[Sevia : 10]

32 15 43
                                    

Part 10: Apology

Caramel mengibaskan tangan Samuel yang hendak memegang matanya yang sedang sakit. Merasa risi dengan perlakuan aneh cowok itu.

"Gue cuma memastikan kalau mata lo nggak ngerasain hawa panas," jelas Samuel tanpa diminta.

"Halah nggak usah ngeles. Lo pasti belum puas kan belum bikin mata gue buta!" seru Caramel. Cewek itu bersedekap tangan, melengos ke arah lain.

"Jangan salah paham dulu." Samuel mendekat, berusaha berada di depan Caramel. "Gue tadi ke sini punya tujuan buat minta maaf. Beberapa hari yang lalu, pas pelajaran olahraga, gue nyembunyiin sepatu lo. Sengaja, iya, tapi soal--"

Caramel menoleh dengan tampang datar, "iya. Lo cuma mau minta maaf doang, kan? Ya udah pulang gih." Kembali cewek itu melengos. Tidak memerdulikan Samuel yang masih meyakinkan Caramel.

"Bukan gitu, gue nggak sengaja soal bola itu. Serius, gue nggak tahu kalau lo kena bola," ucap Samuel.

"Nggak usah main kalau nggak bisa." Satu kalimat tetapi menusuk. Benar apa kata Caramel. Tetapi Samuel bisa, lalu apa salahnya? Lagipula Samuel benar kok, ia tidak sengaja mengenai mata Caramel. Apalagi sampai membuat cewek itu tidak masuk sekolah sampai sekarang. Dari mana ia tahu, ketidak-sengajaannya berakibat fatal?

Caramel masih diam di tempat. Tidak menghiraukan Samuel yang berani menjatuhkan egonya hanya untuk minta maaf kepadanya. 

"Sori, mending lo pulang aja. Gue sibuk," ketus Caramel. Cewek itu menggiring Samuel ke gerbang depan.

"Please Ra, gue minta maaf."

Caramel masih menggeleng, membiarkan Samuel memelas di hadapannya. Berjanji tidak akan memaafkan orang yang sudah pernah membuatnya sakit separah ini.

***

"Caramel belum masuk juga?" tanya Kania pada Pinky. Cewek itu menanyakan keadaan teman sekelasnya kepada sahabat Caramel.

"Nggak tahu sih sakit apa. Soalnya dia nggak ada kabar ke gue. Gue juga pernah chat dia tapi cuma di-read," jawab Pinky. Benar, Pinky memang pernah menanyakan keadaan Caramel lewat chat. Tetapi hanya dibaca dan tidak mendapat balasan.

"Masa sih? Jangan-jangan ada hubungannya dengan kejadian waktu itu?" Beberapa cewek ikut gabung dalam pembicaraan mereka. Salah satunya bertanya.

"Kejadian yang mana?" tanya teman yang satunya.

"Oh, yang soal sampah di tempat duduknya itu?" tebak yang lain.

"Bukan. Iya itu juga, tapi mungkin aja dia sakit karena kena bola pas matanya waktu olahraga itu kan?"

"Mana mungkin. Ya nggak lah," ucap Pinky.

"Lah terus? Masa dia kena teror dari siswa lain, terus nggak berani sekolah."

Kania diam saja. Karena ia juga tidak mengetahui perihal tersebut. Ia juga ingin tahu bagaimana keadaan teman sekelasnya yang akrab dengannya akhir-akhir ini.

"Mungkin aja kan? Soalnya dia tuh seneng, datar, sedih apalagi. Kayak sama aja gitu loh. Tiga tahun gue berteman dengan dia belum pernah liat dia nangis atau ketawa. Setahu gue mukanya gitu-gitu aja. Kalau kesel sih pernah liat."

Pinky meresapi ucapan teman-temannya. Ia sebagai sahabat juga belum pernah melihat emosi Caramel bebar-benar ditunjukkan. Mungkin kalau tertawa sekali dua kali pernah ia melihatnya.

"Pinky barangkali pernah liat. Soalnya kan mereka berdua ke mana-mana gandengan mulu. Udah kayak adik-kakak."

"Hooh. Lo pernah liat kan, ya?"

"Soalnya selera humor Caramel tuh tinggi banget. Nggak kayak kalian, receh," celetuk seorang cowok. Ikut duduk di kursi Caramel, bergosip dengan para cewek.

"Dih, gue sangsi lo cowok Sam," ucap salah satu.

"Perlu bukti?" Samuel menaik-turunkan alisnya.

"Anjir, pikiran lo!" pekik salah satunya lagi.

Cowok itu tertawa merasa puas, "makanya jangan sok tahu."

"Lagian sih, lo kebiasaan ngintilin Ralin ke mana-mana. Nggak pernah liat lo sama cowok-cowok. By the way, gosipnya para cowok tuh kayak gimana sih?"

Topik pembahasan tentang Caramel berubah menjadi membahas tentang cowok. Itu dikarenakan Samuel yang sengaja mengalihkan pembicaraan.

Tetapi Pinky masih sama. Memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi pada sahabatnya.

***

Kali ini Mama benar-benar merasa frustrasi. Beliau mondar-mandir di rumah tidak kerja. Insecure seorang Ibu kepada anaknya---yang belum juga sembuh dari sakitnya.

"Kita ke rumah sakit lagi yuk, Ra?" ajak Mama, lagi.

"Ahhh ... panas, Ma." Caramel merintih sembari merem karena tidak tahan dengan rasa panas di matanya.

"Tuh kan, bentar sini Mama tetesin lagi." Mama menyempatkan hari hanya untuk menemani Caramel yang sedang sakit. Beliau merelakan cuti sehari.

"Nggak, Ma ... air. Air biasa aja." Matanya semakin hari semakin menyipit karena semakin membengkak. Pandangannya pun memburam. Ketika pagi, susah untuk dibuka karena rasanya seperti lengket.

Mama buru-buru mengambilkan air di gayung lalu dibawa ke kamar Caramel. Hari ini Caramel belum masuk sekolah, masih setia pada kamarnya.

"Ra," panggil Mama setelah memberikan air tersebut. Caramel sibuk dengan kegiatannya tetapi Mama tetap melanjutkan. "Jangan-jangan kamu kena timbil ya?"

"Hah apaan itu? Setahu aku tuh Ma, yang kayak gini tuh namanya belekan. Tapi kalau benar belekan buktinya Mama nggak ketularan, Samuel juga pernah liat nggak kenapa-napa," jelas Caramel. "Eh, salah maksudku setiap orang yang melihat mataku, si Pak Dokter juga nggak kenapa-napa," ralat Caramel. Ia sudah keceplosan menyebutkan nama cowok, Samuel. Mama pasti curiga.

Mata Mama memicing, menangkap gelagat mencurigakan dari anaknya. Nama yang sempat disebutkan anaknya juga masih asing.

"Eum, Mama tadi bilang timbil ya?" tanya Caramel mencari topik lain.

"Iya, jangan-jangan timbil. Itu loh, kalau ngasih barang udah katanya ikhlas tapi diminta lagi. Timbil-an," jelas Mama.

Caramel merenung. Berpikir, apakah ia pernah melakukan hal seperti itu? Seingatnya ia tidak pernah memberi apa-apa kepada siapa saja. Lagian kalau memang benar timbil-an, bukankah tidak seperti ini bentuknya?

Tes. Lagi-lagi air mata Caramel keluar tanpa diminta. Ia pun tidak sadar jika ia menangis. Anggap saja menangis karena ini mengeluarkan air mata.

"Mama takutnya kamu kena sesuatu. Yang nggak terlihat," ucap Mama dengan berbisik sembari mencondongkan tubuh ke arah Caramel.

Tangan Caramel dikibaskan di depan wajah, "ah nggak kali Ma. Mana ada."

Di saat mereka sedang merenung, terdengar suara bel di depan rumah berbunyi. Mengernyit, Caramel menyuruh Mama membuka pintu gerbangnya.

Setelah Mama keluar, Caramel merenung. Duduk di ranjang dengan menatap pantulan wajahnya di cermin kecil yang ia pegang.

Klek.

"Arggghhhh!" Caramel terlonjak. Terkejut atas kedatangan tamu tak diundang yang ada di hadapannya. Dengan mata terpejam, dapat dirasakan kalau keberadaan makhluk itu semakin mendekat ke arahnya. Seperti merasakan hawa dingin menerpa, terpeluk erat layaknya seseorang.

Terpejam, tertidur.

Tidurlah sayang, rasa sakit itu akan hilang.

*****

29-1-19.
Pub: 17-3-19.

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang