[Sevia : 16]

26 13 54
                                    

Part 16: Listrik

Cklek.

Mati lagi.

"Mas Gara?" panggil Caramel kepada tetangga sebelahnya yang ternyata tadi menepuknya saat ia pulang sekolah. Mengagetkan saja, Caramel kira kalau penjahat. Padahal Caramel sudah parno sekali.

"Kenapa, Ra?" Gara yang sedang duduk di luar sembari bermain ponsel, menoleh ke Caramel.

"Mati lampu ya?"

"Nggak tuh. Kenapa? Lampu kamu mati? Belum isi pulsa? Atau mati sendiri?" tanya Gara. Bangkit dari duduknya, menyembulkan wajahnya di atas tembok pembatas rumah Gara dan Caramel.

"Kemarin lusa isi pulsanya." Caramel melihat spedometer yang ada di samping rumah. Tetapi tidak ada tanda-tanda mati. "Nggak mati sendiri."

"Mungkin lampunya sudah nggak berfungsi? Atau kabelnya putus?"

"Mas Gara bisa benarkan?"

"Kayaknya nggak bisa deh, Ra. Eh tapi nggak tahu juga kan belum dicoba. Hampir surup gini, takut."

"Nge-charge hp juga masuk tapi aneh. Masuk-lepas-masuk-lepas gitu."

"Mungkin spedometernya rusak kali. Atau emang ...."

"Emang apa?"

"Nggak. Mau nge-charge hp ke rumahku aja. Boleh kok."

Caramel mengangguk mengiyakan sebelum masuk ke dalam rumah yang gelap. Mencari lilin, gadis itu menyalakannya di ruang tamu, ruang makan, dan kamarnya. Serta tak lupa kamar Mamanya.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa ia mencium bau aneh. Seperti bau busuk yang menyebalkan. Entah mengapa ia mengira ini ada hubungannya dengan teror yang ia alami beberapa hari terakhir.

Ting!

Ponselnya berbunyi, menampilkan pesan:

[Samuel]
Di rumah. Kenapa? Kangen ya?
Duh, doi lagi dikangenin
Jadi baper deh

[Caramel]
Brisik

[Samuel]
Berisik apa kangen?
Haha canda coey
Btw gimana?

[Caramel]
G

[Samuel]
Gaje lo, Ra. Tadi nanya duluan
Pas dijawab malah singkat balesnya
Boker aja sana!

Baunya semakin terasa saja. Sepertinya ada bangkai tikus yang entah di mana di dalam rumah ini.

Caramel tiduran di sofa televisi ketika Mamanya pulang. Bertanya mengapa lampunya tidak dinyalakan oleh Caramel. Dan bertanya apakah mati lampu kok Caramel menyalakan lilin, tetapi rumah Gara menyala.

Caramel menjawab kalau ia tidak tahu apa-apa. Ia bahkan sudah mengecek apa penyebab lampu mati tetapi tidak menemukan jawaban yang tepat.

Mama duduk di sofa. Melepas penat, sembari memejamkan mata. Tetapi otaknya tak berhenti berpikir. Semua kejadian aneh yang menimpanya dengan anaknya. Ini tidak wajar, bukan teror layaknya orang iri lainnya. Teror ini berbeda.

"Ma, diminum." Caramel menyodorkan kopi kesukaan Mama. Tadi Caramel langsung menuju dapur untuk membuat kopi setelah Mama pulang. Caramel memanglah bukan anak rajin, tetapi setidaknya ia sangat tahu kalau Mamanya sedang kelelahan.

Mama membiarkan kopi yang masih mengepulkan asap panas itu dingin. "Ra," panggil Mama.

"Kenapa, Ma? Oh iya, nanti malam aku tidur sama Mama ya. Di kamar sendiri nggak asyik kalau gelapnya bukan karena Cara sendiri."

Mama mengangguk. "Kamu capek?"

"Nggak kok. Kenapa?"

Sudah tabiat Mamanya kalau ingin meminta bantuan Caramel, Mama selalu menanyakan apakah Caramel sibuk atau capek atau mungkin mengantuk. Jika tidak, Mama akan meminta bantuan meski dengan nada tidak enak. Soalnya Mama ini orangnya tidak enakan meski dengan anaknya sendiri.

"Mama pusing banget. Tadi lupa mau beli obat."

"Sini Cara yang belikan," ucap Caramel. Cewek itu berdiri dari duduknya meski masih mengutak-utik ponselnya.

Mengambil kunci motor, setelah menerima uang dari Mama.

"Masih ada kembaliannya ini nanti," ucap Caramel. Tersirat makna dalam kalimatnya yang langsung Mama mengerti.

"Mau minta? Ya sudah belikan sesukamu." Setelah mengangguk, Caramel keluar di senja yang sudah memasuki jam Magrib ini. Menuju warung tidak jauh dari rumah.

Setiap melewati rumah dan melihat ada orang, ia akan menyapa dengan mengangguk dan membunyikan klakson motor. Ada yang berjalan, ia tanyakan hendak ke mana orang itu pergi, ia tawari tumpangan jika searah.

Dahinya mengernyit ketika di kiri jalan sedang banyak orang. Ah mungkin hanya perkumpulan orang sedang bermain atau bergosip. Karena daerahnya ini adalah banyak orang berkumpul hanya untuk menggosip. Gosip mulai dari hal yang penting, tidak penting, sampai yang tidak penting banget.

Sesampainya di warung, ia mengatakan apa yang ingin ia beli. Namun ia harus mengantri karena selain warung, ini juga tempat ngopi dan nongkrong.

Caramel berjalan keluar guna melihat lingkungan sekitar. Namun ia menemukan Pinky dan Ayahnya sedang berbincang di pinggir jalan. Di samping mobilnya.

Caramel menghampirinya lalu menyalimi Papa Pinky. Mereka tampak terkejut. Terutama wajah Papa Pinky yang berubah pucat. Mungkin mereka mengira Caramel adalah hantu karena datang tiba-tiba.

"Om sama Pinky kok ada di sini?" tanya Caramel kepo.

"Iya, Ra. Kita tadi mau jalan eh mobilnya pakai mogok segala." Pinky menjawab.

"Untungnya udah selesai mogoknya. Kamu juga, bukannya rumahmu ada di ujung sana?" Papa Pinky menatap Caramel ramah. Memang, orang tua Pinky sudah mengetahui Caramel adalah teman dari anaknya karena sebenarnya dulu Mama Caramel juga teman dari Papa Pinky.

"Lagi ke warung."

Setelah cipika cipiki sebentar dan Papa Pinky berkata kalau mereka sedang tergesa, Caramel melambai tangan dan kembali ke warung untuk menerima pesanannya tadi.

***

"Sam gue benaran nggak kuat. Gue kayak ngerasa tuh ... apa ya? Susah deh jelasinnya." Ralin duduk di hadapan Samuel. Cewek itu meletakkan kepalanya di meja. Rasa malas menyelimutinya.

"Tenang aja. Gue bantuin lo. Lo ngerasa gimana? Pusing?" Samuel, lawan bicaranya menatap Ralin khawatir.

Kini, dua orang yang tak memiliki perasaan apa-apa itu--atau sebut saja mantan yang berakhir sahabat. Sedang bersama di sebuah kafe kecil yang tak terlalu ramai.

Ralin mengangguk lemah. Gadis itu memang merasakan pusing sejak beberapa hari yang lalu.

"Terasa berat? Pada kepala bagian belakang?"

"Hm."

"Kayaknya lo kena setan deh, Ra," ucap Samuel.

"Ngawur lo," gumam Ralin. Berbicara saja terdengar ogah-ogahan.

"Hmm lo perlu ke rumah gue barang kali?"

"Sam, seogah-ogahnya gue ke rumah sakit, masih mending--"

"Ya udah kalau gitu kita ke rumah sakit aja. Dari pada semakin parah. Mungkin emang lo nggak percaya sama asumsi gue." Samuel sudah berdiri namun ditahan kembali oleh Ralin. Cewek itu menggumam, memegang perutnya.

"Bentar, gue mau berak dulu."

Sedetik kemudian, Ralin sudah melesat pergi dari hadapan Samuel. Mungkin memang sudah tidak bisa ditahan. Namun sepertinya Samuel mengetahui satu hal. Bahwa diam-diam, Ralin dibuntuti oleh sesuatu.

*****

5-3-19.
Pub: 28-4-19
Maksa ya? Enggak kok :)

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang