31] Aslinya Alicia

258 22 6
                                    

"argh! Anjing!!"

Praaanggg

Nafas alicia terengah engah. Kaca yang baru saja ia lempar berserakan dilantai. Tangannya bahkan berdarah saat menggenggam kaca itu terlalu kuat. 

Tidak ada yang bisa memahami alicia. Tadi, saat pihak sekolah memanggilnya ke ruang guru. Semuanya seolah tidak bisa dipercaya. Naya berbohong. Menjadikannya tersangka tunggal. Padahal semua ini.. Naya yang bilang akan baik-baik saja. 

Alicia meremas rambutnya frustasi kala mendengar ancaman kepala sekolah tadi.

"mengakulah dan meminta maaf secara kekeluargaan pada nara, atau jika tidak kamu terpaksa kami drop out".

Alicia menggeleng. Semua rencananya sejak kecil, akan hancur jika ia dikeluarkan dari sekolah itu. 

Tapi bagaimana caranya ia bertemu nara? Jika beberapa hari ini cewek itu menghilang? Lalu, jika sudah bertemu.. Apa alicia akan bertemu dengan bajingan tua itu juga?

Alicia menggigit jarinya cemas. Selama ini, bila bertemu layla—nara—ia selalu bertanya-tanya apa nara sudah melupakan dirinya? Sampai-sampai setiap hari pun nara tidak tampak teringat suatu hal kecilpun tentang masa lalunya. Saat mereka terakhir berjumpa ditaman. Nara sudah cukup besar untuk mengingat kakaknya, apa yang membuat nara lupa?

Tok tok tok

"ci, ini kak ella. Boleh masuk?".

Alicia menghela nafasnya pelan. Sedikit merapikan rambutnya yang kusut dan mengelap keringat dingin di dahinya. 

"boleh", kata alicia lemah. Cewek itu menegakkan punggungnya yang sedikit merosot.

Ella mendelik kaget saat melihat beling-beling kaca berserakan di sudut dinding kamar adiknya. Tapi buru-buru ia mengubah raut itu. Ia harus tenang menghadapi perubahaan sikap alicia.

"dek, kamu harusnya berhenti... Enggak boleh dendam sama saudara sendiri".

Alicia menatap sinis kakaknya itu. Lagi dan lagi, tidak ada yang bisa memahaminya. 

"kenapa sih kakak masih gak faham juga? Sekitar 13 tahun kita ditinggal sama mereka. Itu yang kakak bilang untuk berhenti?". sarkas alicia. Dengan santainya ia mengambil tisu untuk menghentikan pendarahan di tangannya. 

"maksud kakak, coba untuk ikhlas ci. Biarin mereka disana, biarin mereka bahagia, kita juga bisa baha—".

"INI YANG KAKAK SEBUT BAHAGIA?! INI? INI HAH?! RUMAH YANG MASIH HUTANG SANA SINI GINI? DENGAN MAMA YANG SAKIT JIWA BEGINI?!"

Ella terkesiap saat nada tinggi alicia. Hatinya sakit saat adiknya berteriak mengatakan mama mereka yang kini sakit jiwa. Itu kenyataan, tapi tidak untuk bisa diterima. 

"LAYLA HIDUP ENAK, TINGGAL DIRUMAH BESAR, DIRAWAT PAPA, MAKAN ENAK, TIDUR ENAK. KITA? TIAP HARI DIPUKULIN ORANG GILA ITU! CICI GAK BISA DIAM KAK!".

"udah dong ci.. Jangan teriak-teriak gitu. Nanti mama bangun, kamu mau dipukul lagi?".

Alicia berusaha mengatur nafasnya. Dengan lembut, ella menarik alicia kedalam pelukannya. Memberikannya ketenangan sesaat. Ia tau jelas, betapa berat hidup mereka tanpa seorang papa. Ditambah mama yang tiap hari meracau dan memukul tanpa alasan.

"jangan nangis ci, kakak akan selalu disamping kamu.. ". Lirih ella pelan. Mengusap lembut rambut berantakan adiknya. Mengecup lama kepala alicia yang akhirnya bisa sedikit lebih tenang. 

"kak.. Raka kak... Raka pergi, sama kayak papa dan dimas". Ujar alicia akhirnya dengan nada melemah. 

Ella menghela nafasnya singkat. Menepuk pelan pundak gusar adiknya. Memper-erat pelukannya.
"jangan dipikirin lagi ci... Ikhlas kan, itu kuncinya".

ThirdLove [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang