34] Epilog.

427 30 15
                                    

Ini mungkin akan menjadi kertas terakhir.
Tempat terakhir aku menuliskan betapa kagum aku pada senyum itu.
Senyum yang mampu memudahkan keluh kesahku.
Senyum yang bagiku tidak pernah padam semenjak hari itu.
Hari dimana yang menurutku sial.
Akhirnya berada di penghujung kisah. 
Dengan aku, bersama perasaanku. Menginginkan raya. Lebih.

Hari itu, hari dimana awal kita bertemu di tengah lapangan.
Saat untuk pertama kalinya aku bertemu dengan manusia perhatian namun menyebalkan disaat yang sama.
Aku bahagia, hari itu takdir mempertemukan kita.
Menyelipkan kisah kita diantara lika-liku kehidupan.

Aku bahagia, meski hanya sesaat.

Tidak perlu raya tau, betapa sayang aku dengannya.
Betapa ingin, aku menyambut tangannya.

Tapi, pada akhirnya.
Sama seperti raka, aku harus rela melepaskan.

Dan untuk raya, terimakasih atas senyum manis mu.

¤¤¤


Hari ini, hujan turun deras. Sudah dua hari berturut turut hujan turun. Tapi untunglah, hari ini guntur tidak ikut turun.

Dan sekarang...sudah setahun semenjak nara yang melalui masa SMA nya. Juga sudah berpisah dengan cowok jangkung yang sempat mengisi masa-masa SMA nya itu selama sekitar 3 tahun. Dan dalam tiga tahun itu, belum ada yang bisa menggantikan posisi raya di hatinya.

Cowok dengan senyum manisnya yang mampu menghibur dan melindungi nara setiap saat.

Bodoh memang. Nara yang meminta berpisah. Nara yang meminta raya berhenti. Tapi nara, sangat merindukan sosok itu. Ingin menyaksikan senyumnya. Ingin direngkuh tubuh besarnya. Ingin dielus tangan halusnya.

Nara menunduk. Tersenyum getir lantas menyeka sudut matanya yang tiba-tiba berair hanya karna mengenang nama itu.

Raya pantas mendapat perempuan yang jauh lebih baik. Perempuan yang bisa membahagiakannya. Bukan perempuan yang justru mencoba membunuh diri, lantas kembali dengan keadaan cacat begini.

Bukan ini yang pantas untuk laki-laki sebaik Raya.

TING NONG

Nara menoleh saat bel rumahnya di pencet. Cukup malas beranjak dari kamar saat hujan begini. Tapi tak apalah, terlalu kurang ajar jika ia membiarkan mamanya membuka pintu.

Nara mendorong kursi rodanya menuju pintu. Lantas membuka pintu itu. 

Sedikit berdebar ketika membayangkan siapa dibalik pintu itu.

Namun nyatanya, hanya ada angin dan hujan yang menyambut nara.

"...raya?", panggil nara entah kenapa. Dia hanya merasa, sosok itu berada disini. 

Matanya jatuh ke sebuah kotak anti air dengan setangkai mawar merah yang diletak di teras rumahnya.

"raya..?", lirih nara kembali. Ia semakin memajukan kursi rodanya untuk melihat sekitar.

Nara menghela nafas pelan. Berharap apa dia? Tidak ada raya, hanya ada sebuah kotak anti air disini.

Dengan tangan gemetar, nara mengambil kotak itu beserta bunga mawar merah diatasnya. kemudian kembali menggerakkan kursi rodanya kembali ke kamar.

ThirdLove [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang