[Sevia : 27]

13 5 25
                                    

Part 27: Blood

Pagi memang baru saja tiba, namun Caramel sudah datang di sekolah. Bahkan sebelum si rajin Kania datang. Omong-omong soal Kania, mungkin cewek itu belum akan masuk sekolah karena sakitnya bertambah parah. Tidak tahu pasti sakit apa, mungkin demam atau malah demam berdarah.

Guru Matematika masih setia di bangkar rumah sakit. Dan Andit pun masih juga belum menceritakan bagaimana keadaan sebenarnya.

Sekolah masih sepi, belum ada yang datang kecuali Caramel. Seorang diri.

Namun langkah cewek itu terhenti tatkala sebuah kertas dengan bercak merah di depan kakinya. Ia menunduk, jongkok, lalu melihat kertas apakah itu. Mengapa ada darah yang terlihat masih baru?

Ketika mata cewek itu melihat ke depan, semakin depan darah itu semakin tercecer di mana-mana. Jelas terlihat darah itu masih baru, masih terlihat merah.

Caramel terus saja mengikuti ke mana arah darah tersebut menuju. Tak takut jika ada bahaya besar mengintainya di depan sana. Tetapi heran Caramel adalah ketika ia mengingat bahwa darah tersebut berawal dari kertas yang ia temukan di lorong depan. Tanpa ada ujung lain.

Memikirkan itu dengan terus berjalan menunduk. Melihat darah tersebut supaya ia tidak ketinggalan jejak. Rasa takut yang awalnya tak ada semakin terasa saat darah tersebut mengarah pada tangga belakang. Tempat Andit terjatuh.

Ketika ia berbelok ke kanan, yakni ke depan tangga itu langsung, ia disuguhi pemandangan mengejutkan.

"HAH!" pekiknya.

Karena dengan tiba-tiba Andit terjatuh dari tangga tanpa ada yang mendorongnya. Andit juga langsung pingsan, sepertinya tidak mengerti keadaan. Cowok itu tak sadarkan diri tepat di depan Caramel.

Napas Caramel masih terus memburu, seperti baru saja diburu hewan buas. Saat matanya menatap tangga teratas, sesosok berjubah hitam berdiri memunggunggi Caramel. Sosok itu tinggi besar serba hitam. Rambut panjang tapi tidak tertata rapi menjadi hiasan punggungnya.

Betapa takutnya Caramel yang berdiri di bawah tangga. Kakinya lemas seketika, matanya menetes air mata. Melihat sosok itu secara langsung bisa membuatnya mati mendadak.

Sebelum Caramel memalingkan wajah ke arah Andit yang ada di depannya, ia melihat mata merah mengarah padanya dari atas sana. Ketika ia kembali menengok atas, sebuah tepukan besar menyadarkannya.

Bahwa apa yang ia lihat tadi hanya ilusi. Bayangan tanpa arti. Bayangan Andit yang terjatuh, sosok hitam tinggi besar yang menakutkan, hilang tanpa jejak. Seakan ia hanya mimpi bukan melihatnya benar. Namun rasa itu seakan nyata.

"Kenapa to, nduk? Kalau melamun jangan di sini, bahaya. Nanti kalau kerasukan gimana? Hehe," kekeh seorang pria paru baya yang bekerja sebagai penjaga sekolah di sini.

Masih syok, Caramel tidak menjawab pertanyaan itu. Cewek itu hanya diam memandangi tangan bapak itu. Dan bergantian melihat ke atas serta depannya.

Barangkali ia masih bisa melihat hal itu tadi. Wajahnya bahkan masih terlihat terkejut dan ketakutan.

Sekolah semakin ramai, banyak siswa berdatangan. Tidak lagi sesepi tadi karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Lima belas menit lagi pelajaran akan segera dimulai.

Caramel segera tersadar dan pergi dari tempat itu. Terburu-buru karena ia lupa kalau hari ini ada ulangan harian dan ia belum sempat belajar tadi malam. Malah tadi malam ia enak-enakan membaca wattpad bergenre horror.

"!"

Langkah kaki cewek itu terhenti. Ia lupa kalau tadi ia datang ke tangga karena melihat darah. Sehingga ia kembali lagi ke tempat di mana pertama kali ia melihat darah segar. Yaitu di sebuah kertas yang terdapat di lorong depan.

Akhirnya ia putuskan untuk kembali ke depan, melihat keadaan. Apakah darah tadi masih ada di kertas tadi? Apakah masih tercecer di jalan? Apakah ada yang mengetahui atau malah nggak ada yang tahu?

Lorong menjadi ramai karena para siswa selalu datang tepat saat bel hampir bunyi. Sehingga Caramel harus rela tertabrak para siswa yang ingin segera masuk ke kelas masing-masing.

Setelah ia sampai di tempat kertas itu berada, tidak ada darah di sana. Yang ada hanya sebuah kertas putih dengan bercak cokelat karena tapak sepatu.

"Loh?" Caramel mengambil kertas itu dan membolak-balik kertas itu. Daerah mana yang terdapat sedikit darah. Nihil.

Tidak ada setetes pun darah pada kertas itu. Anehnya, di jalanan juga tidak ada bercak darah. Meskipun Caramel memakai kaca pembesar, pada lantai yang tadi ia yakini ia melihat bercak darah, tidak ada setetes pun. Atau bahkan hanya sebercak. Lantai itu murni bersih.

Meskipun Caramel berjalan menuju arah yang sama dengan yang ia lewati tadi pagi, di tanah tidak ada noda merah sama sekali. Kalau memang ada yang mengerjainya, pasti ada jejak yang ditinggalkan. Tapi ini tidak ada. Jelas seperti murni ketidaksengajaan.

Bahkan sudah dua kali ia bolak-balik ke tangga tadi dengan melewati rute yang ia ingat tadi. Nihil. Itu hanya akan membuat Caramel pusing dan berkeringat banyak di pagi ini.

Menyerah, bel tanda masuk berbunyi mengharuskan Caramel menyerah. Ia harus segera ke kelas atau ia akan mendapat nilai buruk pada ulangan harian kali ini.

Tak peduli capek atau keringatnya bertambah, Caramel berlari menaiki tangga. Kertas yang ia ambil tadi langsung ia masukkan saku rok. Membiarkan debu memasuki roknya yang masih bersih karena dipakai pagi ini.

Punggung tangannya menyeka peluh di dahi ketika persis di depan kelasnya. Pintunya terbuka, guru belum datang. Namun suasana mencekam langsung menyergapnya ketika ia masuk.

Kelas itu sunyi senyap, seperti saat sedang ujian kenaikan kelas dengan pengawas yang ketat.

"Udah dua kali loh, Ra," ucap sang ketua kelas.

Caramel melongo tidak mengerti apa yang diucapkan cowok itu. Namun kakinya terus saja melangkah masuk meskipun akan terhenti di jalan menuju kursinya.

Semua mata mengarah kepadanya.

"Apa?" tanya Caramel bingung.

"Lo ada masalah apa sih sebenarnya? Dulu bangkai tikus sekarang darah segar. Mana baunya anyir lagi," ucap salah satu siswi.

Dan seketika itu Caramel tersadar kalau siswa-siswi yang duduk di dekatnya mengerumun jadi satu dengan yang lain. Karena di mejanya terdapat darah segar yang menggenang. Terjatuh di lantai dengan bau anyir. Darah itu menggenang tidak hanya pada mejanya saja, tetapi pada kursinya juga.

Seakan meja tersebut baru saja dicuci menggunakan darah segar.

Caramel menelan ludah susah payah, ingin ia mengumpat. Matanya mengarah pada seluruh penjuru kelas. Melihat satu-satu siswa yang menatapnya tidak peduli. Bahkan ada yang berwajah merah karena menahan muntah di pojok belakang.

"Ra ... lo dalam masalah." Mata Caramel seketika tertuju pada sosok Pinky yang sedang duduk bertiga dengan siswi lain di bangku lain.

Sekali lagi, Caramel ingin mengumpat.

*****

Create: 14-5-19.
Pub: 14-7-19.

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang