Tok... tok...
"Mbak, Fay, ada di kamar ndak?" suara Mbak kos membuatku beringsut dari kasur, mengurungkan niat untuk tidur siang.
Aku membuka pintu kamar, "Ada apa, Mbak?"
"Ada tamu, Mbak, nunggu di teras?"
"Siapa?"
"Duh, saya lupa tanya namanya. Mbak, saya sedang goreng tempe, saya balik ke dapur dulu, ya. Takut gosong." Mbak Sutmi terlihat terburu-buru menuju ke arah dapur pemilik rumah yang ada di bangunan sebelah.
Aku tertegun sebentar.
Tamu? Sejak hampir satu tahun tinggal di kos ini, tamuku satu-satunya hanya Nalisa. Dan dia tidak mungkin memilih menunggu di teras, pasti akan langsung masuk tanpa sungkan ke kamarku. Aku mendesah pelan. Jika aku berpikir lebih lama tamu yang entah siapa itu bakal menunggu lebih lama lagi.
Tanpa kuminta jantungku berdebar, secuil pikiran konyol muncul di kepalaku. Bagaimana kalau tamu yang dimaksud Mbak Sutmi adalah Lingga. Aku tertawa kecut. Pastinya tidak mungkin! Tahu dari mana dia alamat kosku? Menghayal!
Aku membuka pintu utama rumah kos. Seorang wanita duduk di kursi rotan yang berada di teras.
"Mbak Tina?" aku menyapa dengan intonasi bingung dan kaget.
"Ra. Jadi betul kamu kos di sini?" Mbak Tina yang tadi sedang menekuri ponselnya menatapku.
Aku mengangguk seraya menghampiri Mbak Tina. "Ada apa, Mbak? Ada yang urgent?"
"Nggak sih, aku tadi habis ada urusan di dekat sini. Aku ingat, Nalisa pernah kasih aku alamat kos kamu. Karena kebetulan lewat aku jadi mampir. Nggak ganggu, kan?"
"Oh, nggak sih, Mbak." Aku menggaruk kepalaku. "Kupikir ada yang penting sampai Mbak Tina datang ke sini."
"Kamu lagi sibuk?"
"Nggak sih," aku menggeleng pelan.
"Sip. Temani aku makan kue, yuk? Waktu itu kan nggak jadi karena tokonya sedang direnovasi." Senyum Mbak Tina merekah sambil merogoh tas tangannya, "Aku dapat dua kupon diskon dari Lingga, ada promo gitu selama satu bulan pembukaan kembali. Satu kupon katanya dia titip untuk dikasih ke kamu." Mbak Tina menunjukan dua lembar kertas berwarna merah dengan logo Toko Kue Matahari yang kubuat.
Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering seketika mendengar nama Lingga. Dia masih ingat padaku?
"Sekarang, Mbak?" tanyaku memastikan.
Mbak Tina menatapku dari atas kepala sampai kaki, "Setelah kamu ganti baju, gimana?"
"Hehe... iya, Mbak. Masa aku ke toko kue itu pakai piyama?"
"Haha... Oke, kutunggu di sini, ya!"
Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar kos untuk mengganti pakaian. Wajah Lingga mulai mondar-mandir dalam ingatanku. Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Tadi aku benar-benar senang saat Mbak Tina bilang Lingga menitipkan satu kupon diskon untukku. Bukan, bukan karena aku ketularan Nalisa yang suka diskon. Aku hanya senang karena Lingga masih ingat padaku.
Aku membuka lemari kayu satu pintu yang tidak terlalu besar. Terdiam hampir setengah menit. Aku merasakan sesuatu yang jarang kurasakan. Bingung memilih pakaian. Pakaianku kan modelnya mirip-mirip semua. Bagaimana aku bisa bingung? Aku juga tidak mengerti. Kaos big size, kardigan polos lengan panjang dan jeans warna gelap, hanya itu yang memenuhi isi lemariku. Oh ya, ada beberapa kemeja polos yang biasanya kugunakan untuk bertemu klien atau ketika datang ke kantor Mbak Tina.
Aku menggaruk kepalaku. Harusnya aku punya beberapa pakaian yang lebih menarik untuk dipakai ke acara khusus seperti ini. Eh, barusan aku bilang apa? Acara khusus? Apa-apaan sih. Aku menjitak kepalaku sendiri agar segera sadar dan keluar dari khayalan receh barusan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomanceAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...