[Sevia : 2]

60 19 53
                                    

Part 2: The Letter and Rejection


"Woi Caramel! Dicari in tuh sama ... nggak tahu namanya siapa!" seru Pinky dari luar kelas ketika seorang cowok menanyakan Caramel kepadanya.

Caramel. Gadis menyendiri yang hanya peduli dengan bukunya itu mendongak sebentar kemudian tak lagi menanggapi. Menurutnya itu tidak penting. Membosankan. Setiap hari selalu seperti ini. Ada saja yang mencarinya. Padahal ia tidak kenal dengan kakak kelas itu. Apalagi yang mengaku pernah berbicara dengannya pun ia tidak ingat. Lebih tepatnya Caramel tidak peduli dengan itu.

"Carameeeeel lo dicari in tuh. Tuli apa budeg sih?" cerocos Pinky kesal. Pinky masuk ke kelas menemui Caramel. Kemudian balik lagi ke luar kelas. "Tauk deh kak, balik aja ke kelas. Lain kali aja. Caramel emang dasarnya cewek gak berperasaan."

Brak. Caramel berdiri dengan tiba-tiba dan menggebrak meja sehingga membuat semua pasang mata mengarah kepadanya. Kelas yang tadinya ramai menjadi hening seketika.

"Berisik tahu, nggak? Mendingan lo balik aja ke kelas, kak. Gue nggak butuh itu." Caramel menunjuk menggunakan dagunya ke arah cokelat yang dibungkus rapi di tangan kakak kelas itu. Suaranya berubah dingin tak bersahabat.

Ini namanya ditolak mentah-mentah. Baru juga kakak kelas itu akan menyatakan perasaannya kepada Caramel, tetapi ini yang ia dapat. Kalau tahu begitu lebih baik ia tadi mengurungkan niatnya saja. Memalukan! Cih!

Desisan suara-suara gosip terdengar di mana-mana. Bahkan ada yang berkata sedikit keras sehingga Caramel bisa mendengarnya.

"Aneh banget sih tuh cewek. Udah ansos, sombong lagi!"

"Mentang-mentang cantik, cowok jelek belum apa-apa udah ditolak!"

"Cih iya. Dia maunya yang kayak gimana sih emangnya?"

"Yang kayak Samuel kali. Dia kan sama-sama pinternya."

"Eh tapi mana Samuel mau sama cewek ansos dan sombong kayak dia!"

"BERISIK!" Lagi-lagi Caramel berkata dengan suara keras semaunya tanpa tahu malu.

Sunyi. Senyap. Mata Caramel melirik sekilas kemudian duduk lagi dan bersikap tenang. Kembali membaca buku yang tadi belum selesai ia baca. Tidak memedulikan teman-teman sekelasnya yang mengibrit keluar dari kelas karena ketakutan. Hingga hanya tersisa Caramel dan Pinky saja di dalam kelas.

Karena gabut dan tidak tahu akan melakukan apa, Pinky mengobrak-abrik laci meja Caramel yang isinya kebanyakan adalah kertas. "Ini apaan, Ra?" tanya Pinky heran.

Mengeluarkan semua kertas-kertas beserta amplop berwarna-warni dari dalam laci meja Caramel. "Sumpah Ra ini surat-surat dari cowok-cowok yang naksir lo kan?"

"Buang aja," jawab Caramel.

"Ternyata lo nggak seperti yang gue pikir selama ini. Lo nyimpan semua surat ini, padahal kalau ada orangnya lo pura-pura cuek. Ahahaha lucu lo, Ra." Bukannya menuruti permintaan Caramel, Pinky malah membuka satu persatu surat-surat itu dan membacanya. Ternyata Caramel mencoreti surat-surat itu. Mengoreksinya.

"Gue bilang buang aja, Pinky!" Suara Caramel naik satu oktaf tetapi tidak membuat Pinky takut.

"Nggak mau ah. Buat lelucon. Ternyata lo kalau gabut kerjaannya kayak gini ya. Gue kira lo cuma baca buku doang."

Tanpa banyak bicara, Caramel merebut surat-surat itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan enteng tanpa dosa.

"Eh wait deh Ra. Ini apaan?" Pinky menunjukkan satu surat yang terdapat tulisan dengan nama tidak asing di sana. "Andrean? Kelas sebelah yang jago basket itu kan? Dia ngirimi lo surat, Ra. Serius ini Andrean?" Pinky geleng-geleng kepala merasa tidak percaya jika teman kelas IPS kece dan ganteng itu mengirimi Caramel surat cinta.

"Ck. Buang aja!"

Pinky tidak menggubris perintah Caramel dan malah tertawa-tawa. "Serius Ra, lo ngoreksi tulisan Andrean? Huahaha."

"Ih apaan sih lo!"

***

Kantin yang ramai membuat Caramel bermuka masam. Ia tidak menyukai keramaian dan bising. Tempat yang seperti itu hanya akan membuat ia hilang konsentrasi dan bisa-bisa ia akan berteriak keras karena kesal. Ia juga merasa seperti ada yang memanggilnya sehingga membuat ia mencari-cari dan terlihat seperti orang linglung.

"Pinky, balik aja yuk. Ramai," ujar Caramel pelan. Ia memegang tangan Pinky erat karena takut hilang.

"Baru juga nyampe, Ra. Lagian gue duduk aja belum." Pinky menyeret Caramel menuju tempat duduk lain.

"Nggak ah, gue mau balik aja. Gue males kejadian kemarin terulang lagi." Caramel melepaskan genggaman tangannya di tangan Pinky kemudian berlalu dari kantin.

"Hhhh," desah Pinky geram.

Caramel terburu-buru berjalan ke kelasnya. Tak ia hiraukan rasa lapar di perutnya. Kalau nanti ada waktu dan kantin tidak lagi ramai, ia berpikir akan beli makanan nanti saja. Kakinya melangkah melewati koridor kelas 11 yang berada di lantai bawah. Ketika ia ingin menaiki tangga menuju kelas 12, terlihat tiga orang cewek berdiri menghadang jalannya.

"Mau ke mana lo?" tanya Ralin.

"Bukan urusan lo," jawab Caramel santai kemudian melengos melewati samping mereka. Namun tangannya dicekal oleh Ralin. Caramel mendengus. Menatap malas ketiga cewek cantik itu.

"Ikut gue!" perintahnya.

"Lepas! Gue nggak ada urusan sama lo," ucap dingin Caramel.

"Oh lo bilang nggak ada urusan? Jelas ada dong. Karena gue punya hadiah spesial buat lo." Senyum seringai terbit di wajah putih Ralin.

"Gue nggak lagi ultah, dan gue nggak butuh hadiah dari lo, sori." Caramel kesusahan melepas cekalan tangan Ralin.

"Ikut gue, gue nggak butuh penolakan!"

Akhirnya Caramel pasrah mengikuti kemauan cewek pemaksa ini. Menyeretnya ke dekat toilet dan menghempaskan tangan Caramel kuat-kuat. Jelas Caramel kalah, karena ia hanya gadis biasa yang tak jago bela diri. Mungkin Ralin pernah belajar bela diri.

Toilet. Sudah bisa ditebak. Kebanyakan cewek kalau ingin membully seseorang pasti kalau tidak di toilet, di gudang tak terpakai. Karena tempat itu jauh dari jangkauan guru maupun karyawan sekolah. Terlebih, di sekolah ini terdapat toilet kosong yang pastinya tidak akan ada satu pun orang datang ke tempat ini.

"Nih! Cuciin seragam gue sampai bersih. Nggak boleh pakai mesin cuci, harus pakai tangan lo sendiri. Nggak boleh nyuruh pembantu. Harus bersih, putih, dan wangi. Bagaimana pun caranya. Harus udah lo seterika dengan rapi. Besok bawa ke gue harus dengan rapi, nggak boleh sampai kucel sedikit pun. Oh iya, dan lagi lo harus kasih in ke gue besok di sini tepat pada saat bel istirahat berbunyi. Nggak boleh telat ataupun kurang. Inget, tepat bel berbunyi."

Penjelasan Ralin panjang lebar hanya didengarkan oleh telinga kanan Caramel dan keluar lewat telinga kiri. Sama sekali tidak digubris oleh Caramel.

"Ngerti nggak lo?" Pertanyaan Ralin terdengar membentak di telinga Caramel. Membuat mata Caramel kembali terbuka.

"Dih jorok, harusnya dari kemarin dah lo cuci kali. Ngapain aja lo di rumah? Hibernasi kayak hewan mamalia?" sinis Caramel. Menyambar seragam Ralin sebelum berlalu dari tempat mengerikan itu.

"Awas aja---ahhh."

"Ralin lo kenapa?"

"Lo sakit?"


*****

Xoxo

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang