Lady Killer 8 (JoTing Cops AU)

665 70 1
                                    

JoTing

Anthony menatap komputernya dengan tidak percaya. Ia sudah mengecek berulang kali database mereka dan semuanya memberikan hasil yang sama. Tak pernah ada yang melaporkan tentang hilangnya Carolina dan Winnie. 

"Kata Jonatan, pelaku sangat berhati hati, tapi dengan tidak melaporkan hal ini, ia melakukan kesalahan," Anthony menggumam sendiri, namun sepertinya ucapannya itu terdengar oleh Hendra.

"Tidak juga," Hendra bersandar di meja Anthony sembari menyesap kopinya.

"Beresiko memang, tetapi dengan semua kasus yang pernah saya tangani, dengan tidak melaporkan kasus orang hilang, berarti ia tidak terdeteksi oleh polisi untuk sementara waktu, walau pada akhirnya beberapa terungkap kasusnya," Hendra kembali menyeruput kopinya. Ia menatap meja Ahsan yang sudah kosong, sang kekasih memang sudah pulang duluan menemani Rian. 

"Beberapa?"

"Tak semua kejahatan bisa terungkap, seberapa keras kalian mencobanya. Terkadang beberapa kasus memang di takdirkan untuk menjadi cold case, beberapa memang tak bisa di pecahkan di zamannya. Bahkan bisa saja kejahatan tersebut di manipulasi oleh polisi," Hendra tersenyum sebelum memandangi papan kaca tersebut. Sang senior melanjutkan perkataannya sebelum Fajar bisa protes.

"Kalian baru bekerja sebagai detektif berapa lama?"

"Uhhh 3 tahun," jawab Anthony yang masih menatap Hendra tak mengerti.

"3 tahun huh, kalian belum melihat segala macam kejahatan yang ada. Tak semua kasus bisa kalian rasakan. Sedikit saran dari saya, kalau menangani kasus, jangan terbawa emosi, pikirkan langkah selanjutnya matang matang. Kalau kalian salah langkah, bisa bisa orang yang tak bersalah malah menanggung akibatnya," Hendra tersenyum tipis, sebelum ia bangkit dan kembali ke mejanya. Walaupun Hendra di tarik masuk ke tim investigasi kasus tersebut, namun masih ada pekerjaan yang belum ia selesaikan pada kasusnya yang ia serahkan ke detektif yang baru saja pindah departemen. 

Hendra berbeda 6 tahun dengan angkatan Fajar, hanya saja sebelumnya ia bekerja di luar kota sebelum di pindahkan ke kota tersebut. Hendra pernah menangani beberapa kasus yang berujung tak terpecahkan yang dikarenakan beberapa faktor. Salah satunya kesalahan seorang detektif senior yang mengambil keputusan karena emosinya terpancing.

*

Jonatan terbangun 2 jam kemudian, jam sudah menunjukan pukul 00.09. Pemuda itu merenggangkan tubuhnya, sebelum melihat ke kamar sebelah apakah Anthony sudah tidur atau belum. Fajar sudah menunggunya di depan mejanya dengan ponselnya sudah di miringkan dan earphone sudah terpasang di telinganya. 

Pemuda jangkung itu masuk ke pantry dan membuat 2 gelas kopi sebelum ia meletakkan salah satunya di atas meja Fajar.

"Main mulu," Jonatan menyesap kopinya dan duduk di kursi Rian yang kini kosong. Jonatan sendiri sudah menyiapkan switch miliknya untuk melewati malam yang panjang. 

"Jah, sama aja lu. Bawa console lagi kesini, tau gitu gue juga bawa," Fajar tertawa kecil dan berterima kasih pada Jonatan atas kopinya. 

"Emang boleh sama Rian hah? kan lu cuma boleh main hari sabtu minggu doang," Jonatan nyengir dan mendapat pukulan pelan dari Fajar.

"Sialan lu," 

Jonatan tertawa sebelum keduanya fokus pada game masing masing. Sebenarnya ada larangan dari Taufik kalau para detektif tidak boleh membawa console apapun ke kantor kecuali mereka memang sedang berjaga malam. Tapi biasanya para detektif akan bergantian tidur daripada bermain game, karena untuk mereka waktu tidur itu sangat berharga. 

"Btw Jo, tumben lu mau jaga shift malem. Biasanya gak mau," Fajar mematikan ponselnya setelah 1 jam terakhir ini bermain. Kopinya sudah dingin, namun ia tetap menyeruputnya pelan. 

"Kasian gue sama Onyk kalo disuruh shift malem terus," 

"Bocah bocah..." Fajar tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Heh mohon maap nih ya pak Fajar, lu umurnya cuma beda setahun doang sama gue," 

"Tapi gue dah nikah," Fajar menunjukan cincin pernikahannya dengan bangga yang tersemat di jari manisnya.

"Lu nya aja yang kebelet nikah," Jonatan memeletkan lidahnya seperti anak kecil. Keduanya memang suka bertengkar layaknya adik kakak, dan biasanya yang menengahinya kalau tidak Rian ya Anthony.

*

2 hari telah berlalu dari kasus ketiga. Malam itu tanggal 22 Juni 23.47. Lagi lagi Jonatan berjaga malam, hanya saja hari itu ia berjaga dengan Hendra. Keduanya asik dengan urusan masing masing. Hendra yang asik membaca buku Sherlock Holmes nya dan Jonatan yang sedang membaca ulang kasus mereka. Walau dalam tim itu Jonatan sebagai profiler, tetapi ia tetap seorang detektif.

Tak banyak orang yang sadar bahwa sebenarnya Jonatan itu jenius. Ia berhasil lulus dari akademi sebagai seorang detektif bersamaan dengan lulus sebagai profiler. Bahkan Anthony sendiri sebelumnya tak tau bahwa Jonatan seorang profiler hingga baru baru ini.

"Koh,"

"Hm?"

"Kalo misalnya besok ada korban lagi gimana ya?" Hendra langsung berhenti membaca dan menatap Jonatan.

"Omongan itu doa loh Jo, hati hati,"

"Iya koh. Cuma, kalau mengikuti pattern pelaku harusnya dia bakal beraksi lagi dalam waktu dekat,"

Tak perlu menjadi seorang profiler untuk melihat pattern itu. Yang Hendra butuhkan hanyalah pengalaman. Dan dari semua pengalaman itu, apa yang Jonatan katakan itu benar. Pelaku mereka akan melancarkan serangannya lagi kalau tak segera mereka tangkap.

"Kalau begitu, kita harus tangkap pelakunya sebelum ada korban lagi," ujar Hendra dan menutup bukunya. Ia tau, apa yang barusan ia katakan sangat susah untuk di lakukan.

"Mmmm... Betul sih, tapi kita gak punya petunjuk apa apa. Universitas yang menjadi tempat korban sekolah juga sangat susah dimintai daftar mahasiswa baru,"

"Besok kita bisa geledah universitasnya. Surat perintah penggeledahan besok keluar,"

Shuttle F-ing Cock one shot! (BxB) [Very slow update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang