Restu

872 64 9
                                    

Suasana dalam ruang rawat itu menjadi tegang. Belum ada satu pun dari kedua anak muda itu membuka suara. Detik terus berlalu hingga sepuluh menit lamanya. Kevin hanya mampu duduk terdiam di atas ranjang rawatnya ditemani Marcus yang berdiri disisi kirinya. Tangan keduanya saling menggenggam mencoba memberi rasa nyaman satu sama lain. Tatapan tajam dari Papanya membuat nyali Kevin menciut, lidahnya menjadi kaku dan saraf uratnya menegang sampai kekepalanya membuatnya tak bisa berpikir dengan baik dan hanya bisa terdiam.

Apa mereka takut? Tidak sepenuhnya. Kata itu hanya berlaku untuk Kevin, tidak untuk Marcus. Seperti yang sudah pernah dia bilang sebelumnya, Marcus sudah berani mengencani salah satu putra dari keluarga Sukamuljo, maka dia juga akan berani menghadapi segala konsekuensinya. Masalah orangtua Kevin akan merestui mereka atau tidak, Marcus akan berusaha merebut hati mereka untuk mendapatkannya.

"Kenapa cuma diam? Apa kalian sudah kehilangan mulut untuk bicara?" Papa Kevin menatap nyalang pada Marcus, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Marcus tidak menunduk ataupun berpaling dengan berani dia menatap lurus sepasang mata yang serupa dengan milik kekasihnya itu. "Jelaskan pada orangtua yang bodoh ini. Kenapa kalian bisa berada di kamar mandi berdua, sayang sayangan dan pegang pegangan tangan pula." Ucapnya keras penuh emosi.

Anak muda yang lebih dewasa itu menarik napas panjang, genggamannya ditangan kekasihnya mengerat, membuat pemilik mata bulat itu menoleh padanya. Marcus memejamkan mata untuk memantapkan hatinya, mencoba menyemangati dirinya sendiri untuk berani mengungkapkannya.

Ketika mata sipit itu kembali membuka. Sorot matanya kini lebih berani seolah tidak takut pada apapun yang akan menghadangnya. Dia siap untuk mengakuinya.

Sambil mengeratkan genggamannya ditangan Kevin, dia berucap. "Maafkan saya. Saya mencintai putra Bapak."

Kalimat itu seperti cemeti bagi orangtua Kevin.

"Saya jatuh cinta pada Kevin sudah sejak lama. Karenanya saya selalu berusaha untuk selalu berada didekatnya, mencoba merebut perhatian dia dan berusaha untuk mengambil hatinya."

"Apa kalian menjalin hubungan spesial?" Suara Mama Kevin bergetar menahan tangis.

"Ya. Maaf kan kami menyembunyikannya dari kalian." Ungkapan Marcus membuat Mama Kevin menangis.

Hati Kevin sakit melihat wanita yang telah melahirkannya menangis, bukan tangis haru tatkala dia mencapai prestasi tinggi melainkan tangis kekecewaan bercampur kesedihan ketika mengetahui sang putra memiliki kelainan seksual. Wajah Papanya menjadi keras menahan amarah.

"Ma.."

"Seneng kowe lek weruh Mamamu nangis?"

Kevin menggeleng cepat menyangkal sergahan dari Papanya. Tenggorokannya tercekat, matanya sudah memanas ingin mengeluarkan cairan beningnya.

"Om...

"Diam kamu." Bentak Papa Kevin pada Marcus. "Lepaskan anakku." Matanya menatap nyalang tangan Marcus yang mengikat tangan putranya.

Tidak. Marcus tidak bisa menurutinya, biarpun Papa Kevin hanya memintanya untuk melepaskan pegangan tangannya. Maka ketika Kevin menarik tangan darinya, dia semakin mengeratkan genggamannya.

"Saya tidak bisa Om. Kevin adalah hidup saya, jika Om meminta saya melepaskan Kevin, saya akan kehilangan hidup saya."

"Menjijikan." Papa Kevin mendesis. "Kamu pikir hubungan ini sehat? Bagaimana pun juga kalian tidak akan pernah bisa bersama. Laki-laki pasangannya harus dengan perempuan bukan sesama jenis, Tuhan sudah menggariskan semuanya. Tuhan pun akan menentang kalian."

"Lalu apa bedanya Pa." Mata tajam Papa Kevin bergulir menatap putranya. "Bukankah aku ditakdirkan seperti mereka? Kenapa aku seorang laki-laki harus memiliki rahim? Dan ditakdirkan bisa mengandung. Bukankah aku sama saja seperti perempuan?"

HELLO, BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang