KEJADIAN dirumah Abid sukses membuat Bilqis stres bukan kepalang. Bagaimana tidak, selama kurang lebih satu jam-eh, ralat. Satu setengah jam, setengah jam dihabiskan untuk adu mulut dengan adik Abid.
Namun, dibalik rasa stres yang mendera seisi kepalanya. Ada hal yang membuat Bilqis sedikit tersentuh. 'Maut tidak menunggu orang untuk bertaubat'.
Bertaubat dari segala macam maksiat. Singkatnya, meninggalkan hal buruk dan membiasakan diri menjadi lebih baik.
Dan kini hatinya mulai memberontak.
Ada sedikit sentilan yang mengusiknya hingga larut malam seperti ini.
Sampai kapan ingin bersenang-senang? Sampai maut datang bertamu, sementara 'tiket' belum punya?
Akh! Bilqis frustasi.
Hanya satu jam dalan pertemuan dan itu pun sekedar permulaan. Tapi kenapa hatinya begitu tertampar.
"Dari mana?" suara Arman menyentak Bilqis yang baru saja memasuki rumah.
"Rumah Febby." jawab Bilqis malas.
"Sampai kapan mau main-main terus?"
Bilqis mendengkus kesal "Aku lagi gak mau berdebat, Pi."
"Bukan itu jawaban yang Papi mau."
"Terus aku harus jawab gimana?"
Arman menghembuskan nafas berat "Sampai kapan kamu kaya gini, huh?"
"Pi, aku capek." setelah berujar Bilqis berlalu menaiki tangga. Sampai suara teriakan Arman menggema ditelinganya dan mau tidak mau membuat ia menghentikan langkahnya.
"Kamu benar-benar jauh dari kata membanggakan. Bisa tidak sedikit saja kamu contoh kakak mu itu?!"
"Aku ya aku, Pi. Kak Vino ya Kak Vino! Jangan pernah disama-samain!" Bilqis berteriak parau. Lalu berlari kencang menuju kamarnya.
Suara Arman tak lagi terdengar ditelinganya lagi, selaras dengan pintu kamar yang ia banting kuat. Sungguh ia muak dengan semua ini.
"Jadi kaya Kak Vino? Cih..." Bilqis berdecih dengan tangan terkepal sempurna.
Kini langkahnya menuju pintu yang menghubungkan kamarnya dengan area balkon. Suasana yang pertama kali ia temukan adalah kesunyian yang sangat pekat.
Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang dibawah sana, tidak banyak. Dua atau tiga mobil saja.
Sejujurnya, jauh di dalam sana, dalam hati kecil nya, ada sesuatu yang tersimpan rapih. Sesuatu yang dulu bersinar terang, namun seiring berjalannya waktu sinar itu meredup, seakan kehilangan cahaya.
Di dalam sana ada Bilqis dalam wujud lain, ada Bilqis dengan srnyuman yang tidak pernah pudar. Namun, Bilqis di dalam sana hampir tidak terlihat wujudnya sebab ada lilitan rantai hitam yang membelegunya. Rantai hitam yang hampir melilit habis dirinya, tapi, wujud itu masih tersenyum walau rantai itu hampir melilit lehernya, dalam senyuman itu seperti menyimpan pesan 'Aku takut sendirian'.
"Kenapa?" bisik Bilqis pada angin.
Tangannya meremas pinggir balkon yang terbuat dari baja hitam, "Kenapa harus gue yang ngerasain semua ini?!" ia menunduk dalam "kalian gak tau rasanya ditinggal sendirian, kalian gak tau rasanya niup lilin sendirian. Kalian gak tau rasanya jadi anak yang selalu liat orang tua nya saling maki! Kalian gak tau!"
Kini tubuhnya tumbang, ia memeluk tubuhnya yang sedikit gemetar akibat udara dingin yang menusuk tulang.
"Aku gak suka dibanding-bandingin. Aku ya aku. Orang lain ya orang lain. Aku gak bisa jadi orang lain," Bilqis mengepalkan tangan mungilnya sampai kukunya nampak putih pucat "aku ga bisa jadi kak Vino, Mi, Pi. Aku gak bisa,"
"Kalian gak pernah ngertiin gimana perasaan aku,"
Bilqis mendongak menatap bintang yang berkedip-kedip diatasnya.
"Apa ini masih disebut adil,...Tuhan?" Bilqis tersenyum miring.
* ** ** *
"Jadi Caca udah putusin mau sekolah disini?" tanya Milati, Mama Raka.
Caca yang sedang mengunyah makanan nya kontan mengangguk antusias "Iya, Ma."
"Udah punya pilihan?"
"Udah,"
"Dimana?"
Caca tersenyum riang "Sekolah nya Kak Raka, Pelita."
"Ukhuk!" Raka tersedak seketika. Milati dengan sigap menyudorkan air minum pada anaknya tersebut.
"Makannya pelan-pelan, Raka." tegur Bram.
"Iya, Pa."
"Gak pa-pa, kan kalo Caca sekolah ditempat Kak Raka?"
Belum sempat Raka menjawab pertanyaan tersebut, Milati telah lebih dulu angkat bicara "Ga pa-pa dong, malah bagus jadi ada yang jagain. Mama kamu juga udah nitipin kamu ke Mama."
Raka hanya bisa terdiam. Seperti ada yang salah, namun Raka tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dibalik semua ini Raka sedikit bahagia, sebab setelah sekian lama kini ia bisa duduk satu meja dengan keluarganya, meski tidak ada Leo disana.
Bicara tentang Leo, Raka rindu pada kakak tirinya tersebut. Akhir-akhir ini Leo jarang pulang kerumah, kadang dua hari sekali, kadang seminggu sekali. Bahkan pernah sampai tidak pulang berminggu-minggu. Sehingga membuatnya harus bertekar lagi dengan Mama nya sebab ia harus membujuk Leo untuk pulang, dan meninggalkan kegilaan nya dalam pekerjaan. Raka meringis kalau ia harus ada diposisi Leo yang selalu mendapat perhatian dari Mama kandung nya sendiri, sementara ia? Dianggap anak saja sudah sukur.
Raka menghembuskan nafas berat lalu bangun dari kursinya, nafsu makannya kini sudah menguap.
"Mau kemana?" tanya Milati.
"Cari angin,"
"Ikut!" Caca berseru heboh. Namun belum sempat Caca beranjak, Raka telah melesat pergi begitu saja. Dan teriakan Mama nya menggema memanggil namanya. Sudah Raka duga, kehadiran Caca hanya akan menambah beban untuk hidupnya.
Caca adalah Bencana untuk dirinya kini dan mungkin seterusnya.
- - * * * - -
Terimakasih sudah bersedia membaca, vote dan comment nya ditunggu. Kritik dan saran juga penting.
💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta
EspiritualHIATUS :') - - "Siapapun yang sudah kokoh berdiri pasti pernah merasakan jatuh dan ingin mati. Siapapun yang pernah tertawa lepas pasti pernah merasakan tangis yang teramat puas. Siapapun yang pernah berbahagia pasti pernah merasakan beratnya kecewa...