Aku Di Sini

532 66 2
                                    

Hari ini tiba, Minggu, hari di mana Nalisa akan berpura-pura menjadi Rara. Gadis yang hidup dalam foto di Instagram, gadis yang berhasil menarik perhatian Lingga. Gadis yang sebenarnya adalah aku.

"Ra, gaya pakaian Rara kayak gini?" Nalisa di kamarnya, masih bercermin sejak beberapa menit lalu. Mengenakan kemeja flanel kotak-kotak warna hitam putih.

"Memang gaya pakaiannya kasual. Beberapa foto yang kuposting ya begini." Aku duduk di kasur Nalisa memandanginya yang entah butuh berapa lama lagi untuk bercermin.

"Gimana kalau Lingga tahu kita bohongin dia?" Nalisa menoleh ke arahku, matanya mulai tampak ragu. Aku bangun dan menghampirinya.

"Nggak, kok, kamu kan jago akting. Nggak akan ketahuan." Kataku sok optimis. Padahal aku sendiri tidak mengerti benar, bagaimana perasaanku saat ini. Aku takut ketahuan, tapi merasa senang jika Lingga sadar bahwa Nalisa bukanlah Rara.

"Sejak kapan kamu optimis gini?" Nalisa menyipitkan matanya menatapku.

"Udah yuk, buruan berangkat nanti keburu malam." Aku mengambil kamera yang kutelakkan di meja samping tempat tidur Nalisa, mengalungkan kamera DLSR milikku ke leher Nalisa. "Pura-pura memotret apa pun di dalam tokonya, ya. Caranya sudah kuajari kan sejak kemarin malam."

Nalisa membuang napas, "Huh! Ngapain sih aku harus ikutan bohong?"

"Kamu sudah janji mau bantuin aku, Sa." Kataku sambil memasang wajah memohon, takut Nalisa tiba-tiba berubah pikiran.

Kami sudah mengobrol hampir sepanjang malam kemarin untuk menyiapkan hari ini. Aku mencoba memprediksi apa saja yang akan ditanyakan Lingga pada "Rara" di pertemuan mereka, berdasarkan DM-DM yang sering Lingga kirim padaku selama ini. Kami menyiapkan jawaban supaya Nalisa bisa berakting sebagai Rara dengan baik.

Kuharap semuanya berjalan lancar. Setidaknya hanya perlu satu kali pertemuan. Setelah itu aku akan menolak jika Lingga meminta Rara untuk bertemu lagi.

**

Aku dan Nalisa sudah berada di depan Toko Kue Matahari, dadaku berguncang tak keruan. Nalisa tampak lebih tenang dariku. Nalisa membuka pintu toko Kue Matahari, lonceng di atas pintu itu berbunyi menyambut kami berdua.

Aku sengaja mengajak Nalisa datang di atas pukul tujuh malam, ketika toko Kue Matahari menjelang tutup dan cenderung sepi. Penjaga toko juga biasanya sudah pulang setelah pukul tujuh malam. Biasanya toko Kue Matahari akan benar-benar tutup pukul delapan atau setengah sembilan malam. Itulah yang kutahu karena sering sekali mampir ke sini sejak lama.

Lingga sedang mengelap etalase toko dan merapikan beberapa potong sisa kue agar tertata lebih rapi, menoleh ke arah pintu. Pandangannya tertegun sejenak ke arah kami. Kemudian dia tersenyum ke arahku.

Seperti yang kami siapkan, Nalisa segera memulai aktingnya. Dia menuju ke setiap sudut toko dan membidikkan kamera. Lingga mengernyit menatap ke arahku dan ke arah Nalisa yang sedang sibuk mengambil foto di sekitar rak berisi roti-roti.

Aku berjalan ke arah etalase, siap memesan kue. Lingga menunjuk ke arah Nalisa sambil menatapku seolah bertanya 'dia siapa' aku hanya menanggapinya dengan senyum sekilas.

"Kamu mau kue apa?" tanyaku kepada Nalisa.

"Hm... yang paling enak saja." Jawabnya, lalu menyudahi akting memotretnya dan menghampiriku ke dekat etalase kue. Pandangan Nalisa beralih kepada Lingga yang juga sedang menatapnya, "hai," sapa Nalisa terasa begitu lancar dan natural di mataku.

"Hai, temannya Mbak Fayra?" tanya Lingga sopan.

"Aku sepupunya." Jawab Nalisa sambil menggibaskan rambutnya sedikit.

"Ah, apa kita pernah ketemu sebelumnya?" Lingga sepertinya tidak butuh waktu lama untuk langsung tertarik pada Nalisa. Aku menelan ludah karena setiap kali gugup tenggorokanku terasa kering.

Lingga lupa menanyakan kue yang ingin kupesan karena sudah terlalu fokus pada Nalisa.

"Mungkin. Menurutmu?" sahut Nalisa dengan gaya yang mempesona.

Rasanya aku ingin pergi sekarang juga dari sini. Rasanya seperti botol bekas air mineral kosong yang tidak berguna. Kuakui, memang image Rara di Instagram sedikit mirip dengan Nalisa. Maksudku, bentuk tubuh yang aku edit sedemikian rupa. Karena bagiku, tubuh Nalisa adalah bentuk sempurna yang selama ini paling dekat denganku, jadi lebih mudah kuaplikasikan ke dalam editan foto.

"Ah, saya pernah lihat di iklan handphone seri terbaru, itu kan?" Lingga tertawa kecil dengan gaya yang ramah. "Tapi... rasanya kamu mengingatkan saya dengan seseorang." Suara Lingga menggantung, "Apa mungkin... kamu Rara?"

Nalisa tersenyum mengiyakan.

Lingga tertawa pelan, "benar kan, aku bisa mengenalimu, Rara?"

Ada kembang api yang meluncur dari dalam kepalaku dan meletup-letup dengan berisik di atas kepalaku sekarang. Aku tidak tahu harus senang atau tidak senang. Lingga bohong! Dia tidak bisa mengenaliku....

Oh, Tuhan, perasaan apa ini? Aku sendiri tidak mengerti.

Selanjutnya, seperti yang aku dan Nalisa rencanakan. Setelah Nalisa mengaku sebagai Rara, mereka langsung tampak akrab. Kami bertiga duduk di meja yang sama. Nalisa dan Lingga mulai berbincang-bincang ringan semacam perkenalan kedua setelah di DM Instagram. Sesekali mereka saling melempar pujian sederhana. Aku merasa seperti alien!

"Aku masih benar-benar nggak menyangka, Rara adalah Nalisa yang sering wara-wiri di iklan TV." Lingga terkekeh, tampak bahagia.

"Begitulah, Rara adalah pelarianku dari kehidupan nyata yang kadang membosankan. Aku suka fotografi sebagai hobi." Nalisa tak henti tersenyum sambil mengobrol bersama Lingga. Aku hanya mengamati mereka berdua sambil mengunyah kue, menahan perasaan tidak enak yang bergejolak di hatiku.

"Harusnya aku sudah curiga, karena di akun Instagram itu kamu beberapa kali memposting foto Nalisa. Walaupun di caption kamu bilang, kamu hanya mengidolakannya. Haha... kamu narsis juga ya?" ucap Lingga.

"Ya, aku narsis, sedikit kok. Hehe... Oh ya, rumahku juga sebenarnya dekat sini. Sejak kecil aku sering mampir ke toko kue ini, lho. Waktu itu, ayahmu yang ada di toko. Aku suka sekali... hm... roti isi ayam yang harganya seribu." Nalisa bicara dengan cara yang menyenangkan. Itu bukan Nalisa, tapi aku... aku yang suka membeli roti isi ayam.

Mata Lingga tampak membulat, rona wajahnya bahagia. "Oh, ya? Ah, haruskah mulai sekarang aku membuat roti isi itu dan menjualnya lagi?" tanya Lingga.

"Ide bagus!" Nalisa menjawab sambil menjentikkan jari.

Aku sudah menghabiskan kueku. Kebetulan mereka berdua sedang terdiam, aku mengambil kesempatan ini untuk pamit. Rasanya hatiku sudah tidak kuat berada lebih lama di sini.

"Ra... ra..." ucapku agak kaku. Nalisa menoleh sambil tersenyum ke arahku. "Aku pulang duluan ya, masih ada kerjaan yang deadline-nya besok. Kamu di sini dulu saja." Ucapku menepuk pundak Nalisa dengan tatapan memohon.

Nalisa melepaskan napas pelan, "Oke, aku menyusul nanti."

Aku bejalan keluar toko kue dengan perasaan campur aduk. Aku sempat menoleh ke arah pintu kaca, memandang ke arah kursi tempat Lingga dan Nalisa duduk berhadapan. Mereka masih tampak asyik mengobrol sambil saling berbalas tawa.

Aku menarik dan menghela napas panjang dua kali, kemudian berbalik dan meninggalkan toko kue ini dengan langkah cepat-cepat. Hatiku sakit sekali. Air mataku meleleh begitu saja tanpa bisa kutahan.

***

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang