16] αku Nαrα

242 20 6
                                    

Sepanjang istirahat, nara menghabiskan makanan yang ia beli di kantin di atap sendiri. Menolak berjumpa dengan raka sepanjang hari. Meski mereka sekelas, nara menguhkan hatinya tentang janji itu. Bahwa kini keduanya adalah orang asing yang tak saling mengenal, tak pernah berjumpa, dan terakhir tak pernah mengisi hati satu sama lain.

Selesai makanannya habis. Cewek itu dengan gerakan yang hening mengeluarkan sebuah buku agenda dari saku roknya.

Yah, mungkin ini untuk pertama kali setelah beberapa tahun ia mencoba melupakan kebiasaan dirinya sewaktu kecil dulu. Ketika belum mengenal raka. Belum memiliki seorang sahabat. Maka sebuah buku diary lah yang menjadi satu satunya sosok mati yang mau menjadi alas bertumpunya.

Cukup kaku. Nara menulis segala keresahannya disana. Segala hal yang ia takutkan. Segala hal yang membuatnya terpuruk.

" dear diary,

Aku nara. Maaf mungkin jarang sudah bersapa hangat denganmu. Karna aku sudah menemukan sosok yang nyata seperti mu. Namanya raka. Dia sosok yang kujadikan diary. Dalam hati kupanggil ia my dear. Karna aku sayang dengannya.

Belakangan ini aku selalu merasa takut. Takut memilih jalan yang salah. Takut dengan orang orang yang sama seperti mama, papa, dan kakak. Karna bodohnya, sekarang aku memilih menjauh seolah tak mengenal siapa itu raka. Aku benar benar sendiri. Linglung memilih jalan dan meneroka perasaan.

Belakangan, aku merasa aneh jika berada di dekat raka. Hatiku berdesing seolah ingin berkata namun bisu. Seolah ingin melihat namun buta. Seolah ingin bergerak bebas namun apa daya sang empu terlalu pecundang untuk mengikuti kata hati.

Maaf kan saja. Aku memang tak pernah mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya. Karna sejak kecil, tak ada satupun yang mengajariku apa itu cinta. Kecuali, Raka. Namun kini ia telah kulepas untuk selamanya

Maaf "

Nara menutup buku agendanya. Mengusap sekumpulan cairan bening yang hampir lolos dari matanya.

Sungguh.

Ingin rasanya nara menyesali permintaannya. Tapi rasa takutnya selalu membayang, mengawasi, menakuti nara untuk berkata satupun pada raka sekarang.

Dulu, sejak kecil saat tak ada satupun orang di rumahnya yang mau menganggap dirinya. Menjadikannya pembantu meski masih kecil. Tanpa hati, memukulnya dengan sabuk jika melakukan kesalahan sedikitpun.

Ketika tanpa sengaja suara tangisan perihnya mengganggu sang kakak belajar, maka sabuk itulah yang kembali melayang menyakiti tubuh kecilnya. Merah, lebam, berdarah.

Kenapa sesulit itu mendapat cinta?

Baiklah, kali ini mari kita ber-nostalgia. Agar siapapun tau, betapa pedihnya hidup tanpa dianggap sedikitpun.

Dia nara kecil. Panggilannya dulu Razita. Bukan nara. Razita berlari menuju kamarnya—ralat lebih pantas disebut sebagai gudang dengan sebuah kasur kusam. Menggigit bantal sembari berteriak. Agar siapapun tak ada yang mendengar jeritan kesakitannya. Tubuhnya lebam. Sengaja razita memakai baju yang tertutup agar tak ada satupun yang menatap risih padanya.

Kala itu, tangannya berdarah. Karna kakak Laki laki nya—andre yang masih berusia 9 tahun memukul tangan adiknya dengan rol besi. Memukulnya tanpa iba. Baginya, menyakiti razita bukan masalah. Ia pembantu—kata mama papa begitu. Lagi pula mama papa nya tidak pernah protes sedikitpun.

ThirdLove [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang