[Sevia : 11]

34 12 41
                                    

Part 11: Parah

Tangan Mama mengibas-ngibas di depan wajah Caramel yang terlihat seperti melamun. Mama memanggilnya sedari tadi tetapi Caramel tetap melamun. Akhirnya setelah Mama menepuk bahunya, Caramel tersadar.

"Ra, kamu kenapa sih? Kok melamun?" tanya Mama.

Caramel menatap Mama. "Tadi Cara melamun, Ma?"

Mama mengangguk dengan wajah khawatir. "Itu, teman kamu datang. Katanya mau jenguk, namanya Samuel," ucap Mama.

Seketika jantung Caramel berdetak kencang karena gugup. Mana ia belum apa-apa lagi. Mandi juga belum, cuma cuci muka saja. Ia juga berantakan sekali. Bajunya pendek pula.

Dengan segera, Caramel menyambar sisir untuk menata rambutnya. Memakai jaket dan trainning panjang demi menjaga kesopanan.

Melangkah menuju ruang tamu, tak lupa memakai kacamata hitamnya.

"Gimana?" tanya Samuel tanpa basa-basi dulu. Wajahnya yang tenang dan selalu tampak humornya itu tetap ada meski dari suaranya terdengar berat.

"Kenapa lo ke sini lagi?"

Samuel berdiri, menatap wajah Caramel yang tertutup kacamata. Kemudian memerhatikan penampilan Caramel dari atas ke bawah. Sedikit mengkedutkan bibirnya karena merasa Caramel terlihat aneh.

"Lo kalau di rumah emang gini ya? Nggak gerah atau panas gitu kah? Udah kayak mau jogging aja, tinggal pakai sepatu sekalian masker sama headset, topi juga." Samuel terkikik dengan idenya.

Dengan kaki sedikit menghentak, Caramel duduk di kursi seberang Samuel tanpa menatap tuh cowok.

"Nggak usah marah lah," ucap Samuel.

"To the point!" ketus Caramel karena Samuel tak kunjung mengatakan tujuannya ke sini untuk apa. Ia sudah jengah dengan cowok--sok--ganteng itu.

"Iya-iya, sabar elah." Samuel meletakkan tasnya di atas pangkuan, "gimana? Belum sembuh juga? Bisa lo buka, biar gue lihat?"

"Lo kalau cuma mau sok jadi dokter udah ya. Kemarin gue baru periksa ke dokter." Nada suara Caramel masih terdengar ketus. Cewek itu tak mau langsung memercayai begitu saja ucapan Samuel.

"Gue nggak ada maksud gitu. Please ya Ra, gue minta maaf. Gue sama sekali nggak ada maksud dan tujuan lain ke sini selain minta maaf. Lagian untung buat gue apa sih, bikin lo sakit? Kalau ngejahilin sih, untung," bisiknya pada kalimat terakhirnya.

"Really, huh?"

"Itu mata dicuci pakai apa? Pakai air biasa atau obat tetes dari dokter? Terus udah ada perkembangan apa?" tanya Samuel tetap bersikukuh tanpa memedulikan pertanyaan meremehkan Caramel.

"You dont need to know. Udah pulang sana."

"Biar gue tebak, lo pasti males bersihin mata kan? Makanya liatin gue dong biar mata lo sembuh. Liat yang bening-bening gini pasti langsung--"

"Nggak penting. To the point!"

"Oke-oke santai," ujar Samuel pada akhirnya. Melihat wajah Caramel yang sepertinya sudah benar-benar marah. "Tapi ... sebelumnya, gue boleh liat mata lo nggak? Soalnya gue ada obat buat mata lo, kali aja cocok."

Dengan wajah lempeng setengah malas, Caramel membuka kacamatanya. Memperlihatkan kondisi matanya yang semakin memburuk.

Samuel menatap lekat-lekat sebelah mata Caramel. Tidak melewatkan satu detik pun untuk menatap hal lain. Ia merasa seperti mengingat sesuatu. Bukan, seperti melihat sesuatu lain di wajah Caramel.

Samuel berkedip sekali namun tetap fokus menatap Caramel. "Ra, kenapa wajah lo berubah?" tanya Samuel.

"Udah deh, Sam, nggak usah aneh-aneh. Gue mau istirahat. Pulang aja lo!" Samuel terkejut, ini pertama kalinya Caramel memanggil namanya di hadapannya.

"Nggak, Ra, serius gue nggak bohong--eh? Mata lo pernah kelilipan sebelumnya?"

"Nggak. Mungkin aja ini karena gue kelamaan di depan hp atau laptop," ujar Caramel positif thinking dengan nada tidak yakin.

"Kalau emang bener gitu bukannya dua-duanya ya? Lagian bukankah mata bisa minus kalau di depan hp atau laptop, bukan kayak gini. Right, that?" Samuel terus saja menyangkal setiap alasan ataupun positive thinking yang Caramel berikan.

Karena terkadang, positive thinking hanya akan membuat kita sakit saat tahu kenyataannya.

"Trus apa? Gue udah muak sama semua ini Sam! Lo nggak usah ikut campur urusan gue yang cuma bakal bikin gue tambah kesel, pengen habisin hidup gue secepatnya!" Suara Caramel datar tetapi penuh penekanan dan lirih pada akhir kalimat. Kalimat itu terdengar pilu sekali. Seakan Caramel sudah lelah dengan kehidupan yang membuatnya muak.

"Ra tenang! Bunuh diri itu dosa!" Berhenti sejenak, Samuel mengambil napas. Berusaha sesabar mungkin menghadapi si keras kepala ini. "Maka dari itu, gue mau bantu lo mecahin masalah ini. Gue bantu lo supaya lo cepat sembuh. Anggap aja sebagai permintaan maaf gue ke lo."

***

Bullshit! Bisa jadi ini hanya sebuah jebakan belaka. Mana mau Caramel mencuci matanya menggunakan air biasa yang diberikan Samuel. Siapa tahu di air ini telah dicampur beberapa bahan kimia yang bisa merusak mata bahkan membutakan mata.

Beberapa hari yang lalu Samuel memberi Caramel sebotol kecil air, katanya suruh cuci mata menggunakan air ini. Cowok itu bilang ini air suci yang bisa mengusir segala hal buruk. Caramel sama sekali tidak percaya.

Ingin rasanya Caramel tertawa keras saat Samuel berkata itu tadi. Tetapi ia urungkan karena agar urusannya cepat selesai, dan Samuel cepat pergi.

Caramel terima begitu saja tanpa mau menggunakannya. Ia letakkan di sebelah TV. Sebagai pajangan saja. Tidak ia sentuh selama tiga hari setelah pemberiannya.

"Ra, bangun! Ini sudah pagi loh! Kamu belum sembuh juga? Berapa hari kamu tidak masuk sekolah? Lama sekali Ra nanti kamu ketinggalan pelajaran." Mama membelai lembut rambut kepala Caramel yang masih menutup matanya.

"Ma ...," panggil Caramel pada Mamanya.

"Ya, Ra?"

"Ma ini mata Caramel kok susah dibuka ya? Kayak ada yang mengganjal, ada apanya, ya?" Caramel memegang tangan Mama tetap dengan mata tertutup.

"Ra, kenapa? Mata kamu kayak ada kotorannya deh. Bentar Mama ambilin obat tetes."

Setelah Mama meneteskan obat mata pada mata sebelah kiri Caramel, mata itu perlahan terbuka meski semakin menyipit. Kemudian yang dilakukan gadis itu adalah duduk bersandar di ranjang.

"Aduh Ma kok pusing banget ya? Kayak nggak kuat bangun gitu."

"Hush jangan ngomong gitu."

"Ma ... aku kenapa?" Caramel hampir saja menangis. Hidupnya terlalu menyedihkan baginya. Ia tidak pernah berpikir akan menyusahkan orang lain terutama Mamanya.

"Mama tidak tahu Ra. Kamu jangan takut ya. Kalau kamu ingin sembuh, kita coba yuk air permberian temanmu itu?"

Caramel menatap tidak percaya Mamanya. Bagaimana kalau yang ia pikirkan itu terjadi? Jika ia akan mengalami luka semakin parah karena terdapat bahan kimia pada air tersebut. Namun, bukankah yang Caramel inginkan adalah segera mengakhiri hidup?

*****

3-2-19.
Pub: 26-3-19.

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang