ni jū - kyu

54.7K 5.3K 276
                                    

Sorry baru update, baru sempet ngetik. Kemarinan sibuk banget, lalu tiap buka wattpad bawaannya malah pengen baca, bukannya ngetik.

Fresh from oven.

Sorry for typos

Enjoy..

-----------------------------------

Ayu pernah ke apartemen Sigit sebelumnya, tapi tidak pernah bersama Sigit. Dan saat ini, saat Sigit menggandengnya masuk ke dalam unitnya yang tipe studio itu, Ayu jadi merasa canggung.

"Kamu mau ngapain dulu, atau mau langsung tidur aja?" tanya Sigit sambil bergerak membuka pakaiannya, setelah memastikan pintu terkunci.

Ayu sontak menjerit kaget.

"Kamu ngapain buka baju??"

"Mau mandi. Kenapa? Kamu kayak nggak pernah lihat aku telanjang dada aja."

Wajah Ayu memerah, mengingat kejadian di Jepang waktu itu, yang rasanya terjadi sudah lama sekali.

Tapi saat itu dia mendapat pemandangan dada dan perut Sigit yang seperti papan cuci, hari ini dia mendapat pemandangan punggung Sigit yang membuatnya justru ingin menangis.

Ayu tanpa sadar bergerak mendekati Sigit yang sedang memunggunginya, lalu menyentuh bekas luka memanjang di punggung Sigit. Tidak hanya satu, tapi berpuluh-puluh, dan tumpang tindih. Semuanya sudah mengering - jelas sekali bekas luka lama, tapi Ayu tahu, kalau itu pasti sakit sekali. Di beberapa bagian bahkan terlihat cekung - seperti terluka parah dan tidak diobati dengan semestinya - menandakan betapa dalam luka itu dan membekas, tidak bisa pulih.

Sigit tersentak saat merasakan jemari Ayu menyentuh punggungnya yang telanjang, dan berbalik, menemukan Ayu yang mendongak menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Itu- bekas dari kecil?"

Sigit mengangguk pelan, dalam hati merutuk. Padahal selama ini dia selalu berhati-hati supaya tidak menunjukkan punggungnya pada orang lain, tapi dia lupa. Bahkan pada pacar atau partnernya dulu, Sigit selalu menghindarkan tangan mereka dari punggungnya. Dia tidak pernah membelakangi lawan bercintanya, dan tidak pernah tidur tengkurap. Menunjukkan punggungnya berarti menunjukkan kelemahannya, dan Sigit membenci itu. Sama besarnya dengan kebenciannya pada orang yang terpaksa dia panggil Ayah, yang menorehkan semua luka itu di punggungnya.

Mungkin habis ini Ayu jadi takut dengannya, yang punya banyak bekas luka menjijikkan seperti itu.

Namun Sigit kembali tersentak saat Ayu memeluknya erat.

"Yu-"

"Aku nggak ngerti lagi gimana bisa ada orang sekejam itu! Jahat banget! Untung sudah mati!"

Sigit melongo mendengar kata-kata Ayu, dan terkekeh geli. Dia benci dikasihani, tapi entah mengapa kata-kata Ayu justru membuatnya senang.

Ayu mengangkat wajahnya dengan pandangan kesal dan merajuk.

"Kok kamu malah ketawa??"

"Ya, kamu malah ngata-ngatain orang yang sudah mati. Aneh banget."

"Biarin aneh! Habisnya jahat banget! Pasti sakit banget ya?"

"Dulu. Sekarang sih nggak."

"Harusnya kamu dulu nyari kak Seto! Minta perlindungan!"

Sigit terbahak. Ayu yang sedang marah-marah sambil menangis karena luka yang dia derita, terlihat begitu menggemaskan di matanya. Ayu jarang menunjukkan kepeduliannya seperti ini, dan setiap kali Ayu menunjukkan emosinya, Sigit merasakan dadanya mendesir.

KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang