Berdamai dengan Takdir

661 71 2
                                    

"Banci... Banci... Bancii... Huuu...."

"Ahaha... namanya kayak perempuan!"

"Besok kalau ke sekolah pakai rok saja!"

Seorang anak lelaki berdiri sambil menangis sesenggukan, wajahnya sembab. Sekelompok anak lelaki meneriaki hinaan ramai-ramai. Anak lelaki yang tertindas itu berteriak-teriak tidak jelas sambil mengambil kerikil kecil dan melempari anak-anak nakal itu.

Bukannya berhenti mengejek, sekelompok anak nakal itu justru menggodanya semakin parah. Anak lelaki itu duduk di bawah pohon besar dan menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan. Menangis semakin kencang.

Aku berdiri dari kejauhan, ingin membantunya, tapi langkahku juga kaku. Aku takut jika aku menghampiri ke sana aku yang akan diejek oleh mereka.

"Eh, ada bocah gendut di sana! Ahahaha...."

Mereka melihatku. Aku berlari sekuat tenaga, mereka mengejarku sambil terus meneriaki ejekan-ejekan yang membuat telingaku sakit.

Aku merasakan kepalaku terbentur lantai. Aku mengerjapkan mata, syukurlah yang tadi hanya mimpi buruk. Dan aku bersyukur satu hal lagi, di kamar apartemen ini aku tidur dengan kasur di lantai tanpa tempat tidur tinggi. Jadi, ketika bermimpi buruk dan jatuh, tidak terlalu sakit.

Mimpi ini, mungkin salah satu pengalamanku di masa kecil yang seringkali masih menghantuiku. Tapi... siapa anak kecil lelaki yang diejek sampai menangis itu? Aku tidak mengingatnya sama sekali. Mungkin aku lupa? Atau itu hanya tambahan dari mimpi saja yang tidak ada di dunia nyata?

Aku melepaskan napas berat. Sinar matahari sudah mengintip dari tirai jendela, aku segera bangun harus bersiap berangkat ke kampus.

Di bus ada satu kursi kosong, aku memilih berdiri. Kursinya kecil, aku pasti kesempitan jika memaksakan duduk di sana. Aku berdiri sambil satu tangan berpegangan dan satu tangan memegang ponsel, aku sedang melakukan video call dengan Nalisa.

"Halo. Aku lagi di bus," kataku menjawab panggilan teleponnya.

"Oh, gimana hari-harimu, asyik?" Suara Nalisa terdengar ceria seperti biasanya.

"Ya, lumayan. Kamu gimana? Aku melihatmu di iklan-iklan yang muncul di Youtube. Keren. Makin banyak ya iklan baru kamu, Sa."

"Iya, begitulah. Aku juga akan menjadi pemeran di film layar lebar, Ra. Ya, memang bukan pemeran utama, tapi ini pemeran pendukung yang cukup penting. Filmnya sudah tayang di bioskop. Kalau rilis DVD-nya akan aku kirim ke kamu."

"Wah, keren, selamat, ya!"

"Makasih, aku juga nggak menyangka bisa lolos audisinya."

"Semoga lain kali dapat pemeran utama."

"Iya, doakan aku ya, Ra!"

"Pasti..."

"Oh iya, omong-omong, kamu sudah hubungi Lingga?"

"Hm... buat apa? Aku rasa nggak ada gunakanya, jadi... ya sudah, nggak perlu." Ucapku mendadak memasang wajah tidak bersemangat.

"Maaf ya, Ra. Kamu nggak mau bahas Lingga, kan?"

Aku menangguk, "Aku sedang menikmati masa-masa baruku di sini, Sa. Maaf ya, kita jangan bahas Lingga."

"Oke, maaf...."

"Nggak apa-apa. Oh ya, Sa, beberapa hari ini aku sering mimpi aneh."

"Hah? Mimpi apa? Mimpi hantu?"

Aku menggeleng, "Bukan, mimpi bullying waktu kecil. Tapi, anehnya, dalam mimpi yang sudah beberapa kali muncul ini, bukan cuma aku yang di-bully. Ada satu anak cowok, dia di-bully dengan sebutan 'banci'. Aku penasaran, siapa ya, mungkin kamu tahu?"

Kue Untuk FayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang