertama kalinya aku pergi dengan Abang Reno. Kini semacam asumsi masuk di fikiranku kembali membuat aku merasa bimbang pada diriku sendiri. Aku ini masih sangat sakit karena perpisahan kedua orang tuaku. Tapi hatiku yang lain bilang bahwa itu bukan salah Abang Reno, dia pasti pun juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Ada pikiran lain juga yang masih membencinya namun pikiran untuk menerima Abang dan Mama sebagai keluargaku juga sedang menghantuiku sekarang.
"Sudah tau alasan Ayah sakit?"
"Sudah"
"....Ayah sakit karena melihat Ara yang sedih dan selalu menyesali keputusan yang Ayah ambil"
Aku menolehkan kepala pada Abang tepat setelah dia menyelesaikan kalimat yang kelewat tenang dan juga pasti itu. Lalu sejenak kemudian Abang juga mengalihkan pandanganngan padaku yang sudah menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Ayah sangat sayang sama Ara, Ayah merasa kalau Ayah bukan Ayah yang baik karena membuat Ara selalu sedih bahkan Ayah pun juga menyesali semua yang Ayah lakukan"
"Ayah menyesal menikah dengan Mamamu?"
"Bahkan Ayah menyesal punya Anak darinya"
Apa aku sudah keterlaluan?
"Zahra dan Laras itu anak Ayah. Selamanya seperti itu. Abang ga ada niat dan ga mungkin bisa untuk menjadi anak Ayah...
"Maaf", aku memotong cepat apa yang coba Abang jelaskan. Aku pasti sudah keterlaluan. Kelahirannya tidak diharapkan lalu Ayah menyesal menikah dengan Mamanya ditambah dengan aku yang selalu menolak kehadirannya. Setiap hari ketika bertemu Abang atau Mama pasti aku selalu ketus dan tidak pernah sopan. Menuduh, menghina, bahkan mengatakan karena mereka keluargaku berantakan.
"Maaf"
Permintaan maafku yang kedua itu sedikit berat aku ucapkan. Dengah helaan nafas yang juga sedikit berat karena baru tau kenyataan yang seperti ini.
"Abang, boleh jujur banyak hal sama Ara hari ini?"
Aku kembali menatapnya lama dan memutuskan untuk menganggukan kepalaku. Pandanganku ini tidak pernah salah, dalam penglihatanku sekarang kedua jendela dunia milik Abang berkaca-kaca seperti sudah menemukan harapan baru atau sesuatu yang sudah Abang inginkan sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
Художественная прозаRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...