[Sevia : 20]

19 9 15
                                    

Part 20: Beda

"Nih." Sebungkus kotak tersodor di hadapan Caramel. Pinky yang menyodorkannya. "Titipan dari Papa. Katanya beberapa hari yang lalu Papa ketemu sama lo, iya?" Cewek itu terkikik, duduk di sebelah Caramel.

Perihal tidak boleh makan di perpustakaan, tidak ada peraturanmya di sini. Di perpustakaan sekolah ini bebas. Mau musikan, makan, minum, tidur, bicara sesuka hati, bebas. Ya layaknya kafe lah. Tapi kalau ketahuan bérét, bisa-bisa kena marah dari Librarian.

Caramel mengangguk. "Iya. Mau jemput lo, padahal kan lo bawa motor sendiri. Lucu."

"Apanya yang lucu?" Pinky bersedekap. "Wong malah kelihatan gue kayak anak kecil ditengokin Papa."

Terkekeh, Caramel membuka bungkusan kotak itu. Terlihat isinya donat cokelat dan keju menggoda.

"Ini yang di jalan perempatan itu? Dekat lampu merah, bukan?" Caramel menebak. Karena donat langganannya ada di sana. Enak, lembut, dan bikin ketagihan.

"Bukan. Ini buatan Mama. Tadi gue udah makan kok di rumah. Lagian gue nggak se-maniak itu sama donat. Lo makan aja sendiri."

Tangan Pinky menutup buku di hadapan Caramel. Membiarkan cewek itu memakan donat buatan Mamanya. Ingin mendapat pujian juga.

"Gimana? Gue ikut buat sih tapi dikit. Cuma bantu ngangkat pas udah mateng hehe."

"Gundulmu, nggak ada unsur bantuan lo itu mah. Ini murni buatan Mama lo."

Donat itu masuk melewati gigi Caramel. Satu gigitan belum terasa, namun setelah ia mengunyahnya, jelas terasa enak dan manisnya.

"Serius, ini resepnya apa? Enak banget kayak di langganan gue."

Tidak hanya segigit, sampai satu donat habis, Caramel masih tersenyum senang. Beginilah membuat Caramel mengekspresikan diri. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa.

"Keluar aja yuk, nggak enak di sini. Dingin." Pinky menarik tangan Caramel.

"Bentar." Setelah merapikan meja dan bungkusan donat tadi, Caramel berdiri.

Di perpustakaan memang ada AC-nya. Juga sinyal wi-fi-nya lancar. Pantas saja jika banyak yang betah di sana lama-lama. Selain itu, musik di sana selalu musik yang sedang trend dan cocok untuk kalangan remaja.

Mereka berjalan di koridor menuju kelas. Melewati lorong menuju kantin, dan ruang OSIS, sanggar pramuka, serta ruang TaUs.

Koridor ini selalu ramai karena banyak sekali yang berurusan dengan tempat ini. Contohnya, anggota OSIS, anggota pramuka atau Dega, serta petugas TaUs. Banyak juga siswa tak berkepentingan lewat sini.

Sreekk.

Plastik yang ada di tangan Caramel direbut seseorang dari belakang. Refleks cewek itu memang buruk. Bukannya segera menoleh dan mengambilnya, ia malah menatap Pinky dulu. Meminta penjelasan kenapa bungkusan itu raib dari tangannya?

Kemudian tersadarlah ia ketika Samuel telah ada di sampingnya. Hendak membuka bungkusan itu.

"Balikin. Ck!"

Senyum cowok itu melebar saat tahu yang ada di dalam bungkus itu adalah donat. Makanan yang bisa membuatnya senang saat dalam keadaan seperti ini.

"Kayaknya enak nih." Terkekeh, roti itu terjatuh saat Caramel menendang tulang kering cowok itu. Karena pegangannya pada bungkusan itu tidak erat. "Duh. Bagi-bagi elah, gue laper nih."

Ketika tangannya hendak mengambil bungkusan itu di lantai, pergerakannya terhenti tiba-tiba. Caramel juga terpaku namun sedetik kemudian mengambilnya karena tersadar lebih dulu.

Pinky hanya menghela napas kesal. Samuel ini selalu saja mengganggu Q-time-nya dengan Caramel. Kayak di mana-mana tuh selalu muncul jin yang satu ini.

"Ra jangan dimakan," desis Samuel.

Pinky yang mendengarnya tersentak. Mereka berdiri bersamaan, bertatapan.

"Ya udah kalau maksa, ambil aja nih."

Pluk. Setelah mengucapkan kalimat itu, dan melempar bungkusan itu ke dada Samuel---yang berakhir tertangkap tangan cowok itu---Caramel pergi segera dari sana. Tanpa memedulikan Pinky yang kesal.

"Apa-apaan sih lo? Nggak bisa beli sendiri? Iya udah besok gue bawain. Ngomong aja apa susahnya sih? Lo tahu kan Caramel kalau marah gimana?" semprot Pinky geram.

"Gue ada alasan sendiri. Lagian beli lagi kan bisa," bela Samuel.

"Emang, bisa. Tapi itu buatan Mama gue khusus buat Caramel."

"Ya, itu alasan gue ngelarang Caramel memakannya."

Pinky mengumpat. Melihat Samuel berlalu darinya, ingin sekali ia memukulnya saat itu. Tapi yang bisa ia lakukan hanya melemparinya sampah botol dari samping.

***

Heran, melihat motor terparkir di depan rumah. Biasanya motor itu akan terparkir setelah sore menjelang. Ya, motor Mamanya. Memangnya Mama tadi tidak bekerja? Atau Mama memang pulang lebih sore?

"Ma ...," panggil Caramel sedikit keras. "Kok udah pulang?" tanyanya ketika melihat Mamanya yang sedang memasak di dapur. Ia sudah sampai di dapur sebelum meletakkan tasnya. Bahkan kaus kakinya masih melekat di kaki.

"Iya. Mama mau masak nih. Obrol-obrol, Mama capek deh Ra. Ya udah sih biarin aja kalau memang listrik kita rusak. Nggak usah dibenerin lagi. Kalau bisa sih nanti kita punya rumah di tempat baru yang jauh lebih nyaman ya kan daripada di sini."

Mama terkekeh. Mengambil sèrok di rak piring kemudian mengangkat tempe yang digorengnya.

"Di rumah Papa aja, Ma." Caramel memberi usul. Sebenarnya bukan usul sih, hanya kemauan Caramel saja.

Di sana, kalau mau ke tempat kerja lebih jauh, tapi keluarga sana baik-baik. Nenek, Paman, Bibi, dan cousins mengharap Caramel dan Mama kembali tinggal di sana. Namun karena Papa sudah tidak ada, Mama jadi tengsin harus tinggal di rumah mertua.

"Halah, Ra lepasin tas kamu. Ayo bantuin Mama masak."

Mengalihkan pembicaraan. Caramel sangat tahu alasan Mama tetapi ia selalu berharap kalau Mama akan lebih mementingkan ego Caramel. Sebuah harapan. Bukan Bis Harapan Jaya.

Setelah melepaskan tas dan kaus kakinya, tanpa mengganti seragam, ia langsung ikut memasak. Sebenarnya bukan keahlian ataupun kesukaan Caramel kalau harus memasak. Karena ia tak mau melihat Mamanya capek berlebih.

Semakin lama kan Mamanya semakin tua, tanpa suami. Yang harus banting tulang mencari makan, uang saku, serta biaya hidup. Ia yang harus menggantikan posisi Mama nantinya.

Lagipula Caramel masih mbok-mbok'ên, kalau dalam istilah jawanya. Masih terlalu nempel sama orang tua. Belum bisa mandiri sepenuhnya.

"Ma, Pak Bandi enggak ke sini ya nanti? Siapa tahu kalau bisa normal lagi listriknya ...," celetuk Caramel dengan nada sedikit merengek.

Susahnya ia, kalau sudah begini ponselnya alamat bakal tidak berfungsi. Ya mau dipakai nge-game takut baterai habis, mau buka data seluler juga baterai cepat habis. Mau ngapain aja kan susah jadinya.

"Enggak. Kasian Pak Bandi udah capek-capek tapi nggak ada yang bisa dibenarin. Kayaknya kalau ini mah beda."

"Beda gimana?" tanya Caramel.

Kemudian Caramel teringat ucapan Mamanya Gara, barangkali kalau disiram pakai air di kabel yang ditanam, bisa kembali nyala. "Mungkin kata Mamanya Mas Gara ada benarnya. Dulu kan juga gitu kalau disiram pakai air di kabel yang ditanamnya kan bisa nyala lagi."

"Halah udah deh Ra. Nggak usah didengerin pasti cuma ngayal. Enggak lah kalau yang ini mah Mama sudah tahu penyebabnya. Nanti Mama mau ke rumahnya kerabat. Mau ikut, nggak?"

"Ke mana sih?"

"Ke rumah anaknya Mbah Sarinah."

"Siapa?"

"Udahlah. Kalau ikut ya ayo daripada di rumah sendiri."

*****

Create: 20-4-19.

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang