[Sevia : 15]

23 14 52
                                    

Part 15: Tepukan

Tentu saja Samuel tahu kalau hari ini Caramel akan masuk sekolah kembali. Samuel juga tahu kalau Caramel meminum air yang ia berikan semalam karena paksaan dari Mamanya. Dan Samuel juga tahu kalau Caramel belum sepenuhnya pulih. Cewek itu bisa kapan saja mendapat serangan lagi.

"Sok sokan gengsi padahal juga mau," sindir Samuel ketika cewek itu melewati kursinya untuk mengambil sapu di belakang kelas. Hari ini waktunya piket.

Lirikan Caramel tepat mengenai mata Samuel yang juga meliriknya. Memang tak berarti apa, tetapi mampu membuat Samuel tahu kalau Caramel memanglah kesal atas perkataannya.

Berhasil membuat orang lain kesal mungkin salah satu hobi Samuel di antara banyak hobinya yang lain.

Tak mendapat hirauan, Samuel tak patah semangat membuat Caramel kesal. Apalagi ketika Ralin datang ke kelasnya, bisa diajak berkompromi iseng terhadap Caramel.

"Sam," panggil Ralin dengan suara lirih. Kali ini Ralin datang ke kelas Samuel seorang diri tanpa pengawal. Sepertinya baru saja terjadi sesuatu fatal pada diri Ralin karena belum pernah Ralin seperti ini.

"Kenapa, Ra?" tanya Samuel.

"Gue mau cerita."

"Bentar lah, ngerjain Caramel dulu aja."

"Gue butuh, Sam."

Samuel memutar bola matanya, "oke kalau gitu, yuk!"

Setelah dua orang itu keluar dari kelas, Caramel sedikit tenang karena ia tidak akan mendapat iseng dari mereka. Atau mereka sedang merencanakan sesuatu? Bisa jadi kan?

Bel masuk berbunyi tepat saat Caramel selesai memasukkan sampah di tempatnya. Caramel mengembalikan sapu ke belakang sebelum menuju kursinya. Membersihkannya, mengeluarkan buku untuk pelajaran pagi hari ini.

Sampai guru mata pelajaran masuk, Caramel belum melihat Samuel masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Karena biasanya, tidak perlu Caramel menoleh ke belakang, suara paling berisik di kelas adalah suara cowok itu.

Apa yang dilakukan Samuel dan Ralin? Ke mana perginya mereka? Caramel merasa ada yang tidak beres namun apa peduli dia?

***

Sampai jam pelajaran berakhir, Samuel belum juga muncul. Caramel tadi tidak terlalu fokus mendengarkan penjelasan dari guru. Selain karena pusing yang melandanya dan perihal Samuel, Caramel tidak fokus karena suara seseorang memanggilnya dari luar.

"Ra!" Seseorang memanggilnya sama seperti orang yang memanggilnya tadi. Seperti dari samping kelas dan berlari menjauh dari kelas.

"Pinky, lo denger suara manggil gue, nggak?" tanya Caramel pada teman sebangkunya itu.

"Mana?" Pinky sedang membereskan buku-bukunya, bersiap untuk pulang.

"Tunggu deh, tadi ada. Sekarang belum ada lagi. Tadi tuh nggak cuma sekali," jelas Caramel. Namun ditunggu-tunggu tidak juga kunjung ada. Seperti hanya Caramel yang bisa mendengarnya.

"Halah paling perasaan lo doang kali." Pinky tak mau ambil pusing, melanjutkan pekerjaannya kemudian memakai tasnya seblum keluar dari kelas. "Dah, Ra, gue duluan ya! Lo hati-hati ya, jangan sakit lagi," ucapnya kemudian menghilang di balik pintu kelas.

Caramel tetap bersikukuh bahwa ia mendengarnya. Menghela napas, Caramel ikut keluar dari kelas. Menyamai langkahnya dengan Pinky. Di koridor tampak ramai siswa siswi berhamburan pulang.

"Ra!"

"Nah itu, lo denger, nggak?" Caramel menyikut Pinky.

Cewek itu menoleh, "apaan sih, Ra? Gue nggak denger. Bukan lo kali yang dipanggil. Manggilnya gimana?"

"'Ra' gitu."

"Nah kan nama yang dipanggilnya 'Ra' tuh banyak. Nggak cuma lo doang. Kali aja si kelas sebelah itu yang namanya Sarah. Lagian ini kan waktu pulang sekolah jadi wajar aja lah." Pinky kesal dengan Caramel.

"Tapi kan namanya Sarah bukan 'Ra' tapi 'Rah'." Masih saja cewek itu mencari jawaban agar bisa menang dari perdebatannya dengan Pinky.

"Temen-temennya suka manggil Ra bukan Rah." Pinky memungkas. "Terserah lo. Gue mau pulang duluan, takut nggak sampai ke bis."

Caramel mendesah. Tidak mungkin ia salah dengar. Tadi itu adalah panggilan untuknya. Mengapa tidak ada yang menyadari selain dirinya sendiri?

Caramel memutuskan untuk pulang saja. Mungkin benar kata Pinky, itu hanya perasaannya saja.

Caramel sempat melirik kelas IPS 1, kelas Ralin. Kelas itu sudah sepi namun Caramel menemukan Ralin sedang memainkan ponselnya dengan wajah berkerut bersama dua temannya yang lain.

Lalu Samuel ke mana? Kenapa tidak bersama Ralin? Bukankah seharusnya mereka sedang merencanakan hal buruk untuk mengisengi Caramel? Ah tidak, itu buruk.

Sepanjang perjalanan, Caramel memikirkan banyak hal. Mulai dari menghilangnya Samuel, wajah suntuk Ralin, dan suara misterius yang memanggilnya tadi.

Sampai ia kebablasan gang. Seharusnya melewati gang tiga namun terlalu jauh menuju gang lima. Untung saja ia segera sadar dan menyetop bis.

"Ra!"

Suara itu lagi. Ada yang memanggilnya dari dalam bis? Atau dari luar bis? Tidak, mungkin hanya perasaannya saja. Caramel menghibur diri.

Sampai di gang 4 masih saja Caramel mendengar suara itu. Suara itu berasal dari berbagai arah. Tidak menentu, membuat Caramel harus menebaknya sendiri.

Terus berjalan, terus juga Caramel memikirkan banyak hal. Akhirnya Caramel putuskan untuk mengirimi pesan WhatsApp kepada Samuel. Jika dibalas kan bisa menghilangkan rasa penasarannya.

[Caramel]
Sam
Pcc [Delivered]

Hanya delive? Ke mana Samuel?

"Ra!"

Memasuki gang 3, suara itu datang lagi. Kali ini meski samar-samar dapat Caramel tebak berasal dari dalam gang. Caramel mengerutkan keningnya, mencari dan menebak siapa pemilik suara misterius ini.

Dengan langkah terburu-buru menuju rumahnya, Caramel bergumam. Menggumamkan segala hal yang berada di pikirannya. Tidak akan mau terkecoh dengan suara misterius itu.

Hingga sampai di depan gerbang rumahnya, suara itu terdengar lagi. Seperti suara Mamanya yang memanggilnya untuk segera pulang.

"Nggak, nggak. Mama pasti belum pulang. Lagian siapa sih tukang iseng gangguin gue. Gabut banget."

Gumaman-gumaman terus Caramel lontarkan karena ia sedang merasa kesal dengan suara aneh itu. Bagaimana ia tidak kesal, Caramel jadi memikirkan hal yang tidak-tidak ketika mendengar suara itu. Bisa saja psikopat yang menargetkan dirinya sebagai korban, atau pedofil yang sedang mencari mangsa.

Dari dulu Caramel tidak suka dengan dua orang yang menurutnya, menyeramkan. Dua orang yang tersebut di atas.

Pluk.

Berjengit, Caramel ganti tepuk tangan. Supaya ia tersadar. Bisa saja yang meneput pundaknya bukanlah orang biasa. Mungkin saja penghipnotis yang mempunyai motif salah satu dari di atas.

"Hati-hati," ucap orang tersebut ketika Caramel menoleh.

*****

28-2-19.
Pub: 28-4-19

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang