"Ya ampuuun, Fayra... kok kamu agak kurusan sih? Stres, ya?" Tante Maria membuka pintu setelah aku menekan bel rumahnya dua kali. Tante Maria adalah adik satu-satunya dari ibuku sekaligus ibunya Nalisa. Tante Maria menyambar tubuhku, memelukku setengah detik. sudah kuduga bentuk tubuhku akan jadi bahan pembahasan pertama darinya. Aku menyengir kecut.
"Bagus dong kalau kurusan Tante, hehe..." ucapku, berusaha keras menetralkan suaraku yang nyaris gemetar karena menahan perasaan bergejolak yang tidak enak di setiap sudut paru-paruku.
"Kamu banyak pikiran ini pasti. Berat badanmu turun berapa kilo? Stres ya kamu tinggal di kost? Balik lagi saja ke sini, tinggal bareng-bareng Tante. Duh... kamu ini...."
Sepertinya aku malah stres lagi tinggal di rumah ini bersama Tante... sahutku dalam hati.
Aku hanya menjawab dengan senyum sekilas.
"Oh, ada Fayra!" Suara Om Sudrajat, suami Tante Maria menghampiri kami. Seketika senyumku mengembang. Penyelamatku datang.
"Bunda ini gimana toh, Fayra malah diajak ngobrol di depan pintu begini. Ayo masuk. Sudah makan malam belum?"
"Sudah tadi." Jawabku sambil masuk ke dalam rumah, "Nalisa ada di rumah?"
"Oh, dia baru pergi tadi sama pacar barunya. Ini kan malam Minggu." Tante Maria menjawab sambil merangkulku masuk ke rumah, "Kamu sendiri gimana toh, sudah punya pasangan belum?"
Lagi-lagi aku menggeleng sambil menahan senyum kecut.
"Sudah Bun, mending ke dapur ambilkan camilan buat kita." Om Sudrajat sepertinya bisa membaca mimik wajahku yang terlihat kurang nyaman. Tante Maria pun berjalan ke arah dapur sambil memintaku menunggunya sebentar. Aku dan Om Sudrajat duduk di sofa.
"Gimana, kerjaanmu? Lancar?" Tanya Om Sudrajat.
Aku mengangguk, "Lancar, Om. Beberapa bulan ini job yang datang lumayan banyak. Kadang keteteran sih, tapi aku senang kok. Tadi aku habis ke kedai kopi dekat sini, ada job sebagai fotografer. Makanya aku jadi pengin mampir sebentar."
"Bagus deh. Om ikut senang kalau gitu. Jangan lupa, kami di sini juga masih keluarga kamu, Ra. Kalau butuh apa-apa datang saja."
Aku mengangguk. "Nggak kok Om, aku nggak lupa. Aku justru terima kasih banget semenjak Ayah dan Bunda meninggal 6 tahun lalu, aku sudah dapat banyak bantuan sampai bisa lulus kuliah. Aku sekarang cuma pengin belajar mandiri. Belakangan aku benar-benar lagi sibuk kerja, jadi jarang mampir. Maaf, ya...."
"Haha... iya, iya, Om sih ngerti. Cuma Tantemu itu lho, berisik banget. Khawatir kalau kamu nggak kasih kabar."
"Apa ini, kok kalian ngomongin aku?" Tante Maria datang dengan wajah pura-pura cemberut, sambil membawa nampan berisi kue kering dan minuman.
"Nginap ya, Ra?" tanya Tante Maria.
Aku buru-buru menggeleng, "Maaf Tante, aku cuma mampir. Nanti kapan-kapan aku nginap, ya."
"Fayra sedang banyak kerjaan Bun, jangan bikin dia makin banyak pikiran dong." Om Sudrajat mengerling ke arahku. Aku tersenyum tipis.
Enam tahun lalu, orangtuaku meninggal karena kecelakaan kereta api. Tante Maria satu-satunya kerabat yang kupunya. Selama kuliah empat semester, aku sempat tinggal bersama keluarga Nalisa ini. Tapi, rasanya sangat tidak nyaman.
Sejak semester lima, aku mulai memberanikan diri untuk kos dengan alasan agar lebih mandiri. Tante Maria dan Nalisa melarangku dengan menangis. Awalnya aku tidak tega. Untung Om Sudrajat membantuku membujuk Tante Maria. Dengan syarat aku harus sering berkunjung dan menginap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomanceAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...