Nalisa tertegun menatap layar ponselku yang menampilkan akun Instagram rahasiaku. Akhirnya, aku mengungkap kenyataan ini para Nalisa. Nalisa membuang napas panjang berkali-kali mendengarkan ceritaku panjang lebar. Sesekali dia menatap ke arahku sambil menggeleng lalu kembali mengamati satu per satu foto yang kuposting di Instagram rahasiaku.
"Aku... nggak percaya," ucap Nalisa dengan nada suara kecewa dan frustrasi, dia menatapku dengan tatapan bingung. Gadis cerewet ini seolah kehilangan kata-kata. Aku pikir dia akan memarahiku panjang lebar, ternyata tanggapannya hanya begitu.
"Aku pun nggak percaya, aku bisa melakukan sampai sejauh ini. Awalnya, aku cuma pengin iseng-iseng saja, tidak ada niat untuk melibatkan orang lain." Aku tertunduk putus asa.
Nalisa memutar duduknya, sambil menaikkan kakinya ke sofa dan duduk menatapku. "Ra, menurutku, jujur lebih baik dari apa pun. Mending kamu jujur saja ke Lingga, kalau pemilik akun ini ya kamu. Dari ceritamu kurasa dia orang yang baik dan pengertian."
"Apa dia akan tetap baik dan pengertian, kalau dia tahu aku membohonginya?" tanyaku retoris. Nalisa mengangkat bahu.
"Kurasa dia bakal mengerti. Ya, mungkin bakal kecewa dulu, tapi itu lebih baik daripada berbohong." Nalisa masih bersikeras menentang rencanaku.
Saat ini aku tidak terpikir jalan keluar lain, selain meminta bantuan Nalisa pura-pura menjadi Rara. Padahal selama ini aku tidak pernah ingin mempertemukan Lingga dan Nalisa, karena khawatir mereka berdua akan jatuh cinta. Hari ini, aku justru melanggar hal itu sendiri.
"Ra, aku nggak bisa fotografi lho, apalagi edit foto. Lingga bakal curiga!" Nalisa masih bersikeras menolak permintaanku.
"Dia nggak akan minta kamu untuk memfoto sesuatu di depannya," bujukku.
"Siapa tahu?" Nalisa membulatkan matanya.
"Kalau dia minta kamu memfoto sesuatu, foto saja seadanya aku akan bantu edit."
Nalisa menepuk keningnya sendiri, semakin frustrasi, "Nggak segampang itu, sungguh! Kamu tahu dari kecil aku tuh paling susah bohong?"
Aku mengangguk. Aku ingat kenangan masa kecil kami. Ketika Nalisa mendapat nilai sempurna bahkan lebih tinggi dari nilai ulangan harianku. Sesampainya di rumah bukannya bahagia, Nalisa malah menangis dan memeluk Tante Maria. Nalisa merasa bersalah karena nilai 100-nya adalah hasil dari mencontek dariku, sementara nilaiku hanya 90 karena ada satu soal yang terlewat kukerjakan.
"Kalau bukan sama kamu aku harus minta tolong ke siapa lagi?" aku membuang napas pelan, "Di kantorku, ada reporter majalah dia sepertinya suka dengan Lingga. Aku khawatir. Daripada melihat Lingga jatuh cinta ke orang lain, mungkin aku bisa lebih menerima jika orang itu adalah kamu, Sa."
"Masih ada dua bulan kan sampai hari kalian ketemu. Gimana kalau sampai hari itu kamu pikir-pikir lagi?"
Aku menggeleng, "lebih cepat lebih baik. Supaya bebanku lekas terangkat."
"Bebanmu terangkat, sekarang bebannya ke aku, Ra!" Nalisa mengacak-acak rambutnya.
Aku mengeluarkan ponsel, mencari salah satu foto Lingga yang pernah kuambil diam-diam dengan kamera ponsel.
"Ini orangnya," aku menunjukkan kepada Nalisa.
Matanya membulat, senyum simpul tak sengaja muncul samar-samar di bibirnya.
"Ganteng, kan?" tanyaku ke Nalisa.
"Iya, ganteng!" Nalisa mendadak antusias. Aku tersenyum pias. "Eh, maksudku...." Nalisa memasang wajah tidak enak.
"Ok, deal ya, kamu bantuin aku," dengan paksa aku menyalami tangan Nalisa menandakan perjanjian ini disetujui dua pihak.
"Tunggu Ra... kamu sempat kepikir nggak, gimana kalau dia justru jatuh cinta padaku atau... aku jatuh cinta ke dia?" Nalisa menatapku dengan serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomanceAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...