[Sevia : 25]

14 6 20
                                    

Part 25: Blanket

Bersyukur, Mama mau diajak ke rumah Samuel lagi. Bukan, rumah Tante Mega dan Om Rohman. Dengan alasan, Mbah Arba menyuruh mereka ke sana lagi untuk menemuinya. Ada yang akan disampaikan.

Walau sebenarnya Caramel ingin melihat keadaan Samuel. Apakah benar apa yang diucapkan Ralin tadi? Sebenarnya tadi masih ada kelanjutannya, tetapi karena suara Ralin kecil, Caramel tidak menceritakannya kepada siapapun.

Sekarang mereka sudah ada di rumah Samuel dengan jamuan donat dan minuman serta makanan ringan lainnya di meja. Tante Mega sedang sibuk di belakang.

"Ayo Caramel, dimakan jangan dilihatin aja." Wanita cantik berambut lurus di-smoothing itu kembali ke ruang tamu. Tante Mega duduk di depan Caramel. "Mbak dimakan dong. Caramel diajari," ucapnya pada Mama Caramel.

Caramel tersenyum kikuk. Sesekali melirik ke arah pintu dalam, barangkali melihat keberadaan Samuel. Namun kegiatannya tidak menimbulkan curiga Tante Mega.

"Bentar ya, Mbak, Caramel. Tadi tuh aku emang lagi enggak longgar. Mas Rohman juga belum pulang dari kota." Tante Mega masuk lagi ke sebuah kamar. Diduga Caramel kamar milik Samuel.

Kemudian beliau keluar lagi, duduk di kursi satu di dekat pintu. "Samuel tuh lagi sakit makanya nggak sekolah. Tubuhnya panas banget, semalam dibawa ke klinik tapi bukannya sembuh cuma disuntik sama dikasih obat. Aku juga nggak tega ngelihat dia kayak gitu."

"Sakit apa, Tan?" tanya Caramel refleks.

"Lah? Mulai dari kapan? Bukannya terakhir kali aku ke sini sama Caramel, dia baik-baik aja?" Mama Caramel juga ikut bertanya keheranan.

"Nggak tahu deh, Mbak. Papanya belum sempat lihat kondisinya. Lagian Mbak kan ke sini udah lama." Tante Mega terkekeh. "Ayo dimakan, Ra. Nggak usah malu-malu. Atau mau lihat kondisi Samuel? Dia lagi di kamar tuh, udah sakit masih aja nge-game. Anehnya juga suka ngomong sendiri."

"Tuh ikutan, Mama juga mau lihat."

Dua orang itu---Ibu dan anak---mengikuti Tante Mega yang sudah berjalan lebih dulu di depan mereka. Menunjukkan jalan menuju kamar sosok cowok yang diklaim Caramel sebagai cowok yang sangat menyebalkan itu.

Pintu terbuka dan menampilkan seorang Samuel sedang duduk menghadap tembok berlawanan dari pintu. Cowok itu terlihat sedang mengerutkan dahinya. Dengan selimut tebal yang menyampir di bahunya serta punggungnya sampai hanya terlihat kepalanya saja.

Caramel menoleh pada Tante Mega yang berada di sampingnya, di depan pintu. Matanya menyiratkan pertanyaan, "apa yang sedang dilakukan cowok itu".

"Sam," panggil Tante Mega. Cowok itu memutar tubuh 180 derajat, menghadap pintu tempat tiga orang perempuan itu berdiri. "Ada Caramel."

Sebelum Tante Mega mengucapkan kalimat terakhirnya, mata Samuel sudah tertuju pada gadis itu. Sedangkan Caramel pura-pura tidak tahu jika ditatap. Beralih menatap hal lain.

"Masuk, Ra. Lihat tuh wajahnya merah padam gitu, masih aja maksain diri main game. Padahal kalau disuruh makan susahnya." Tiga orang itu masuk ke kamar.

Mama Caramel mendekat, memegang dahi Samuel dan mengelus pundaknya. "Cepat sembuh, . Kamu udah makan? Sakitnya enggak sembuh loh kalau nggak mau makan. Ini Caramel datang ke sini, jengukin kamu. Cepet sembuh ya, ."

Terkejut, Caramel mendongak cepat sampai tulang lehernya serasa mau patah. Apa-apaan sih Mama, malu-maluin aja. Padahal kan Caramel ke sini cuma mau tahu siapa pelaku sesungguhnya di balik setiap teror di kelas serta sekolahnya.

Caramel bertambah kesal saat tahu Samuel mendengus pelan. Pasti cowok itu tahu apa yang sedang dipikirkan Caramel saat ini.

Sementara Mamanya Caramel duduk di ranjang Samuel, Caramel berdiri di samping pintu untuk mengurangi canggung. Kok kesannya akrab banget kalau ia duduk ikutan Mama.

Beberapa saat kemudian Mama pergi dari kamar Samuel. Mengikuti Tante Mega yang ke dapur hendak memasak. Bisa jadi Tante Mega menyuruh Mama Caramel untuk membantunya memasak karena hari masih sore. Secara, Mama Caramel pandai memasak dan mendirikan warung sederhana di dekat pasar tradisional.

Caramel tetap mematung di tempatnya. Memandangi Samuel lekat, seolah cowok itu benar-benar misterius. Setiap sisinya berbeda. Terkadang baik, menyebalkan, bisa juga pendiam.

"Nggak capek berdiri terus kayak patung gitu? Atau udah transformasi jadi patung dadakan?"

Nah kan kalau ngomong, sekalinya keluar yang keluar malah sindiran menyebalkan. Bagaimana Caramel tidak sebal coba?

"Kenapa?" tanya Caramel.

"Ya lo diem, gue ngiranya gitu. Lagian nih ya bulan-bulan kayak gini tuh banyak setan berkeliaran. Apalagi yang suka ngelamun kayak lo, mudah banget ngerasuk ...."

"Kenapa kok bisa sakit?" Caramel tak mengindahkan ucapan tak bermutu Samuel. Cowok itu mengerti maksud pertanyaan Caramel namun hanya ingin mencairkan suasana tegang dan sikap dingin Caramel.

"Cieee perhatian sama abang hahaha ...."

Tawanya hambar. Cowok itu pasti merasakannya.

"Gue dikasih tahu Ralin. Lo udah tahu siapa pelaku teror di sekolah. Lo juga udah tahu ada kejadian apa kemarin. Karna lo pasti punya mata-mata yang nggak terlihat." Ucapan Caramel tetap tenang, tidak ada sedikitpun penekanan. Namun mampu membuat Samuel tertohok.

"Iya."

Hening. Caramel diam, Samuel diam. Hening ikut diam, menambah suasana diam di ruangan itu menjadi kental.

"Papa ke luar kota, belum pulang waktu dekat. Lo nggak akan ketemu Mbah Arba. Tapi tenang, Mbah Arba selalu ada di samping lo. Meskipun begitu lo nggak boleh lupain kewajiban lo sebagai manusia terhadap Tuhan, dek."

Setelah mengucapkan sebanyak kalimat di atas, Samuel menelungkupkan tubuhnya di kasur. Menutupinya menggunakan selimut tebal itu.

Sedari tadi Samuel mengucapkan kata-kata yang membuat Caramel bingung. Bagaimana tidak, jika cowok itu menggunakan panggilan aneh padanya.

"Jadi siapa pelakunya?" Baru kali ini Caramel menaikkan suaranya. Menandakan kalau dirinya sedang dalam mode kesal. Samuel belum juga menunjukkan siapa pelaku sebenarnya.

Hening.

Cewek itu mendengus, beranjak dari tempat duduknya. Hendak keluar dari kamar namun urung saat ia mengingat sesuatu yang belum sempat ia katakan.

"Gue harap bukan lo, musuh dalam selimut." Kalimat itu penuh penekanan, terutama pada kata bercetak miring. Caramel keluar dari kamar dengan napas tak beraturan. Meninggalkan Samuel yang berbalut selimut karena udara yang semakin bertambah dingin.

*****

Create: 25-5-19.
Pub: 1 Juli 2019.

Welcome back July! Welcome July 2k19! Selamat datang bulan kelahiran ehe :v

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang