[Sevia : 8]

38 19 40
                                    

Part 8: Not Usual

"Tumben banget sih lo, Sam. Diem, anteng, serius. Biasanya cerewet mulu kayak emak-emak minta uang bulanan," celetuk Alva, siswa kelas Ipa 2 yang menjadi teman baik Samuel sejak SMP. Kini mereka sedang menikmati minum di kantin ditemani sepiring gorengan bersaus.

"Tumben juga nggak ngintilin Ralin. Ke mana tuh cewek?" Ari, juga teman dekat Samuel yang dari kelas Ipa 3 ikut nimbrung.

"Enggak. Sekarang mah bukan Ralin doang, sama si cewek saingannya kelas Ipa 1. Itu loh yang sempet viral," ucap Elang. Kepalanya ditoyor oleh Gandhi karena bicara ngawur. Kalau Elang ini sekelas dengan Alva.

"Ngawur! Gue sebagai salah satu fans-nya nggak terima. Emang dia viral ngapain? Dia kan--" Beda dengan Gandhi yang dari kelas Ips.

"Iya-iya, fans yang ditolak. Haduh sakit nggak tuh hatinya?" Alva, Ari, dan Elang cekikikan menertawai kebodohan Gandhi. Gandhi memanglah salah satu cowok korban sakit hati dari Caramel. Kalau tiga yang lain sih sudah pasti punya pacar sendiri-sendiri. Cowok famous.

"Tuhkan Samuel jadi diem mulu. Lagi mikirin siapa sih? Ralin mutusin lo?" tebak Elang. Lagi-lagi ngawur.

"Gini, gue kan lagi ada salah sama seseorang. Enaknya gue minta maafnya gimana ya?" ucap Samuel menatap keempat temannya serius.

"Lo mau minta maaf? Seorang Samuel? Minta maaf? Serius lo?" Alva dan Gandhi sampai geleng-geleng kepala tidak yakin. Pasalnya, Samuel adalah orang yang paling anti dengan hal-hal berbau 'minta maaf' dan 'terima kasih'.

"Ck. Maksud gue--"

"Iya-iya gue tahu kok sekarang lo udah jadi cowok tulen. Hahaha ...."

Teman-temannya malah meledeknya terus. Membuat Samuel jadi kesal sendiri. Mungkin inilah risiko orang humoris. Ketika bicara serius dianggap bercanda karena sudah terbiasa dengan candaannya.

"Gue serius. Apa gue kudu ke rumahnya?" tanya Samuel lagi.

Teman-temannya saling sikut menyikut. Berbisik lewat tatapan mata seolah, "kayaknya kali ini dia serius".

"Emangnya dia bukan anak sekolah ya? Atau lagi nggak masuk sekolah?" tanya Ari, cowok paling waras di antara temannya yang lain.

"Bukan," geleng Samuel.

"Bukan apa woi? Nggak jelas. Bukan anak sekolah apa bukan nggak masuk sekolah?" Gandhi asal menoyor kepala Samuel membuat cowok itu merapikan rambutnya menggunakan jari.

"Nggak penting. Gimana menurut kalian?"

"Hng, gimana ya? Kalau lo emang serius dan masalah lo dengannya benar-benar serius ya lo datangin lah. Minta maaf baik-baik, bawain bunga juga."

"Lo kata orang mati dibawain bunga?" sinis Alva. Sewaras-warasnya Ari, masih saja ngelawak di tengah keseriusan. Karena dia waras bukan serius.

"Eh jangan-jangan emang bener orang ma--"

"Orang idup, udah ah. Gue cabut dulu." Samuel beranjak pergi dari kantin. Melangkah entah ke mana. Membiarkan teman-temannya teriak tidak jelas.

"Woi Sam belum selesai kali!"

"Eh ini gorengan masih, anjir, gue makan yak!"

"Anjir emang, siapa yang bayarin gorengannya?"

"Lo ya, Lang!"

"Nggak ah, Gandhi juga ikutan makan. Lo juga!"

"Ari aja!"

"Enak aja Alva noh holkay!"

Suara itu sudah tidak lagi terdengar di telinga Samuel. Langkah kaki cowok itu menyusuri tangga menuju tempat yang mungkin bisa ia cari petunjuknya. Atau lebih tepatnya ia akan melakukannya nanti.

***

"Sam!" panggil seseorang.

Samuel menoleh melihat Ralin bersama dua temannya di depan sana. Seketika senyumnya simpulnya terukir. Entahlah, mungkin Ralin adalah mantan terindahnya. Padahal ia tahu cewek itu mempunyai sifat buruk yaitu suka membully.

"Sendiri? Mau ke mana?" tanya Ralin. Menunggu Samuel tepat di hadapannya.

Cowok itu menggeleng, "nggak. Mau ke lo tadinya. Ketemu di sini ya udah," jawab Samuel sedikit aneh.

"Kangen ya? Haha." Ralin terkikik.

"Eh, soal yang kemarin gimana? Sukses ngumpetin sepatu tuh cewek?" tanya Dhita.

"Iya, hari ini ke mana tuh cewek? Nggak kelihatan dari pagi." Aul ikut menimpali.

"Nggak masuk. Kemarin tuh cewek kena bola dari gue, untung nggak kenapa-napa. Bisa mampus gue diamuk sama cewek pendiem kayak dia." Samuel mengangguk kepada cewek yang menyapanya di koridor itu.

"Lah trus gimana dong?" Mendadak topik ini bisa membuat Ralin tersenyum senang.

"Dia pingsan nggak?" Beda dengan Dhita yang malah terlihat biasa saja padahal jelas-jelas pertanyaannya terdengar khawatir.

"Beneran dia ngamuk?"

"Setdah, Ul. Ya kagak lah. Maksud gue kalau sampai dia ngamuk kan nggak elit banget. Ngamuknya orang pendiem mana kita tahu?"

Mereka semua mengangguk-angguk. Diam sejenak untuk merenungi sesuatu.

***

Entah di saat seperti ini mengapa tidak ada notifikasi sama sekali dari ponselnya. Padahal ia berharap seseorang mengiriminya pesan tanda semangat untuknya atau mengucapkan semoga cepat sembuh. Nihil. Tidak ada yang tahu kalau hari ini ia sakit benaran. Mungkin mereka mengira Caramel hanya sakit pusing biasa yang besok akan kembali bersekolah.

"Ra, kita ke rumah sakit saja yuk," ajak Mama sekali lagi. Namun lagi-lagi Caramel menggeleng lemah.

Sementara air matanya terus menetes, ia mengambil tisu lagi. Hingga kamarnya bagaikan tempat pembuangan tisu.

"Ra ... Mama takut kalau kamu kenapa-napa," ucap Mama. Memegang tangan Caramel dan meyakinkan gadis itu lewat tatapan.

"Beliin obat tetes aja kali Ma."

"Yakin kamu kalau obat tetes doang bisa sembuh? Nggak diperiksain aja?"

"Iya, Ma. Ini panas banget, kalau kena obat tetes mungkin sembuh."

Mama mengelus puncak kepala Caramel. Seorang Ibu sungguh sayang kepada anaknya. Tidak tega melihat anaknya sakit separah ini. Sudah pasti Mama memikirkan sangat keadaan anaknya.

"Ma ... aku nggak pa-pa, kok."

"Tapi Ra ...," Mama menghela napas, "Mama khawatir kamu kenapa-napa. Kita periksa ya, biar Mama tenang." Mama masih terus saja membujuk Caramel untuk pergi ke rumah sakit.

Setelah menghela napas dan diam sejenak untuk berpikir, Caramel mengiyakan ajakan Mamanya. Ia juga takut kalau sesuatu buruk menimpanya. Karena beberapa hari terakhir ia sempat mengalami keanehan. Menerima surat misterius, bahkan mengancam, dan mengirim sesuatu tak mengenakkan tepat di depan rumah. Itu artinya si peneror telah mengetahui tempat tinggal Caramel.

Mengetahui ....

"Samuel, lo pura-pura baik?"

*****

Pub: 3-3-19.
Up 2 kali sehari yeay! ^^ (boong, minggu kemarin gk up sih //garuk kepala//)

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang