"Suaramu itu menenangkan. Aku sangat suka."
♡♡♡
"Kakak ngapain di sini?"
Yah, pertanyaan bodoh, Sya. Aku merutuk dalam hati.
Ia tersenyum kecil, menunjukkan biolanya padaku. "Main."
Waktu aku melihatnya berada di ruang seni sehabis shalat dzuhur, aku langsung cepat-cepat menaruh mukenaku di laci tempat mejaku di kelas lalu kembali ke ruang seni. Semringah saat mendatanginya.
Tolong jangan tertawa ya, aku memang sudah menanggalkan rasa gengsiku.
Aku... ingin jadi bagian dalam kenangannya sebelum lulus.
Tidak apa-apa hanya sebagai adik pemain biola.
Tidak apa-apa hanya sebagai adik tingkat di sekolah.
Mengenalnya saja sudah cukup buatku. Lebih dari cukup.
"Mau tampil, ya?" Aku tersenyum.
"Gak tau, liat nanti deh."
Aku tidak menyahut. Mataku sibuk menjelajah karya seni yang terpajang tiap sudut dan dinding ruang seni.
"Gak jajan sama temen?"
"Gak punya temen," sahutku pelan.
Aku gak bohong. Untuk saat ini, orang-orang di kelasku hanya kuanggap sebagai kenalan.
"Berantem?"
Aku hanya mengangguk kecil.
"Temen emang kaya gitu, kadang."
"Kenapa?"
"Datang pas butuhnya aja."
Aku tersenyum. Dia bukan pendengar yang baik, tapi dia mengatur suasana hatiku dengan baik.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
52 Reasons Why I Love You
Short Story[LENGKAP] Sebenarnya, 52 alasan itu tidak cukup untuk menjelaskan mengapa aku mencintainya. Lebih dari 52 alasan. Asal tahu saja, sih. Dan lagipula, ini sesuatu yang konyol. Apa dia akan peduli? Apa dia akan membaca ini? Ah, sudahlah. Anggap saja...