"...raya..."
Raya mengeratkan genggamannya. Berharap ia tidak salah dengar. Juga, semoga... Nara tidak memejamkan matanya kembali.
"ra? Nara?!". panggil raya dengan tangannya yang terus menggesek tangan dingin nara. Berusaha membuatnya sedikit hangat.
Buru-buru raya menekan tombol di samping bangkar nara. Lantas tak lama, dokter muncul dengan berbagai alatnya. Raya menunggu di luar. Bersamaan dengan raka yang menatapnya bingung.
"ray? Ray? Raya! Ada apa?!". desak raka tidak sabaran.
Nafas raya memburu. Cowok itu tersenyum haru. Matanya berbinar tidak menyangka. Bahkan, air matanya turut jatuh.
"nara... Kembali".
Raka melotot tidak percaya. Kedua tangannya membekap mulut. Ia tersenyum lebar, menatap penuh harap ke arah jendela kaca besar.
Raya duduk lemas. Jantungnya mencelos. Ia tidak pernah menyangka sebelumnya, nara... Tetap nara. Bahwa nara tidak akan pergi.
Dan sekarang, ia masih takut akan satu hal.
Tentang andre. Dampak kecelakaan. Dan tentang... Perasaan nara sendiri.
Baiklah, itu tidak terlalu penting. Yang penting sekarang adalah, nara kembali. Benar-benar kembali seutuhnya.
Beberapa menit. Dokter keluar dari ruangan. Dengan hiruk piruk semangat dan haru, raya berjalan cepat kearah dokter.
"gimana?". tanya raya.
Dokter itu tersenyum tipis. Mengusap pundak gagah raya. Ekor matanya juga turut menatap raka dibelakang raya.
"pasien sudah siuman. Dia bilang, dia ingin sekali bertemu dengan nak raka".
Deg
Senyum semangat raya pudar. Berganti dengan senyum getirnya. Ia menatap lelah ke arah raka yang memasuki ruangan nara dengan wajahnya yang merasa tidak pantas.
Tangannya jatuh seolah tanpa tenaga. Menatap miris ke arah nara yang menyatakan permintaan pertamanya yang mampu membuat kecewa dan meruntuhkan pertahanan raya.
Pantaskah raya merasa kecewa? Seolah olah pernyataan nara adalah penolakan kecil untuknya. Bukan ingin bertanggap negatif, tapi itulah perasaan aneh yang menyerbu diri raya. Seakan-akan ada batu yang menghantam hatinya hingga hancur.
Baiklah. Mungkin meski mereka sudah saling mengecewakan, persahabatan bertahun-tahun bagi nara itu belum hancur. Jadi, mungkin wajar nara meminta bertemu dengan sosok yang menemaninya sejak kecil.
Iya kan...?
Raya menggigit bibirnya pelan. Mengusap kasar wajahnya. Ia tidak boleh menangis. Seharusnya raya turut senang. Nara akhirnya siuman. Seperti yang selama ini ia inginkan. Tapi entahlah. Raya tidak boleh berfikir terlalu jauh. Mereka hanya berbicara biasa. Antar sahabat. Semoga.
Raya mengepalkan kedua tangannya. Duduk dalam diam membelakangi jendela kaca besar yang menampilkan raka yang tengah menangis.
Seharusnya, raya memang harus berani mengambil resiko dari jatuh cinta.
¤¤¤
Raya tersenyum tipis saat memasuki ruangan nara. Nara menatapnya dengan binar lemah. Wajahnya masih terlihat pucat.
"hai ra... Akhirnya lo kembali juga". ujar raya. Memilih duduk di samping bangkar nara.
Canggung. Sebelum akhirnya terdengar helaan nafas ringan nara.
"ray... Mungkin aneh kalau sekarang mendadak bicarain soal-"."rambut lo udah lumayan panjang lagi, lukanya masih sakit?".
Nara menatap wajah raya yang dihiasi senyum manisnya. Kedua alisnya terpaut. Sedikit merasa aneh ketika raya memotong ucapannya.
"udah gak sakit kok. Tapi kakinya aja yang masih kebas"."raya".
"hmm?".
"maaf ya, maaf sekali... ". ujar nara disertai senyum hambarnya. Menatap penuh penyesalan pada raya.
Raya menunduk. Tertawa kecil. Matanya menerawang kosong. Hatinya kembali mencelos mendengar kalimat nara.
"maaf selama ini udah ngerepotin kamu. Bilang sayang terus menerus seolah memberi harapan. Meminta lebih, padahal sendirinya tidak siap memberi hati. Dan sekarang... Setelah banyaknya kejadian yang diluar kendali, aku kembali. Tapi ini bukan nara".
Raya mendongak. Mendapati satu persatu kalimat mencekam nara. Apa maksudnya?
Dengan lembut, nara perlahan menarik satu tangan raya. Menggenggamnya hangat. Menyalurkan isi hatinya melalui sanjungan itu.
"ini bukan lagi nara, aku gak bisa. Gak bisa jadi apapun lagi. Gak bisa membuka hati lagi, untuk siapapun. Maaf.. ".
Blank. Helaan nafas raya kembali terdengar. Kali ini, jauh lebih terdengar putus asa.
Penolakan itu, amat jelas.
Sangat jelas sekali.
"kenapa..?".
Nara tersenyum kecil. Menggeleng pelan. Lantas tanpa mengucapkan sepatah kata pun, cewek itu memilih berbaring. Membelakangi raya yang tengah menatapnya kosong. Nara menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuh.
"pulanglah..".
Raya masih diam. Kukuh di tempatnya untuk tidak pergi meninggalkan nara sedikitpun. Ia tidak mungkin meninggalkan nara dalam kondisinya yang rapuh.
"gue gak bakal berhenti, ra. Rasa sayang gak bisa hilang secepat itu. Gue gak bisa ninggalin gadis se sempurna lo. Cukup sampai lo yang minta gue berhenti".
Perlahan. Ditengah keheningan. Raya bisa mendengar isak tangis nara dibalik selimutnya.
Hingga akhirnya, kalimat terakhir dengan nada bergetar cewek itu mampu meluluh lantahkan seluruh hati raya.
"kalau begitu, aku minta kamu berhenti".
Tamat sudah.
Tidak ada penolakan.
Raya benar-benar harus berhenti, sekarang juga.
"baik-baik ra. Gue berhenti sekarang. Cari cowok yang lebih baik dari gue. Tapi tolong, jangan lupakan perasaan gue sama lo. Gue sayang sama lo".Raya perlahan melangkah. Mendekati bangkar nara. Dengan lembut, dikecupnya lama rambut halus nara.
Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat jelas bagaimana setiap tetes air mata nara jatuh melintasi pipi pucatnya.
Raya menghela nafas pelan. Dengan langkah lemah, ia perlahan keluar dari ruangan nara. Pintu ditutup. Raya benar-benar pergi. Dan mungkin, tidak akan kembali.
Nara membuka selimutnya. Ia terisak kuat. Berteriak pilu. Meremas kedua tangannya yang baret. Sungguh, detik ini ia merasa amat hancur. Harus merelakan orang yang amat ia sayangi. Demi kebaikan raya sendiri. Rasa bersalah menyerbu diri nara. Ia ingin sekali mengatakan dengan lembut pada cowok itu, betapa sayang ia dengan raya.
Raya yang membawa warna dalam kehidupan nara. Raya yang membagi senyumnya. Raya yang memberi perasaannya.
Ia tidak bisa meminta raya tetap bersamanya. Ia harus merelakan raya. Sama seperti ia merelakan raka. Nara tidak bisa memaksa siapapun tetap berada di sisinya.
Biarkan semua orang pergi. Meski sakit. Amat sakit.
[]
.PART TERAKHIR AKAN DI PUBLISH BESOK
KAMU SEDANG MEMBACA
ThirdLove [END]
Teen Fiction-Resiko jatuh cinta ialah jatuh- Sama-sama dimulai dari masa lalu, Nara dan Raka bertemu. Mungkin bagi Raka, Nara memang seorang sahabatnya saja. Tapi bagi Nara, Raka berbeda. Laki-laki itu spesial. Kemudian saat mereka sama-sama beranjak dewasa...