Part 9: Arrival
Keadaan rumah sakit sedikit ramai karena beberapa saat yang lalu terjadi kecelakaan yang langsung dilarikan ke sini. Bau obat-obatan menyeruak. Orang-orang berlalu lalang di koridor membuat terlihat ramai tempat ini.
Lama sekali Caramel tidak ke tempat ini karena memang tidak membutuhkan. Lagi pula, ini bukanlah tempat menyenangkan untuk dikunjungi.
Dengan bermodalkan hoodie yang ia gunakan untuk menutup bagian atas wajahnya serta tak lupa kacamata yang mungkin bisa menyamarkan warna merah pada matanya. Caramel menuju ruangan teman Mama. Teman Mama adalah salah satu dokter di rumah sakit ini.
Memikirkannya saja membuat Mama pusing. Bagaimana tidak, jika Caramel sebelumnya tidak pernah sakit separah ini. Apalagi pada matanya. Gadis itu memang memiliki minus, tetapi minus, bukan sakit ini.
"Tidak terjadi apa-apa," ucap Dokter yang notabene-nya adalah teman Mama. Kalimat itu membuat Mama tersentak. Sedangkan Caramel menghela napas lega karena doanya terkabulkan.
"Benar, kan? Tapi kenapa ...." Mama terlihat sedang merenung. Memikirkan segala kemungkinan yang aneh ini.
"Kenapa?"
Menggeleng, Mama mengajak Caramel pergi dari rumah sakit setelah dikasih obat tetes oleh dokter itu. Meski dalam hati masih mengganjal karena belum puas.
***
Lagi-lagi terkejut. Tidak bisakah memanggil saja daripada membuat orang terkejut seperti ini? Apa perlu juga Caramel teriak kencang supaya orang yang memegang pundaknya itu tidak membuatnya terkejut.
"Ra, lo sakit apa? Kok belum masuk sekolah?"
Pertanyaan itu samar-samar terdengar di telinga Caramel. Bukannya menoleh, Caramel merinding tanpa sebab. Suaranya lembut dan membuat orang yang mendengar terbawa suasana.
"Si-si ...." Rasanya tenggorokan Caramel tercekat ketika ia ingin bertanya siapa yang mengajaknya berbicara. Tidak ada yang keluar dari bibirnya ketika ia membuka mulut. Yang ada hanya napas kosong tak ada arti. Seakan ia tidak bisa berkata-kata.
Datanglah seorang perempuan berwajah familiar di hadapannya dengan membawa sesuatu. Terlihat seperti makanan enak yang bisa membuat siapa saja tergoda. Harumnya menusuk hidung, menggugah selera.
Tangannya mengisyaratkan Caramel untuk menerimanya. Mamanya yang berada di sampingnya diam saja tidak ikut berkomentar. Caramel menatap wajah Mamanya dengan penuh pertanyaan apakah ia harus menerima makanan itu atau tidak. Namun Mamanya tetap diam sehingga menggerakkan Caramel untuk mengambil makanan tersebut.
Perempuan itu tersenyum manis sekali. Mengeluarkan semburat cahaya putih menyilaukan yang mampu membutakan mata.
***
Susah sekali dibuka. Seakan terekat dengan lem yang mampu membuat mata tak bisa terbuka. Padahal suara Mamanya sudah bersahutan terdengar di telinga. Sepertinya Mama akan marah, karena sudah siang dan seharusnya Mama bekerja sedangkan Caramel masih juga susah dibangunkan.
"Ra kamu sekolah nggak sih? Ini tuh udah siang kalau nggak sekolah ya bangun kek. Mama udah kesiangan nih! Mau kerja juga!"
Ketika matanya bisa dibuka perlahan, pemandangan buram yang menyambut. Matanya berat sekali. Duduk, ia melihat Mamanya sudah berkacak pinggang di hadapannya dengan muka garang.
"Iya, Ma. Mama berangkat aja, aku udah bangun kok. Mataku masih sakit, nanti belum bisa sekolah kayaknya," ucap Caramel tanpa diminta.
"Itu obat dari Dokter di nakas, ntar dipakai kalau udah mandi. Sekarang mandi dulu, sarapan di bawah udah ada nasi tinggal mau goreng telur apa masak mie. Adanya sayur nangka muda. Mama tinggal kamu jangan keluyuran. Mata masih sakit di rumah aja. Jangan tidur aja, nggak baik. Buat nyapu, cuci baju, atau apa lah yang penting nggak cuma diam," jelas Mama panjang lebar. Tentu saja Caramel kesal mendengarnya.
"Iya Ma, iya ...."
"Jangan iya-iya doang terus tidur lagi." Mama mendekat, duduk di samping Caramel, "udah mau sembuh kan?"
"Malah parah deh kayaknya."
Menghela napas, Mama mengelus puncak kepala Caramel. "Mama sayang sama Cara, jangan sakit terus." Mengecup kening Caramel, Mama kemudian berdiri. "Mama tinggal ya, Ra ...."
Caramel mengangguk. Beranjak dari duduknya untuk ke kamar mandi.
Setelah beberapa menit Mama pergi, Caramel benar-benar di rumah sendiri. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya semakin membengkak dan menyipit. Pandangannya juga memburam. Warna merah mendominasi, serta air mata yang terus keluar tak ada hentinya.
Orang-orang yang melihat mungkin mengira Caramel belekan dan menular. Tidak tahunya kalau sebenarnya sakit itu bukanlah hal yang wajar.
Setelah mandi, memasak mie, dan makan, Caramel tidak tahu lagi harus melakukan apa. Sehingga yang ia lakukan hanya berdiri di depan cermin. Melihat pantulan wajahnya yang semakin hari semakin memburuk.
Suara tawa terdengar di telinganya. Namun samar sekali, sehingga ia tidak yakin jika ia waras. Perasaan di dalam rumah hanya ada dirinya tanpa ada kucing atau hewan peliharaan lain. Kalau di belakang memang ada ayam yang dikandangkan. Tetapi mana mungkin ayam tertawa seperti manusia?
Semakin lama ia di depan cermin, sebuah bayangan perempuan cantik muncul. Bagaimana Caramel tidak takut, kalau bayangan itu tersenyum ke arahnya. Bukan, tapi menyeringai.
Berkedip, Caramel menggelengkan kepalanya. Ada-ada saja, jelas sekali itu hanya halusinasi saja.
Ting-tong!
Bel? Ada yang datang ke rumahnya? Siapa?
Dengan malas dan ogah-ogahan ia membuka pintu kamar dan pintu depan. Tak lupa memakai kacamata hitam ketika membuka gerbang.
"Cara ... hmphhhhahaha lo ngapain pake kacamata hitam? Jelas-jelas di rumah sendiri," ucap tamu tersebut.
Caramel bersungut-sungut tidak senang ketika mengetahui siapa yang datang. Samuel. Ngapaim cowok itu datang? Lagipula darimana tahu rumah Caramel ada di sini? Mempunyai maksud buruk terhadap Caramel?
"Ngapain ke sini?" tanya Caramel.
"Nggak disuruh masuk nih?" tanyanya balik.
Caramel menyampingkan tubuhnya. Memberi jalan Samuel untuk masuk bersama motornya.
"Gue heran, lo sakit apa sih, sampe seminggu nggak masuk? By the way orang tua lo di rumah?" tanyanya ketika mereka sudah duduk di kursi teras.
"Masih kerja, bentar lagi pulang," jawab Caramel.
"Perasaan lo waras-waras aja. Nggak sakit apa-apa. Kok nggak masuk? Bolos ya lo?"
"Dih, sotoy. Lo ada tujuan apa ke sini? Mau nanya itu doang?"
"Terdengar makna tersirat pengusiran," gumam Samuel.
"Iya abisnya lo gaje."
"Trus ini apa?" Samuel asal menarik kacamata Caramel membuat matanya yang membengkak terlihat dengan jelas.
"Ihh balikin!" Caramel pura-pura melotot untuk menutupi kenyataan kalau matanya membengkak.
"Nggak baik tahu, ngomong sama orang dengan memakai kacamata hitam."
"Balikin!" Caramel terus saja berteriak-teriak berusaha menggapai tangan Samuel yang panjang.
"Nggakkk!"
Caramel terdiam di kursinya. Ia memandang tajam Samuel yang berubah air mukanya. "Puas lo, hah? Mau lo tertawain muka gue yang ancur ini, hah?" seru Caramel kesal.
Samuel terdiam. Fokus menatap mata Caramel perlahan mengeluarkan air matanya. Hanya sebelah kiri saja. Tidak dengan kanan.
Plak.
Caramel menampar tangan Samuel yang hendak memegang tangannya. "Gak usah pegang-pegang!" Desis Caramel. "Mau apa lo? Mau nyakitin gue? Belum puas bikin mata gue hampir buta kayak gini?"
*****
Pub: 10-3-19.
Vote dan komen yuk!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession #Sevia
Mystery / Thriller#GenreMisteri #Project1 #GloriousAuthor #SeviaStory Surat misterius, sakit yang tak wajar, dan segala teror lainnya datang tidak hanya kepada gadis cantik cuek itu. Tetapi datang juga pada orang lain yang menyebabkan orang tersebut meninggal karenan...