"Apapun yang kamu lakuin, lakukan dengan ikhlas dan sepenuh hati."
♡♡♡
Aku mengetukkan ujung pulpen pada keningku pelan. Di sampingku, dia sedang membaca materi yang ingin ku tanyakan padanya.
Mukanya serius sekali, aku jadi tidak enak untuk mengajaknya berbicara, atau sekedar mengalihkan perhatiannya.
Aih, andai aku benar-benar memiliki alat untuk menghentikan waktu.
Aku ingin memandangnya lebih lama lagi.
Sekarang kami berada di perpustakaan. Setelah tadi berdebat kecil karena acara makan bersama yang gagal.
Batu
Jadi belajar gak?Anda
Jadi,Anda
Tapi lagi ngambek sama kakakBatu
😂Batu
Ayo na, kakak minta maaf dehBatu
😊Aku merengut. Bisa gak sih dia jangan pakai emoticon tersenyum seperti itu?
Sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku.
Aku menggigit bibir bawahku kecil saat kembali membaca pesan tersebut.
Yah, akhirnya aku luluh juga.
Lagipula sejak kapan sih aku bisa marah padanya dalam waktu yang lama?
"Jadi gini..." dia menyodorkan buku paket ke arahku.
Aku langsung mengalihkan perhatian lalu menatap deretan angka yang ia tunjukkan. Berusaha memahami walau otakku sekarang sedang tidak bisa diajak bekerja sama untuk mengerti materi tersebut.
"Caranya harus gini dulu, terus abis itu langsung gini deh. Udah, keluar hasilnya."
Aku mengangguk kecil. "Gitu doang?"
"Iya gitu doang. Tapi beda hal kalo hasilnya sama sama nol di atas sama bawah, itu harus pake cara yang faktorisasi gitu."
Ngerti sih.
Sedikit.
Susah juga ternyata belajar materi di atas ku.
Tapi dia menjelaskan dengan baik dan rinci. Sangat terlihat sekali ia mencoba menjelaskan dengan cara yang sangat sederhana.
Aku jadi kepikiran kalau dia cocok jadi guru.
"Ngerti?"
Aku mengangguk pelan.
"Berarti selesai ya." Ia menutup buku paket tersebut lalu mengembalikannya pada salah satu rak buku tempat ia tadi mengambil buku tersebut. "Omong-omong, kenapa Sya belajar materi kelas 11? Padahal masih kelas 10 loh."
Aku mengulas senyum tipis. "Kemaren ada yang nanyain materi itu sama Sya. Karena gak bisa jawab, trus penasaran juga sama materinya, makanya jadi minta ajarin sama kakak."
Ia hanya bergumam sebagai jawaban.
"Oh iya, mau kuliah apa nanti?"
Entah aku yang terlalu serius, selama ini pertanyaan 'mau kuliah apa?', atau 'mau ngapain ke depannya' itu selalu jadi topik yang menarik untuk dibahas menurutku. Aku bisa tahan berbicara mengenai hal tersebut dalam waktu yang lama entah kenapa.
Sayang, kebanyakan temanku akan merasa malas untuk berbicara denganku lagi setelah aku membahas topik itu.
"Gak tau, kayaknya psikologi. Kakak masuk jurusan fisika 'kan?"
"Iya." Ia kembali duduk. Menopang dagu sambil menatapku. "Kenapa milih psikologi? Yakin bener-bener mau masuk jurusan itu?"
Aku mengangguk kecil. Sedikit ragu.
Kenapa katanya?
Aku baru kali ini mendapat pertanyaan seperti itu.
Biasanya orang lain akan langsung menyeletuk, "oh nanti kerjanya di rumah sakit jiwa dong." Atau, "wah berarti nanti kamu bisa baca pikiran orang dong."
Tidak ada yang bertanya mengapa aku ingin mempelajari ilmu itu.
Dulu saat SMP aku bercita-cita menjadi seorang psikiater. Berniat untuk 'menyembuhkan' orang-orang yang psikisnya terlanjur 'rusak'.
Iya, dulu pikiranku sedangkal itu.
Dulu saat orang lain tahu cita-citaku, aku akan diejek akan jadi dokter orang gila. Padahal 'kan itu tidak sepenuhnya benar juga.
Tapi makin kesini, semakin aku beranjak dewasa. Aku berujung hanya ingin menjadi seorang psikolog.
Gak ada alasan berarti mengapa tujuanku tiba-tiba berubah.
Yang ku mengerti, penyakit mental sama mengerikannya dengan penyakit yang menyerang fisik manusia.
Penyakit mental tidak sepele. Tidak semuanya juga penyakit mental berakhir menjadi orang gila.
Tapi kadang, kebanyakan orang memilih acuh tak acuh dengan tanda-tanda penyakit mental yang orang sekitarnya tunjukkan. Gak sedikit saat mengetahui orang terdekat mereka divonis mentalnya terganggu, mereka akan langsung beranggapan bahwa orang tersebut diguna-guna, kena santet, kurang ibadah, kurang dekat dengan Tuhan.
Padahal tidak seperti itu.
Aduh kenapa pembicaraanku jadi melenceng jauh begini, sih.
"Jurusan apapun yang Sya mau, harus bener-bener yakin. Kuncinya, apapun yang Sya lakuin itu harus dilakukan sepenuh hati."
Aku tersenyum lebar, lalu mengangguk mengerti.
Ia berdiri setelah memakai tasnya. "Kakak gak niat mau ingkar janji. Tadi mau ngajakin makan, tapi uang kakak habis," ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku terdiam. Kenapa tidak bilang dari tadi sih kalau alasannya itu? 'Kan, aku jadi tidak perlu mengadakan acara ngambek padanya.
Dasar nyebelin!
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
52 Reasons Why I Love You
Short Story[LENGKAP] Sebenarnya, 52 alasan itu tidak cukup untuk menjelaskan mengapa aku mencintainya. Lebih dari 52 alasan. Asal tahu saja, sih. Dan lagipula, ini sesuatu yang konyol. Apa dia akan peduli? Apa dia akan membaca ini? Ah, sudahlah. Anggap saja...