"Si Fayra itu polos banget ya," aku berada di salah satu lorong rak minimarket dan suara itu terdengar dari sisi sebelahnya. Aku dan si pemilik suara tersekat satu rak mini market. Mendengar ucapannya aku yang sedang memilih camilan untuk kubawa ke kantor tertegun.
"Polos atau bego sih? Tapi jadi enak sih disuruh-suruh. Nggak pernah nolak anaknya. Hahaha..." suara lainnya menyahut.
"Kemarin Pak Dido parah deh, nyuruh dia bikinin kopi untuk satu divisi. Merangkap OG dia."
"Terus dia mau?"
"Maulah, kapan sih si Fayra gendut itu nolak. Dia malah kayaknya senang disuruh-suruh. Haha...."
"Kemarin Fina nyuruh dia belikan roti terus uangnya sengaja nggak diganti. Aku sih kasihan sebetulnya. Tadi juga dia izin keluar, Fina udah buru-buru aja nitip dibelikan sesuatu lagi."
"Kasihan tapi seru kan lihat muka polos-polos begonya itu. Badannya gendut, lucu aja kalau lagi panik atau buru-buru."
"Jahat banget kamu, hahahaha.... tapi betul juga sih, bikin hiburan juga di kantor."
Aku menggenggam sebuah teh kotak erat-erat, menahan diriku untuk tidak berteriak mengumpat. Teh kotak ini bukan untukku tapi titipan orang di kantorku. Baru sekitar dua bulan aku diterima bekerja setelah lulus kuliah. Dunia kantor yang awalnya kupikir akan menyenangkan dan mungkin bisa membuatku sedikit lebih percaya diri, ternyata menjadi lubang neraka baru untukku.
Tidak ada satu hari pun tanpa hal-hal menyebalkan. Karena aku anak baru lulus kuliah, paling muda di kantor, mungkin mereka jadi bisa seenaknya. Memanggilku dengan sapaan 'gendut', menyuruku membuatkan kopi setiap jam tiga sore, menyuruhku membelikan camilan tanpa mengganti uangku. Entah, aku punya dosa apa ke mereka semua hingga tega berbuat begini.
Awalnya aku ingin ikhlas saja melakukannya. Sesaat aku merasa seperti dibutuhkan tapi suara percakapan tadi membuat dadaku sesak sekali, seperti ingin meledak. Air mataku tiba-tiba keluar bersamaan dengan hidungku yang merasa tersumbat. Aku mengelap air mata dengan punggung tangan.
"Maksud kalian apa sih! Aku salah apa ke kalian!"
Dengan wajah berlinang air mata aku berjalan cepat ke lorong rak sebelah, berteriak seperti orang kesetanan. Dua wanita cantik yang mengenakan rok pendek dan blazer mahal menatapku bingung. Lusi dan Wina, seniorku di kantor.
"Fayra, lo ada di situ?" tanya mereka dengan wajah kaget.
Aku melempar dua kotak teh yang sejak tadi kubawa-bawa ke arah mereka. Ada rasa puas ketika mereka kesakitan, sebab teh kotak yang lempar mendarat di wajah cantik mereka.
Satu minimarket menjadi riuh karena kejadian itu. Aku menangis sambil berjalan ke arah kasir.
"Untuk bayar teh kotak yang kulembar," kataku sambil memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada kasir yang masih melongo. Tanpa menunggu tanggapan kasir dan kembalian uangku, aku berlari keluar mini market.
Tiba-tiba tubuhku terasa terpental ada mobil yang menabrakku dari samping.
Badanku terasa sakit semua. Aku mengerjapkan mata. Di sebelahku ada guling biasanya kupeluk saat tidur. Aku sudah berada di bawah tempat tidur dengan posisi mirip seekor anak gajah yang baru jatuh dari atas tebing.
Aku membuang napas berat. Kejadian tadi hanya mimpi.
Kejadian beberapa tahun lalu kembali menggedor otakku. Pertama kalinya aku bekerja kantoran setelah lulus sekolah. Aku mendapat perlakuan buruk. Hanya saja kenyataannya berbeda dengan yang kualami dalam mimpi. Aku yang sebenarnya di kehidupan nyata tidak pernah berani benar-benar melabrak orang-orang yang memperlakukanku dengan buruk. Aku hanya bisa menahan diri sampai sesak sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Untuk Fayra
RomanceAku Fayra, seorang fotografer dan desainer freelance. Dengan kemampuanku memanipulasi foto aku menjadi seorang yang cukup terkenal di dunia maya. Gadis cantik bertubuh langsing. Tapi... itu bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata hanya seoran...