The daddies
Aku mendapatkannya Hendra. Bisakah kau menemukannya tepat waktu?
Tic toc tic toc, waktu terus berjalan Hendra. Hidup Ahsan ada di tanganmu.
Hendra bersumpah kalau ia menemukan penculik Ahsan, ia setidaknya akan menembaknya sekali tepat di kepala.
Tanpa sarapan maupun kopinya, Hendra buru buru bersiap dan meluncur ke kantornya. Hendra tidak tau berapa banyak waktu yang Ahsan punya, ia tidak mau harus memasuki crime scene dimana tubuh Ahsan tergeletak tak bernyawa.
Sesampainya Hendra di kantor, setiap orang yang ia lewati menatapnya heran. Bahkan ada beberapa yang bertanya "Ahsan kemana? Biasanya pulang pergi bareng,"
Tetapi Hendra tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang terlempar padanya, ia langsung masuk ke kantor atasannya.
Ruangan tersebut tertutup, beda dengan yang lain di gabung. Dinding ruangan itu dihiasi berbagai macam penghargaan dan juga potongan potongan koran tentang kasus yang berhasil di pecahkan oleh detektif yang bekerja disana.
Duduk di belakang meja besar tersebut seseorang yang sangat di kenal Hendra, sosok tersebut yang telah membimbingnya hingga ke titik ini. Orang tersebut bernama Taufik Hidayat.
Tanpa sepatah katapun Hendra memberikan surat tersebut kepada Taufik, yang langsung di baca oleh sang kapten.
"Kamu mendapatkan ini dari mana Hendra?" Taufik meletakkan surat itu di hadapannya, sekarang ia memandang Hendra lekat.
"Di rumah saya, di atas meja lebih tepatnya," ujar Hendra tegas, walau ia dan Taufik sudah seperti adik kakak, kerja ya kerja.
"Seingat saya kamu dan Ahsan tinggal bersama kan?" Hendra mengangguk, Taufik menghela napas.
"Kasus ini akan saya tindak lanjuti, tapi sayangnya kamu tidak bisa menjadi tim yang menanganinya,"
"Tapi-"
"Ini sudah keputusan final Hendra. Kamu dan Ahsan memiliki sebuah hubungan, hal ini bisa menghambat ataupun bisa membuat tim ini mengambil langkah subjektif, bukan objektif," bukan Hendra namanya kalau ia melepaskan kasus ini begitu saja. Ia menutup pintu ruangan Taufik dan bertatap muka dengan bosnya itu.
"Fuck formalities, Gue gak peduli lu bos gue atau apa. Tapi Fik, ini nyawa Ahsan yang kita pertaruhkan. Dan pembunuhnya, Ares, hanya berkontak langsung dengan gue sama Ahsan. Dan sekarang Ahsan di culik, lu mau ngeluarin gue dari tim gitu aja?"
"Hendra, ini untuk kebaikan bersama. Ini yang Ares mau Hen, dia pengen lu lepas kendali karena Ahsan," ujar Taufik melembut, kini ia tidak melihat Hendra sebagai bawahannya lagi. Ia melihat Hendra seperti adiknya.
"Please Fik," ujar Hendra dengan memelas, mana bisa Taufik menolak permintaan pemuda di hadapannya itu?
"Oke, lu gue masukin ke tim. Tapi gue mau lu gak bertindak gegabah, melihat fakta dengan objektif, dan mengambil tindakan sesuai dengan bukti yang ada," ujar Taufik dengan tegas dan dibalas oleh anggukan mantap dari Hendra.
*
Disisi lain, Ahsan terbangun dengan erangan pelan. Kepalanya terasa berdenyut nyeri, tangannya bergerak untuk memijat kepalanya, namun tertahan oleh sesuatu.
"What?" Ahsan melihat ke tangannya. Keduanya terikat pada kursi yang ia duduki. Begitu pula kakinya.
Kepalanya masih berdenyut nyeri, membuat Ahsan harus memejamkan matanya. Lama kelamaan kepalanya terasa mendingan dan ia mulai melihat sekeliling.
Ahsan berada di tengah ruangan yang ia curigai sebuah rumah yang tidak terurus. Temboknya sudah banyak bercak kotoran, bahkan di beberapa tempat ada retakan juga bolongan.
Ketika Ahsan sedang mencoba mengidentifikasi dimana dia, pintu di hadapannya terbuka dengan keras. Menyebabkan perhatiannya kembali teralih kepada sosok yang baru masuk.
Ares, begitulah panggilannya. Ia memiliki tubuh tegap tinggi, jauh lebih tinggi dari Ahsan, kulit putih bersih, dengan iris birunya yang indah.
Sosok itu mendorong sebuah meja yang di atasnya terdapat layar komputer. Ia meletakkannya di hadapan Ahsan lalu menyalakannya.
Muncul sebuah video dengan thumbnail pintu putih bersih. Ia memasang speaker yang menghadap Ahsan dan menyeringai jahat kepada detektif itu.
"Enjoy the show, detective," sosok itu mengklik 'play' dan keluar dari ruangan. Ahsan menatap sosok itu dan layar komputer bergantian dengan bingung, hingga ia menyadari apa video yang di putarkan untuknya.
Video tersebut merupakan loop dari aksi pembunuhan terhadap tunangannya itu. Ia harus menonton dan mendengarkan berulang kali suara jeritan kesakitan wanita itu.
Berulang kali ia harus melihat wanita yang sebentar lagi menjadi istrinya di bunuh berkali kali, dan Ahsan juga harus menyaksikan bagaimana wanita itu menghinatinya dengan berselingkuh dengan Endo, ia juga harus menyaksikan bagaimana tubuh wanita itu di potong-potong dengan sadisnya.
*
2 Minggu berlalu, ia belum menemukan tanda tanda dari Ares maupun Ahsan. Sesuai dugaan Taufik, kerja Hendra menjadi acak acakan semenjak Ahsan di culik. Seolah yang membuat Hendra selama ini tetap pada jalurnya adalah Ahsan.
Hingga pagi itu Hendra di panggil oleh Taufik ke ruangannya, begitu Hendra masuk ia diperintahkan untuk menutup pintu. Taufik bangkit dari kursinya dan memutari meja. Ia lalu memeluk Hendra erat, bagai seorang kakak mencoba menenangkan adiknya.
"Yang kuat Hen, gue yakin kita bisa nemuin Ahsan dengan kondisi selamat," Hendra membalas pelukan Taufik, ia akhirnya bisa meluapkan emosinya yang telah ia pendam sejak hari pertama Ahsan menghilang di pelukan kakaknya itu.
"Gue harus pake cara apa lagi Fik, semua yang terlintas di pikiran gue jalan buntu semua," ujar Hendra lemah. Sekarang keduanya tengah duduk di sofa yang berada di pojok ruangan Taufik.
"Tenang Hen tenang... Pasti ada cara Ahsan ngehubungin lu. Mungkin semacam GPS hpnya atau ada SMS tentang koordinat gitu?"
"Hpnya Ahsan ada di rumah," ujar Hendra dan tangannya memainkan kalung dengan liontin sebuah silver berbentuk heksagonal yang melingkari lehernya. Kalung itu ia beli bertahun-tahun lalu, ia juga membelikan Ahsan dengan bentuk yang sama.
Kalung itu ia beli sebagai ucapan terimakasihnya karena Ahsan telah menyelamatkannya saat ia hampir saja di culik. Sekarang ia ingat, kalung itu sengaja ia beri tracker kalau kalau salah satu dari mereka ada yang hilang atau di culik.
"Tunggu sebentar. Kalung!" Hendra langsung bangkit dan berlari ke mejanya, diikuti oleh Taufik dari belakang.
Jemari Hendra bergerak dengan cepat, seingatnya milik Ahsan hanya berbeda 1 nomor dengan kepunyaannya. Ia memasukkan nomor seri milik Ahsan dan menekan 'enter'.
"Ayolah.... Please bisaa..."
Ding!
Muncullah sebuah titik merah yang berada di sebuah rumah. Rumah tersebut berada tak jauh dari hunting zone Ares.
"Ayo kita berangkat," ujar Hendra dengan tegang dan bangkit dari kursinya, namun di tahan oleh Taufik.
"Hendra, inget kata gue 2 minggu lalu? Jangan gegabah. Siapa tau ini cuma jebakan,"
"Kalo jebakan, kalo ternyata bukan? Kita harus bergerak cepat Fik, kita gak tau waktu yang Ahsan punya berapa lama lagi,"
Ucapan Hendra ada benarnya juga. Tapi Taufik tau mereka tidak boleh gegabah.
"Oke, kita kesana. Tapi kita harus rapat koordinasi dengan yang lain," ujar Taufik sebelum dering ponsel Hendra menghentikannya. Hendra mengangkatnya dan meng-loud speaker teleponnya agar Taufik bisa mendengarnya.
"Ares speaking. Time's running up detective. You will not be able to save him. I broke him. I already broke his mind, it is time for me to break his body,"
Tawa maniak terdengar dari ujung sana, membuat Hendra dan Taufik saling berpandangan.
"See you soon, detective,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shuttle F-ing Cock one shot! (BxB) [Very slow update]
FanfictionBxB Sekumpulan one shot- mungkin lebih tentang penyiksa bulu angsa demi olahraga. Rata rata mengandung unsur AU Bagi nama atlet ataupun orang yang namanya saya mention disini, tidak ada sangkut pautnya dengan yang di dunia nyata. Buku ini hanya sek...