Kak Laras. Tidak terasa sampai saat ini sudah 5 bulan ia meninggalkanku pergi ke surga. Kakak yang lebih memilih pergi dan memilih mencari kebahagiaan bersama Tuhan dengan cara yang teramat keji.
Sedikit foto di galeri ponsel dan yang terpajang di kamarku belum mampu menyembuhkan rindu ini. Seharusnya saat itu kakak bisa mengerti bahwa dia tidak sendiri, keluarganya akan menerima apapun kondisi kakak.
Tanpa pamit, dan dalam penderitaan kakak meninggalkan kami. Hampir gila aku rasanya mengingat wajah kakak yang pias. Persoalan kenapa dan siapa yang membuat kakak seperti itu sudah tidak dibahas lagi dalam keluargaku.
Ayah dan ibu lebih memilih untuk menerima dan menyerahkan semuanya pada Tuhan dan hukum.
Setelah kepergian kakak keluarga ku semakin menjadi keluarga yang dingin dan tidak lagi sapaan meskipun hanya selamat pagi. Bahkan di hari libur seperti ini ayah lebih memilih untuk mengerjakan tugas lapangan, katanya. Ibu sempat menelfonku dan obrolan layaknya anak dan ibu terjadi disana, walaupun sebenarnya yang aku inginkan adalah bertemu dengannya.
Ibu saat ini tinggal di rumah kakek dan nenek di surabaya. Semakin jauh jarak antara aku dengan ibu. Ibu memutuskan pindah karena kondisi kakek yang menurun karena faktor usia. Ibu bilang kakek ingin merasakan di kampung halamannya. Come back home. Kata ibu yang aku dengar di telfon beberapa pekan lalu, rumah adalah tempat untuk pulang.
Tapi ibu sendiri tidak pulang ke rumah.
Dulu saat libur seperti ini, kakak yang paling bawel untuk memabawaku kemana saja yang dia mau, seakan aku ini barang yang bisa dijinjing seperti tas kesayangannya. Sekarang tidak ada yang seperti itu lagi. Kakak yang selalu disisiku akan tergantikan dengan kakak yang lain. Bisa kalian bayangkan itu? Dan parahnya lagi dia adalah anak dari perusak pernikahan kedua orang tuaku.
Jika boleh jujur aku tidak bisa melupakan luka ini, mungkin seumur hidupku. Setiap hari setelah kedatangan mama dan abang semua terasa berat. Ayah sering menghukumku dengan belajar tanpa ampun menegaskan bahwa nilai ku di sekolah harus selalu bisa membanggakan. Itu melelahkan sekaligus membuat kepalaku seperti dihantam palu.
Sakit dan sesak kini muncul setiap aku mengingat luka yang harusnya memang tidak aku ingat. Itu bukan hal bagus, tapi melekat dalam diriku.
Ibu..anakmu rindu
Ckleeekkk
Pintu kamarku terbuka dengan pelan, membuat aku yang sedang menikmati rindu dengan keluargaku jadi buyar.
"Ara, kabarmu baik hari ini Nak?"
Sapaan lembut itu...seharusnya ibuku yang mengucapkannya, seharusnya ayah yang melakukannya.
"Ara ada acara hari ini? Mau sarapan apa Nak?"
Tolong diamlah...
"Mama, belum tau kesukaan kamu apa saja sampai sekarang. Jadi maafkan mama ya Nak?"
"Tidak apa, akan ku siapkan sendiri", cukup ketus sebenarnya jawabanku untuk seseorang yang sudah seusia ibu.
"Mama bangga sama Ara, kamu begitu mandiri dan bertanggung jawab Nak" , setelah mengatakannya mama menangkup wajahku, "Mama sayang sama Ara".
Haruskah mama menatapku sedalam itu, dan haruskah dengan mata yang berkaca-kaca juga?
"Mama minta maaf Nak, atas semua yang menimpamu dan kekacauan ini, mama sama sekali tidak bermaksud ingin semua ini terjadi", usapan lembut mama ia berikan di kepalaku yang sesungguhnya sangat merindukan usapan kepala dari ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Sister || End || PROSES TERBIT
General FictionRumah yang seharusnya untuk pulang menjadi tempat yang kubenci...