[Sevia : 30]

9 1 0
                                    

Part 30: Fitnah

"Mau neror gue kayak gimana lagi sekarang?"

Pertanyaan itu menjadi topik debat mereka kali ini. Entah siapa di posisi pro dan siapa di posisi kontra. Yang jelas Caramel menginginkan agar semua masalah ini selesai tanpa adanya campur tangan dari orang lain. Ia sangat yakin ia bisa meng-handle masalahnya sendiri.

"Heh lo dateng-dateng salam kek, nyapa, basa-basi dulu. Eh ini langsung nanya hal yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan kita. Lagian ...." Belum sempat Ralin melanjutkan ucapannya yang hendak mengomentari Caramel, teman Ralin yang satunya menjentikkan jarinya. Mengingat sesuatu.

"Bukannya lo sendiri pelaku dari pembunuhan serta teror itu? Kenapa malah fitnah kita? Apalagi fitnah orang lagi sakit."

Satunya lagi mennganga dan menutupi mulutnya menggunakan satu tangannya. "Haaa iya! Yang disidang kemarin pas Bu Veni baru aja dikabarin meninggal?"

"Gue sangsi nih cewek nyari gara-gara biar bisa fitnah orang lain dan kejahatannya sendiri tertutupi." Tatapan teman Ralin yang satu ini tidak seperti biasanya. Tatapannya persis seperti saat ia sedang membully adik kelas.

"Bahkan gue sangsi dia punya motif ingin membunuh kita ihh."

"Maksud kalian apa?" tanya Samuel cepat. Agar dua orang itu tak melanjutkan pembullyannya.

"Jadi tuh Caramel nulis nama Bu Veni sama Kania di kertas sebagai korban. Entahlah korban apa. Trus ada yang nemuin kertas itu di mejanya," jelasnya.

"Masalah itu udah clear, nggak usah diungkit. Gue sedang nyelidiki seseorang," Caramel menatap Samuel, "yang menjadi dalang di balik ini semua."

"Ngapain nyelidiki orang kalau pelakunya adalah lo sendiri?" Ralin ikut bicara lagi.

"Ra, maksud dari kertas itu apa?"

Berdecak, Caramel menjawab, "kalau ingin tau bener ya ke ruang BK tanya sama guru BK. Udah clear, dan jelas bukan gue pelaku teror menyusahkan itu!" Ucapannya tegas, menandakan kalau ia tidak mau dibantah atau diungkit lagi tentang topik itu.

"Lo dapat da ...."

"Lo atau gue yang fitnah? Gue sama sekali enggak tau, dan lo semua tau kalau gue adalah korban terberat dari teror itu!" Suara Caramel meninggi, tidak peduli ada siapa dan bagaimana reaksi mereka di taman itu. "Lo pun yang tau pertama kali kalau gue sakit, lo bahkan akrab sama gue di saat surat teror itu datang ke gue. Padahal sebelumnya lo ya elo dan gue ya gue. Nggak pernah kenal," jelas Caramel dengan penuh penekanan.

"Terus apa namanya kalau udah dibantuin malah bilang yang ngebantu adalah pelakunya? Kalau bukan fitnah namanya apa? Hah?" Ralin semakin maju karena emosinya tersulut. Memang dasar cewek pembully pasti akan selalu ingin menang.

Tapi kedahuluan Samuel yang sudah berada tepat di depan Caramel dengan wajah dingin pucatnya. "Jadi lo belum percaya sama gue setelah yang lo lihat waktu itu di rumah gue?"

Suaranya membuat bulu kuduk Caramel merinding saking dinginnya. Dingin, pelan, dan jelas.

"Iya," jawab Caramel singkat, padat, dan jelas. "Pertama, menurut teori, itu tidak masuk akal. Apalagi yang bagian kakek lo merasuki tubuh Papa lo. Karena sesungguhnya orang yang sudah meninggal, ya meninggal. Kalau yang bilang arwahnya masih gentayangan, itu adalah jin yang menyerupai manusia yang sudah meninggal tersebut."

Samuel mendengarkan apa yang diucapkan Caramel. Menanti apa selanjutnya yang akan dilogiskan oleh gadis itu.

"Memang, yang merasuki tubuh Papa lo adalah jin baik yang taat pada agama. But as we know, jin itu kayak manusia. Ada yang baik ada yang jahat. Ada yang Islam dan ada yang enggak," lanjut Caramel.

"Dan lo tahu kisah anak indigo?" tanya Samuel.

"Sori, gue lebih tertarik kalau lo jujur bagaimana cara lo neror gue selama ini." Caramel melayangkan tatapan tajam menusuk tepat pada manik mata Samuel.

"Papa gue belum pulang jadi belum bisa beliau ngasih tahu siapa sebenarnya pelaku yang neror lo. Lo jangan gampang termakan oleh asumsi sendiri dong. Kepala lo nanti akan sakit dan lo akan mengalami sakit yang lebih kare ...."

"Karena lo yang bakal neror gue kan nantinya? Ngaku aja gitu dari tadi ngapain pakai bertele-tele memusingkan. Mulai saat ini gue nggak akan pernah percaya lagi sama jin, arwah, dan tetek bengeknya." Caramel hendak pergi dari taman itu sekarang juga tetapi urung saat Samuel mencengkeram oergelangan tangannya dengan erat.

"Yang elo cium setiap malam di rumah lo itu, yaitu wangi melati atau kenanga, adalah Mbah Arba yang datang menjenguk lo," bisik Samuel berdesis di telinga Caramel. Kemudian ia melepaskan cengkeraman tangannya. "Terserah mau percaya atau enggak. Yang jelas gue udah care dengan mau bantuin lo segitunya."

"Dasar cewek nggak tau diuntung. Tulung menthung itu namanya kalau bahasa Jawa. Ditolong malah mukul bukannya makasih." Ralin menggerutu sendiri di belakang Samuel.

"Emang ya namanya aja anak misterius, pasti dia lagi nyusun rencana baru buat bikin Samuel tambah sakit."

"Iyalah, bisanya kan cari gara-gara, maklum aja."

"Kalian nggak tau yang selama ini gue rasain. Jadi nggak usah komen bacot!" Baru kali ini Caramel berkata dengan kata-kata marah.

"Udah marah guys mending nggak usah diterusin entar malah kita kena santet. Hih."

"Udah ya, ini masalah gue sama Caramel jadi kalian nggak usah ikut campur, diem aja." Akhirnya Samuel yang menengahi agar perkara ini selesai dengan baik tanpa adanya komentar dari mulut-mulut cabai.

"Bodo amat lo mau bantuin gue dengan cara gimana, yang jelas udahin semua teror lo. Bilang aja, ayo kita adu bacot biar tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah jangan beraninya nabok nyilèh tangan. Minjam tangan setan pula." Caramel kembali menyulut sumbu dengan percikan agar segera terbakar lagi.

"Jadi maksud lo Mbah Arba yang merasuki tubuh Papa itu setan yang neror lo selama ini?" Samuel mendengus, "nggak gue sangka ternyata otak lo sedangkal itu Kalau emang beliau yang gue suruh buat neror lo, ngapain gue bantuin lagi dengan nyembuhin sakit lo?"

Caramel terdiam, mencari alasan yang telah ia rencanakan sebelumnya. "Ya supaya gue nggak tau siapa pelaku sebenarnya. Kemarin pagi lo keluar kan? Nggak ada di rumah kan? Lo yang ngeletakin kertas itu dan bikin gue seakan benar ada pada saat di mana Andit jatuh dari tangga. Lo juga yang ngasih darah di meja dan kursi gue!"

"Dan bodohnya lo malah percaya sama orang yang bahkan mempunyai niat nyelakai lo." Jawaban Samuel membuat Caramel berpikir keras. Ia tidak bisa mengerti dengan cepat maksud dari kalimat itu.

"Loh, Sam?" Ralin mendekat.

*****

Create: 21-6-19.
Pub: 17-8-19.

A Confession #SeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang