Part 19: Berbicara
Thina menangis sesenggukan. Merasa kasihan terhadap anaknya yang kehilangan sepatu. Padahal sepatu itu dibeli beberapa hari lalu dan baru dipakai sekali.
Namanya Andit, cowok seumuran bahkan satu sekolahan dengan Caramel. Tetapi tidak satu kelas karena Caramel jurusan IPA, sedangkan Andit jurusan IPS. Meskipun begitu, dulu saat masih Sekolah Dasar, mereka satu sekolah dan satu kelas.
Kata Mama Caramel, tadi pagi beliau bertemu dengan Thina yang sedang menyapu di halaman rumah. Wanita itu bercerita sembari menangis. Siapa yang tega melihat anaknya sakit setelah tahu sepatunya hilang?
Kronologinya begini, hari Kamis kemarin, by the way sekarang hari Minggu. Kamis sore sepatu itu dicuci. Sehabis dipakai bermain futsal bersama teman-teman di sekolah.
Ya karena dicuci, dan rak sepatunya ada di luar, maka sepatunya diletakkan di luar rumah. Maksudnya di luar, masih di teras.
Namun paginya, seperti terkena sihir, sepatu bagus yang masih baru itu berubah. Yang awalnya sepatu sport dengan ukuran 45 dan harga yang lumayan menguras tabungan, berubah menjadi kecil. Ukurannya menjadi 36 dengan warna hitam polos, buluk.
Siapa yang mau? Ya tentu saja Andit kesal. Namun apa daya ia yang tidak mempunyai waktu untuk kesal. Badan cowok itu panas sekali, ia izin tidak masuk sekolah. Namun Jum'at sore, badannya yang tadi panas menjadi dingin seperti pohon pisang.
Sakit yang seperti ini kan tidak wajar. Kalau dibawa ke dokter belum tentu bisa sembuh. Seperti saat malamnya Andit harus dibawa ke rumah sakit, tidak ada perubahan. Demam dinginnya tetap.
Sampai tiga selimut pun tidak bisa menghalau rasa dinginnya. Tidak ada inisiatif lain selain terus menyelimutinya banyak-banyak.
Beritanya, di gang sebelah ada orang sakit yang juga tak wajar. Rawat inap di rumah sakit selama hampir seminggu terakhir belum juga sembuh. Penyakit dalam tetapi belum diketahui apa penyebabnya.
Okay, memang banyak yang mengidap penyakit seperti itu tetapi ini berbeda. Jikalau ada mungkin karena sebelumnya orang tersebut mengalami keluhan. Namun yang ini, sebelumnya tak ada tanda-tanda atau gejala lainnya.
"Sam, gue mau ngomong sama lo." Setelah mengucapkan 6 kata itu, Caramel berlalu dari tempat duduk Samuel. Berjalan menuju tempat yang sekiranya sepi dan aman untuk membicarakan hal penting.
Samuel mendongak. Caramel sudah berlalu dari hadapannya tetapi ia merasakan auranya di sini. Seperti belum pergi dari hadapannya.
Akhirnya karena wajah Caramel tadi terlihat serius, Samuel mengikutinya. Barangkali memang hal penting yang ingin ditanyakan oleh gadis cuek itu.
"Lah? Di mana sih? Katanya mau ngomong, malah ngilang." Samuel membiarkan kakinya melangkah entah ke mana.
Karena Caramel telah tidak terlihat di koridor. Mengikuti insting saja sih Samuel mengikuti. Karena yang pasti Caramel akan mengajak berbicara di tempat sepi.
Setelah sampai di samping sekolah, dekat dengan pagar pembatas, Caramel terlihat. Tempat itu lumayan sepi, jarang anak datang ke sana. Kalaupun ada pasti ada tugas seperti membersihkan taman atau menanam bunga di sana.
"Kenapa?" Samuel melirik kanan kiri memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan. Kemudian ia mendekat untuk membiarkan Caramel berbicara.
"Gue ... nggak butuh bantuan lo," ucap Caramel.
"Lah? Trus? Lagian juga siapa yang bilang lo butuh bantuan gue?"
"Belum selesai." Sedekap tangan di dada, Caramel menatap mata Samuel serius. Wajah datarnya tak mengurangi kecantikan dirinya. Namun itu tidak penting. "Dari mana lo dapat air itu?"
"Air? Yang mana? Di kamar mandi itu? Mau nyiram tanaman?" Samuel terkekeh pelan.
Sebenarnya, dari raut wajah Caramel, cowok itu tahu kalau Caramel memang butuh bantuan darinya tetapi karena kalau dalam istilah Jepangnya, adalah tsundere. Sehingga membuat Samuel tertarik untuk mengerjainya.
"I know you know." Singkat, padat, dan jelas. Sudah pasti yabg ditanyakan Caramel adalah air yang dibawa Samuel untuk menyembuhkan sakitnya waktu itu.
Jelas saja, karena sebenarnya, jauh dari lama Samuel sudah tahu apa yang sedang disembunyikan Caramel. Tetapi karena Samuel kurang peka dan tidak mau bocor, rahasia itu aman.
Makanya Samuel mau menerima ajakan Ralin untuk mengerjai Caramel. Si gadis kutu buku dan anti sosial.
"Masa sih? Gue nggak tahu tuh."
Caramel merasakan tubuhnya merinding tiba-tiba. Membuat Samuel tersentak. Segera saja cowok itu menarik tangan Caramel saat tahu di atas sana ada sebuah pot bunga yang hampir jatuh.
"Awas Ra!"
Tepat saat Samuel menarik tangan Caramel, pot itu terjatuh di tempat tadi Caramel berdiri. Namun di atas tidak ada seorang pun. Yang ada hanyalah keramaian karena atas sana adalah ruang kelas.
Jantung Caramel berdetak kencang. Bukan. Bukan karena ia jatuh cinta pada Samuel yang telah menyelamatkannya. Tetapi karena hampir saja nyawanya melayang akibat basa-basi yang terlalu panjang ini.
Hidup gue kayak dibuntuti sesuatu mulu.
"Intinya gue butuh air itu." Kalimat itu terucap dari mulut Caramel sebelum cewek itu melepas pegangan tangan Samuel dan segera pergi dari tempat yang menurutnya tidak aman itu.
Kembali ke kelas adalah pilihan utamanya. Biar saja Samuel di tempat tadi sendirian.
Dug. "Au!"
"Duh ilah siapa pula nabrak. Pala gue kayak mau pecah."
Caramel dari samping sekolah, akan berbelok ke kanan melewati depan kelas 10 IIS, harus bertubrukan dengan Pinky yang dari arah berlawanan. Begitupun yang bertabrakan adalah kepala mereka berdua.
"Aduh Ra kalau jalan tuh liat-liat dong."
"Sori gue buru-buru. Lupa juga harusnya kan belok kiri eh malah ke sini. Lo ngapain dari jurusan IPS?" tanya Caramel.
Pinky menoleh dan menunjuk ke belakang. Mungkin sedang mengingat apa yang ia lakukan di kelas tadi. Satu tangannya memegang jidat yang memerah.
"Hehe sakit ya?" Caramel juga memegang jidatnya. Melirik jidat Pinky.
"Abis ketemu sama adik sepupu gue di kelas IPS. Mau bilangin kalau dia disuruh Mama ke rumah. Mau dikasih roti buatan Mama." Pinky menjelaskan.
"Oh gitu. By the way itu kalau masih sakit dibawa ke UKS aja." Caramel menarik tangan Pinky. Berniat membawanya ke UKS, tetapi Pinky malah menarik Caramel untuk ke kelas.
"Nggak usah. Nggak pa-pa kok. Panas aja."
"Katanya mau pecah tadi."
Mereka adalah sahabat. Sahabat yang selalu bersama, tertawa, tak ada beban yang membuat mereka harus memutus tali persahabatan. Bertengkar pun sangat jarang.
Sampai di kelas, mereka masih tertawa. Mengumbar persahabatan kepada masyarakat satu kelas. Samuel juga melihatnya.
*****
16-4-19.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession #Sevia
Mystery / Thriller#GenreMisteri #Project1 #GloriousAuthor #SeviaStory Surat misterius, sakit yang tak wajar, dan segala teror lainnya datang tidak hanya kepada gadis cantik cuek itu. Tetapi datang juga pada orang lain yang menyebabkan orang tersebut meninggal karenan...