The daddies
Hendra berjalan memasuki ruangan Ahsan. Pemuda mungil itu berbaring dengan keadaan terlelap, selang infus menempel di tangan kirinya.
Tubuh Ahsan terlihat begitu kurus, membuat hati Hendra begitu terpukul dan juga mulai menyalakan dirinya sendiri karena begitu lambat menemukan Ahsan.
"Semua salah lu Ndra! Coba aja lu lebih cepet nemuin Ahsan, gak kayak gini kan jadinya! Makanya otak tuh di pake!!" Ini adalah sebagai kecil pikiran Hendra setiap ia duduk di samping Ahsan. Tak hanya Ahsan yang terpuruk mentalnya, Hendra juga mengalami mental break down.
Hari demi hari berlalu. Hendra dengan sabar menyuapi Ahsan yang masih terbaring lemah di atas kasur. Tak jarang Ahsan menolak makan, namun Hendra tetap dengan sabar membujuk Ahsan agar mau makan.
Hasil jerih payah Hendra terbayarkan sudah. Ahsan keluar dari rumah sakit 2 minggu kemudian, dengan surat izin cuti selama setidaknya 1 bulan untuk recovery dan terapi.
Rupanya membujuk Ahsan untuk terapi jauh lebih sulit dibanding membujuknya untuk makan.
"Ayo San... Semakin kamu sering terapi semakin cepat kamu bisa balik kerja,"
"Aku gapapa Ndra! Aku baik baik aja!"
"Aku yakin kamu gapapa, tapi setidaknya kita ketemu psikolognya dulu supaya lebih yakin,"
Mungkin jika ada penghargaan detektif tersabar, gelar itu akan jatuh ke tangan Hendra. Entah bagaimana Hendra selalu saja punya cara untuk membuat Ahsan minum obatnya dan pergi terapi.
Hendra sempat bertanya kepada sang psikolog tentang Ahsan yang jadi susah di suruh minum obat, padahal biasanya ia begitu kooperatif jika menyangkut urusan kesehatan.
"Oh, itu bisa terjadi karena kejiwaannya yang belum stabil. Di tambah dengan kejadian traumatis yang mungkin melibatkan obat obatan,"(saya bukan psikolog jadi mungkin aja ini sesat)
Hendra mengangguk dan berterimakasih kepada sang psikolog sebelum menyusul Ahsan yang sudah menunggunya di mobil.
*
"Ndra..." Hendra yang sedang membuat teh untuk Ahsan langsung menengok begitu namanya dipanggil oleh pemuda mungil yang kini berdiri di sampingnya.
"Ya San?"
"Makasih Ndra atas semuanya," ujar Ahsan pelan dan menggenggam tangan Hendra yang nganggur dengan malu malu. Hendra hanya menatap Ahsan dengan bingung, namun ia tetap membiarkan Ahsan melanjutkan perkataannya.
"Makasih kamu udah mau sabar ngehadepin aku 3 minggu terakhir. Makasih kamu udah selalu nemenin aku di rumah sakit. Makasih kamu mau susah payah nyari aku. Maaf aku selalu nyakitin kamu Ndra... maaf aku udah gak peka sama perasaan kamu, sama perasaan aku sendiri. Maaf aku selalu ngerepotin kamu, selalu bikin kamu kesel... selalu nyuruh kamu ini itu, selalu ngelarang kamu padahal aku gak punya hak... maaf atas semuanya Ndra..." suara Ahsan perlahan namun pasti bergetar hingga suara isak tangis pecah. Hendra benar benar bingung apa yang harus ia lakukan, sehingga ia hanya bisa memeluk Ahsan dengan erat, membiarkan pemuda mungil itu menangis di dekapannya.
Hendra hanya diam, namun tangannya terus mengelus punggung Ahsan dan mengecup pucuk kepala Ahsan untuk menenangkannya.
"Shhh.... kamu gak perlu minta maaf San... Justru aku yang harusnya minta maaf karena gak bisa nemuin kamu lebih cepat,"
Hendra memeluk Ahsan lebih erat. Ia menarik napas dalam, agar tidak ikut terisak. Hendra tau, ia harus menjadi stabil disini, demi membantu Ahsan recovery.
*
Ahsan sudah kembali tertidur dengan memeluk Hendra. Sementara Hendra mengelus punggung Ahsan, sembari memainkan ponselnya. Pemuda itu memang tidak mengantuk, padahal jam sudah menunjukan pukul 00.07.
Hendra menghela napas lelah, ia melepaskan dirinya dari pelukan Ahsan, dan memutuskan untuk lari sebentar di treadmil yang ia simpan di ruang tengah. Itung itung sekalian olahraga.
Ketika Hendra sedang berlari di treadmil, ia mendengar suara pintu kamar terbuka dan Ahsan yang masih mengantuk keluar dari sana.
"Ndra? Kamu ngapain lari tengah malem?"
"Gak bisa tidur," ujar Hendra singkat dan kembali mengatur napasnya. Pemuda mungil itu hanya mengangguk dan duduk di sofa yang letaknya tak jauh dari mesin treadmil.
Entah dorongan dari mana, Ahsan yang masih setengah tidur mengatakan sesuatu yang hampir membuat Hendra terjatuh di mesin treadmil.
"I love you Ndra..."
Hendra langsung melompat turun dari treadmil. Ia menghadap Ahsan yang menatapnya dengan cengo.
"Bentar, coba ulangin yang kamu bilang tadi?" pinta Hendra dan kini duduk di samping Ahsan.
"I... I love you Ndra..." Ahsan tersipu malu sekarang. Sementara Hendra tersenyum lebar. Tidak pernah terlintas dipikirannya bahwa Ahsan akan membalas perasaannya. Bahwa Ahsan akan menjadi miliknya.
"I love you too Ahsan,"
Bonus
Behind the scene
KAMU SEDANG MEMBACA
Shuttle F-ing Cock one shot! (BxB) [Very slow update]
FanfictionBxB Sekumpulan one shot- mungkin lebih tentang penyiksa bulu angsa demi olahraga. Rata rata mengandung unsur AU Bagi nama atlet ataupun orang yang namanya saya mention disini, tidak ada sangkut pautnya dengan yang di dunia nyata. Buku ini hanya sek...