[Sevia : 3]

50 21 51
                                    

Part 3: A Lurid Face

Kelas yang awalnya ramai bagaikan pasar kambing berubah menjadi sepi ketika pintu terbuka. Namun kembali ramai karena ternyata yang masuk bukanlah guru seperti yang mereka takutkan. Tetapi seorang siswi cantik dengan gengnya. Siapa lagi kalau bukan Ralin and the geng.

"Oi masuk sembarangan gak ketok pintu dulu!"

"Gue kira siapa, ngagetin orang lagi gosip aja."

"Ngapain lo ke sini? Ini kelas IPA, anak IPS gak boleh masuk."

Grasak-grusuk siswa-siswi tak Ralin hiraukan karena tujuannya ke sini bukan untuk mengurus hal seperti itu. Ia punya tujuan lain. Lagi pula hal seperti itu tidak penting baginya.

"Mocha mana?" tanyanya entah pada siapa karena di dalam kelas tersebut ada banyak orang.

"Nyari siapa?" tanya Samuel, salah satu siswa di kelas tersebut.

"Mau nyari Mocha. Mana?" tanya Ralin to the point. Cewek itu celangak-celinguk ke dalam kelas Samuel.

"Oh. Iya gue baru tahu kalau namanya tuh Caramel, bukan Mocha," jelas Samuel.

"Terserah siapa. Mau Caramel kek, mau brownies kek, gue nggak peduli yang penting gue ingin ketemu sama tuh cewek."

Cowok itu cengengesan di hadapan Ralin. Kemudian mendekat dan berbisik, "Santai, gue ada rencana buat ngerjain tuh cewek."

"Apaan?" tanya Ralin dan dijawab Samuel dengan tersenyum penuh arti.

"Yang namanya Caramel, dipanggil noh sama fans lo!" seru Samuel. Beberapa detik tidak menyahut, Samuel menoleh ke belakang. "Tuli apa budek--" Belum sempat Samuel melanjutkan kalimatnya, Ralin sudah lebih dulu masuk ke dalam kelas dan mendekati Caramel.

"Gue gak mau basa-basi lagi. Maksud lo ngirim surat peringatan tuh apa? Lo mau nakuti gue?" tanya Ralin dengan suara lantang.

Para mata yang tadi sibuk sendiri kini sama-sama menatap ke arah dua orang cewek itu. Caramel diam saja. Tidak ingin menjawab pertanyaan yang mungkin hanya untuk memancing emosinya saja.

"Ck. Apa lagi sih? Ini kan belum bel istirahat," ucap Caramel. Meletakkan buku dan headset-nya. Menatap Ralin. " ... kedua," lanjutnya.

"Siapa bilang bel istirahat kedua heh? Gue bilang--"

"Emang gak ada sih yang bilang jam istirahat kedua. Kan kemarin lo bilang bel istirahat bunyi harus udah di sana," potong Caramel. Tatapannya mengarah ke hal lain. "Dan gue males. Kalau emang lo butuh ya ambil sendiri lah."

"Lo berani banget sih sama gue?" Sudah jelas ini bukan pertanyaan.

"Udah-udah. Jadi gini, kemarin lo dapet tugas kan dari Ralin? Buruan sini kasih. Dan karena lo telat ngasihnya, jadi lo dapat hukuman dari gue." Samuel ikut menimbrung percakapan mereka.

"Lo gak usah ikut campur." Desis Caramel. Berbalik badan, mengambil seragam Ralin dari tasnya dan sudah terbungkus rapi di plastik kemudian meletakkannya di meja. "Nih. Lain kali jangan jorok lagi," ucap Caramel sarkastis.

Tangan Caramel yang bebas, ditarik kuat oleh Ralin. "Ikut gue," ucapnya penuh penekanan.

"Gue udah gak ada urusan sama lo lagi, lepas!" Tangan Ralin dihempaskan Caramel.

Keadaan kelas semakin ricuh dan tak terkendali. Menonton seseorang melawan ketua geng pembully adalah hal langka. Tidak ada yang berani, kecuali orang satu ini.

"Maksud lo apaan bikin kaki gue sakit kemarin hah?" Ralin kembali memegang tangan Caramel dan membisikinya tepat di telinga kanan Caramel.

Dengan refleks, kepala Caramel menoleh ke samping kanan. Tidak menyangka maksud dari perkataan Ralin tersebut. Selain suka membully, ternyata gadis itu tukang fitnah. Caramel pernah mengira kalau Ralin dan gengnya hanya akan membully orang-orang yang mengganggunya saja.

Pelan dan lembut, Caramel melepas pegangan tangan Ralin. Ia ganti memegangnya. Menariknya menuju tempat lain. Tidak ingin Caramel jika orang-orang mendengar fitnah tentangnya dari Ralin.

Sorakan mengisi ruangan kelas terbaik itu. Suara koor 'hu' terdengar bergema. Menyaksikan perdebatan antara dua orang berbeda sifat, menjadi hal yang menarik bagi warga kelas 12 IPA 1.

Samuel menatap kepergian dua orang itu dengan curiga. Ada yang mengikuti di belakang dua orang itu.

***

Sepi. Tidak ada orang di dalam sekolah sore hari. Petugas sekolah juga tidak ada. Tetapi pintu gerbang depan masih terbuka. Seperti memberi akses kepada Caramel untuk memasukinya dengan segera. Perasaan takut serta jantung berdetak kencang tak Caramel hiraukan.

Alasan Caramel datang ke sekolah sore-sore adalah untuk mengambil bukunya yang hilang. Sudah ia mencari di tas, di seluruh sudut-sudut rumahnya tetap tidak ada. Pilihan pertama adalah menanyakan kepada Pinky. Barangkali cewek itu membawanya.

Dan zonk. Pinky tidak membawa satu pun buku milik Caramel. Pilihan kedua, ia harus ke sekolah untuk memastikan kalau bukunya ada di sana. Sebenarnya ia tidak mau mengambilnya, dikarenakan besok ada ulangan harian pelajaran tersebut, ia terpaksa harus berangkat saat itu juga.

Seakan sengaja membuat Caramel kepayahan, letak kelasnya ada di barisan belakang, pojok bagian atas. Sudut dan tidak ada lagi kelas di sebelahnya. Depannya, merupakan balkon di atas lapangan besar.

Matanya menatap tangga menuju atas. Dengan ragu, apakah ia akan ke sana atau tidak. Konon katanya, di tangga tersebut pernah ada cerita seseorang menjatuhkan diri karena frustrasi dan lelah hidup. Mungkin dia seorang siswi korban bully.

Suara adan magrib berkumandang, tubuhnya merasakan hawa dingin menusuk. Padahal jaket Caramel tebal dan mampu mengatasi rasa dingin.

"Ra!"

Seperti halusinasi, seseorang memanggilnya dari atas. Betapa jantungnya berdetak kencang dan keringatnya bercucuran. Seperti ada banyak orang di sekitarnya. Banyak orang berjalan dan berlarian. Ramai sekali. Bahkan ia merasakan udara dingin melewatinya, seperti halnya seseorang melewati dirimu.

Berkali-kali ludahnya ia telan, hingga berasa tidak ada lagi ludah di mulutnya. Dalam hati ia berdoa keras-keras. Menutup mata dan memantapkan diri melangkah naik ke atas. Pikirannya ia isi dengan doa-doa dan surat-surat pendek yang ia hapal. Tidak membuka mata sampai berhasil melewati tangga tersebut dan melewati empat kelas 12 IPA.

Ketika beberapa langkah lagi menuju kelas 12 IPA 1 yang tidak terkena cahaya lampu, ia membuka mata. Tidak ada siapa-siapa namun ia tersentak. Ia menyadari satu hal, ada yang mengikutinya. Hingga akhirnya ia tetap memasuki ruangan kelas bermodalkan senter ponsel. Setelah menyalakan lampu kelas, segera ia mencari tempat duduknya.

Beruntung tempat duduknya berada di barisan depan. Menyenter laci dan mencari bukunya yang hilang tersebut. Alih-alih buku, yang ia temukan adalah selembar kertas dilipat asal. Ia ambil saja tanpa banyak bicara.

Hampir saja memekik saat sebuah tangan menepuk bahunya. Menoleh ke samping sembari menelan ludah dan melihat sesosok wajah menyeramkan.

Keringat mengucur deras di wajahnya. Kedua telapak tangannya menutup erat wajahnya. Benar-benar takut. Wajah seram itu terlihat jelas oleh cahaya dari lampu ruangan.

Suara tawa menggema, mengakhiri semua drama.

*****

Sunday, 20th of January 2019

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang