Confession (The daddies)

5.3K 334 10
                                    

The daddies

Hendra Ahsan. Mungkin nama itu tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia terutama pecinta bulutangkis. Pasangan ganda putra Indonesia yang pernah berjaya sebelum Kevin Marcus- Minions bersinar.

Di usia yang sudah tidak muda lagi, Hendra Ahsan masih bisa berkompetisi dengan pemain muda lainnya, dengan penempatan bola bola cantik dan penuh perhitungan. Smash tajam Ahsan juga menjadi unggulan pasangan ganda ini.

Sebenarnya defence mereka tak sekuat dengan offence, tetapi untuk menutupi kekurangan-kekurangan itu Hendra dan Ahsan hampir selalu mampu menguasai shuttlecock di lapangan.

Cukup tentang bagaimana mereka di depan layar, di depan mata dunia. Mari kita selami dunia yang hampir tidak pernah terekspos oleh manusia lain selain teman serta keluarga mereka.

Hendra dan Ahsan pertama kali bertemu ketika coach memasangkan keduanya. Pada saat itu umur keduanya masih terbilang muda, masih awal 20-an. Malah Ahsan baru menginjak 20. Hendra dengan cepat jatuh cinta dengan partner lapangannya itu. Tetapi ia tidak berani menyatakan perasaannya pada Ahsan.

Hendra pertama kali menyadari ia telah jatuh hati pada pemuda itu ketika mereka menjuarai turnamen pertama mereka. Cepat? Banget.

Saat itu Hendra sudah mulai menunjukkan tanda-tanda atau kode lebih tepatnya kepada Ahsan, tetapi pemuda yang lebih muda darinya itu tidak peka. Sama sekali.

Bukan Hendra namanya kalau cepat menyerah. Ia memutar otak agar Ahsan peka terhadap perasaannya. Tetapi sepertinya jika ia tidak menyatakan perasaannya secara langsung mungkin Ahsan tidak akan peka.

Dengan mempertaruhkan karirnya serta pertemanannya, Hendra memberanikan diri untuk menyatakannya saat ia mengajak Ahsan makan malam berdua sepulang latihan.

Mereka tidak makan di tempat yang begitu mewah, mereka hanya makan di hanamasa. Tidak tergolong mewah untuk orang selevel Hendra karena ya, uangnya sudah bejibun karena hadiah pertandingan mereka.

"San," mereka sudah selesai makan- Hendra sih yang udah kelar, Ahsan masih lanjut makan daging.

"Ya?"

"Gue mau ngomong sesuatu," nada bicara Hendra begitu serius. Setidak pekaannya Ahsan, ia masih bisa menangkap kapan Hendra serius kapan ia sedang bercanda. Ahsan meletakkan sumpitnya dan meminum minumannya.

"Ngomong apa?"

Hendra berdeham. Now or never Hendra.

"Sebenernya... gue suka sama lu San, lebih dari temen. Gue sadar kalo gue suka sama lu waktu kita pertama kali dapet emas, semenjak itu gue selalu ngasih kode ke lu tapi kayaknya lu gak sadar," Hendra tertawa renyah. Ia menarik nafas dan melanjutkan perkataannya.

"Makanya akhirnya gue memutuskan buat ngomong langsung sama lu. Jujur gue takut lu gak nerima gue. Tapi ya daripada di pendam mending di ungkapin. Gue ngerti kok kalo lu jijik sama gue, kalo lu gak mau ngeliat muka gue lagi. Kalaupun akhirnya lu mau ganti pasangan main ya gapapa, gue ngerti," senyuman Hendra meredup. Senyumannya masih tetap terukir di bibir pemuda itu, tetapi bukan senyumannya yang seperti biasa. Melainkan senyuman sedih.

Ahsan masih membatu di tempatnya. Hendra baru saja menyatakan perasaannya pada dirinya? Dia gak mimpi kan?

Hendra menatap Ahsan dengan penuh harap, tetapi sepertinya pemuda di hadapannya itu tidak akan menanggapi apa yang baru ia sampaikan sekarang. Hendra menghela napas panjang dan kembali tersenyum. Ahsan tau, senyum itu bukan senyuman yang ia biasa liat. Senyuman Hendra sekarang terkesan palsu. Senyuman yang ia gunakan untuk menutupi lukanya.

"Lu boleh mikirin dulu apa yang baru gue omongin. Tapi sekarang kita pulang dulu yuk, udah malem. Lu gue anterin sampe rumah kayak biasa," Hendra bangkit dari tempat duduknya, begitu pula Ahsan setelah menghabiskan minumannya.

Selama perjalanan suasana di dalam mobil Hendra begitu canggung. Di pikiran Ahsan sudah ada jawaban untuk pernyataan Hendra, tetapi apa yang Hendra katakan masih membebani pikirannya. Ini terlalu banyak untuknya dalam sehari.

Hendra memberhentikan mobilnya di depan rumah Ahsan. Ia mengucapkan selamat malam pada Ahsan yang sedang keluar dari mobilnya.

"Besok pagi kayak biasa?" Pertanyaan Hendra di balas oleh anggukan dari Ahsan dan lambaian selamat tinggal ketika Hendra mulai menjalankan mobilnya lagi.

"Bodoh kamu San. Kasian Hendra kamu gantungin kayak gitu!" Ahsan mengumpat pada dirinya sendiri ketika ia memasuki rumahnya. Ia masih frustasi pada dirinya yang tidak bisa langsung menjawab pernyataan Hendra.

"Besok pagi pokoknya harus gue jawab," ujar Ahsan penuh tekad dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi.

*

Keesokan harinya Ahsan terbangun dengan penuh semangat. Hari ini pokoknya ia harus menjawab pernyataan Hendra. Ia harus membuat pasangannya itu senang.

Sebenarnya kemarin Ahsan ragu. Hendra sungguh sungguh kah tentang semua hal yang ia bilang? Ini bukan sekedar lelucon jahat doang kan?

Tetapi Ahsan sudah familiar dengan sifat Hendra. Ia tidak mungkin memainkan perasaan seseorang hanya karena dare. Hell, Hendra jauh lebih berkelas dari itu.

Tak terasa waktu berlalu. Ahsan bisa mendengar suara klakson mobil Hendra di depan rumahnya. Ia buru buru mengambil tas raket serta tas berisi baju ganti serta handuk.

Ahsan lalu menaruh semua tasnya di jok belakang mobil Hendra dan duduk di samping kursi pengemudi. Hendra mulai menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Ahsan.

Perjalanan mereka kembali terasa canggung, hingga akhirnya Ahsan memutuskan untuk bertindak.

"Ndra,"

"Hm?" Pandangan Hendra masih terpaku pada jalan di depannya.

"Soal kemaren... Gue sebenernya sadar sama kode kode lu, tapi ya gue gak mau terlalu berharap makanya gue bersikap seolah gue gak peka. Gue tau itu jahat, maaf ya. Oh, dan satu hal lagi. Iya, gue juga suka sama lu," untung saja jalan yang mereka lewati lagi macet. Karena Hendra langsung menoleh secepat kilat ke arah Ahsan. Sakit itu pasti lehernya.

"Serius San?" Pertanyaan Hendra di balas oleh anggukan kepala dari Ahsan. Senyuman bahagia terukir di bibir Hendra. Di mata Ahsan senyuman itu membuat Hendra jauh lebih rupawan berkali kali lipat dari cowok lain yang pernah menembak dirinya.

Hendra langsung menarik Ahsan ke dekapannya. Agak sedikit awkward posisinya karena mereka masih di dalam mobil.

"Makasih San makasihhhh," Hendra menenggelamkan wajahnya di rambut hitam Ahsan yang terasa begitu halus.

"Sama sama Ndra, sama sama," Ahsan merasa pelukan Hendra pelukan terbaik yang pernah ia dapatkan selain dari pelukan ibundanya.

"Kalo gitu nanti pulang latihan gue traktir lagi!" Hendra melepaskan pelukannya dan kembali fokus ke jalan di hadapannya.

"Ehhh gak usah Ndra, yang ada gue ngerepotin mulu," kalo ditanya sih, Ahsan mau mau aja di traktir Hendra. Tapi udah seminggu full loh Ahsan di traktir Hendra terus, gak enak Ahsan jadinya.

"Gak ngerepotin kok, justru gue yang seneng nraktir lu," Hendra terlihat begitu bahagia, Ahsan tak punya hati untuk menolaknya lagi.

"Iya deh iya,"

Shuttle F-ing Cock one shot! (BxB) [Very slow update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang