Udara yang Baru

620 74 0
                                    

"Mbak Tina belikan kita pizza, dalam rangka apa nih? Pekan lalu kan kita habis ditraktir makan enak di restoran untuk launching majalah. Wah, jangan-jangan ini sogokan untuk kerjaan lebih banyak." Dino menyantap pizza yang baru saja sampai di antar oleh OB ke dalam kantor. Mulutnya penuh kunyahan pizza tapi tidak juga berhenti bicara.

"Sebenarnya, itu dariku. Ucapan terima kasih." Ucapku sambil berdiri di sebelah Dino.

Semua mata di ruang kerja menatapku bersamaan.

"Kamu ulang tahun, Ra?" tanya Bima dari meja kerjanya.

Aku menggeleng, "Bukan, ini hari terakhir aku jadi pegawai kantor ini." Ucapku sambil mengulum senyum. Ada rasa tidak rela yang tidak pernah kuduga bisa kurasakan. Walaupun hanya dua bulan bekerja bersama mereka rasanya aku merasakan kedekatan yang dalam dan berkesan.

"Eh, serius? Kenapa, Ra?" Kika berdiri dan segera menghampiriku.

"Mbak Tina sudah dapat redaktur pracetak yang baru. Pastinya lebih kompeten dari aku, hehe.... Aku juga kan di sini sejak awal memang cuma untuk pengganti sementara selama sebulan. Karena beberapa hal, aku malah sudah di sini dua bulan. Nggak berasa, ya... sudah waktunya aku berhenti." ucapku sambil menahan sedih namun tetap tersenyum.

"Yah, kok gitu sih? Aku sedih nih, Ra...." Kika merajuk sambil memeluk tubuhku.

"Walaupun cuma dua bulan, aku banyak belajar dari kalian. Makasih karena kalian baik sekali." Ucapku tulus. Semuanya menatapku, aku refleks menunduk, tidak berani menatap satu per satu wajah teman kerjaku ini. Aku bisa tiba-tiba menangis karena sedih dan haru.

"Duh, gigit pizza jadi berasa ada sedih-sedihnya gitu, nih," Dino memasang wajah pura-pura menangis sambil menatapku. Membuatku jadi tersenyum.

"Aku senang banget kenal kalian, sungguh." Ucapku, suaraku mulai bergetar menahan sedih. Sesingkat apa pun pertemuan, perpisahan selalu terasa berat.

"Sudah-sudah, sedih-sedihnya. Fayra bukan mau kabur ke luar angkasa, lho. Kita masih bisa ketemu, kok!" Mbak Tina bergabung dengan kami sambil mengambil satu potongan pizza.

Aku tersenyum ke arah Mbak Tina.

"Nggak berasa ya Ra, sudah sebulan kamu di kantor ini," Mbak Tina menepuk pundakku.

"Dua bulan, Mbak." Ralatku.

"Ahaha... iya, maaf ya, aku nahan-nahan kamu. Soalnya cari pegawai baru yang cocok itu susah, Ra." Kata Mbak Tina.

"Nggak apa-apa, Mbak, aku senang kok sudah dikasih kesempatan bergabung di sini." Sahutku tulus.

Jika bukan di kantor ini, mungkin rasa traumaku dengan dunia kerja tidak akan bisa sembuh. Di sini, rasa takutku bersosialisasi dan pikiran burukku mengerikannya dunia kerja perlahaan hilang. Aku mulai merasakan bagaimana serunya mengobrol dengan orang-orang yang awalnya terasa asing. Aku mulai merasakan bagaimana bahagianya makan siang bersama, bukan hanya seorang diri di kamar kos. Membahas soal film yang sedang tayang di bioskop, hingga kedai makanan yang baru buka. Aku merasa tidak sendirian dan itu bukan hal yang mengerikan seperti yang kubayangkan selama ini.

"Syukurlah Ra, kalau begitu aku juga senang. Aku berharap sih kamu tetap mau gabung dan kerja di kantor bareng aku." Mbak Tina masih berusaha menahanku agar tetap bekerja di kantor ini.

Aku tersenyum simpul, "Maaf Mbak, walaupun aku betah di sini. Tapi, aku nggak bisa. Rencananya aku akan ke luar negeri untuk sekolah lagi. Tapi tenang saja, setelah selesai studi aku pasti akan mampir lagi ke kantor ini. Ya, siapa tahu masih ada lowongan sebagai fotografer atau apa pun?" Kataku sambil tertawa di akhir kalimat.

"Hahaha... tentu, kapan pun kamu balik ke sini. Dengan senang hati kami menyambut kamu, Ra." Seru Mbak Tina diikuti dengan suara riuh dari semua pegawai. Terutama Kika yang langsung memelukku dengan haru.

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang