Mimpi

2.1K 119 11
                                    

"Bocah gendut.. jelek.. uuuu.."

"Fayra gendut.. genduut.. kayak sapi!"

"Hahahaha..."

Suara-suara berisik itu bikin aku kesal sampai ingin menangis. Aku menutup telingaku sambil berjalan dengan langkah cepat-cepat. Aku tahu tanpa harus menoleh, tiga bocah cowok berkepala plontos itu berjingkrak-jingkrak sambil menertawakanku dan teriak-teriak kata-kata menyakitkan itu. Kata Ibuku, mereka hanya bercanda, namanya juga anak kecil. Tapi... bukankah anak usia 10 tahun harusnya sudah bisa membedakan hal jahat dan hanya bercanda?

Aku sebal! Sebal sekali! Rasanya ingin marah karena sakit hati. Hampir setiap hari di kelas aku mendengar ejekan mereka. Di kelas bisa lebih parah lagi, jika satu anak sudah mulai mengejek yang lain akan ikutan. Kedengarannya sepele, kan? Tapi sungguh... ini menyakitkan, lho!

Aku berjalan lebih cepat rasanya ingin cepat sampai ke rumah saja, masuk kamar, lalu menangis sampai lega, menunggu ibu dan ayah pulang kerja lalu memeluk mereka nanti malam. Sampai-sampai, aku tidak melihat batu yang ada di depanku. Aku tersandung. Jatuh.

Tubuh gemukku sepertinya berdebum saat membentur tanah, nungging. Lutut dan telapak tanganku terasa perih sekali karena menahan beban tubuhku dan tergesek aspal terotoar. Air mata yang sejak tadi kutahan setengah mati pun tumpah, sebagai akumulasi rasa sakit, kesal, malu, marah!

Dengan wajah kusut aku menoleh ke tiga bocah itu. Mereka bukannya diam dan merasa kasihan padaku malah semakin berteriak-teriak menyebalkan melihat aku yang menangis. Rasanya ingin sekali berteriak protes dan marah-marah. Tapi, suaraku tidak mau keluar, tercekat, tenggorokanku sesak karena kesal.

"HOIIII!" batu-batu kerikil kecil melayang ke arah tiga bocah plontos itu. Aku menoleh ke arah belakangku. Seorang anak perempuan seumuranku berdiri sambil berkacak pinggang, wajahnya yang mungil menampakan rasa marah. "AWAS YA KALAU KALIAN GANGGU FAYRA LAGI!! KUADUIN KE KEPALA SEKOLAH!"

"Sasa...." Gumamku, melihat wajah sepupuku satu-satunya. Anak dari adiknya Ibuku. Nalisa, anak perempuan cantik dengan tubuh mungil. Keluarga sampai orang-orang yang bertemu di pinggir jalan pasti memuji dirinya yang cantik jika bertemu. Dan tentu saja mengabaikanku. Ya, dia sempurna sejak lahir, dia tidak pernah merasakan diejek yang rasanya sampai pengin mati sepertiku. Aku membuang napas panjang. Antara lega tapi juga....

"Ayo, Ra, Bangun! Pulang sama-sama, yuk." Nalisa mengulurkan tangannya padaku. Aku bergeming dan buang muka. Aku berdiri sendiri. Tapi kemudian terjatuh lagi karena lututku terasa sakit. Berdarah. Aku menangis. Nalisa kebingungan.

Aku mengerjapkan mataku melihat sekitaran. Lagi! Kapan aku bisa terlepas dari mimpi-mimpi sialan itu, Tuhan? Sudah tiga belas tahun sejak hari itu... ah, mungkin lebih....

Aku memijat-mijat tengkukku yang sakit alih-alih lutut. Aku sudah berada di bawah tempat tidur dengan posisi yang aneh. Setiap mimpi buruk, aku seringkali jatuh dari tempat tidur. Bersebelahan dengan guling yang sepertinya lebih langsing daripada diriku.

Aku membuang napas sebal.

Ya benar, bagi sebagian orang mungkin kenangan masa kecil itu indah. Nalisa pasti salah satu yang merasakan hal itu. Pengecualian bagiku. Kenangan masa kecil adalah hal terkelam dalam hidupku. Ejekan, hinaan, rasa sakit hati, semua terkumpul dalam satu kotak besar yang tersimpan di sela-sela bilik otakku.

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang